17

6K 605 10
                                        

"Weh! Mau jadi bapak kok gak kasih tau??"

Haechan melirik malas ke arah Jeno yang baru saja merangkul bahunya sambil bertanya seperti itu. Dengan cepat Haechan menjauhkan tangan Jeno itu dari bahunya.

"Gak penting gue ngasih tau lo."

"Hm, jadi itu alesan Renjun di keluarin?"

"Renjun keluar sendiri!" ketus Haechan.

Jeno langsung mengusap tengkuk lehernya karena menyadari ucapannya yang salah.

"Selamat! Gue seneng ternyata Renjun emang lebih bahagia sama lo dibanding sama gue."

"Gue... juga, seneng." ucap Haechan yang menunduk, menyembunyikan bibirnya yang tersenyum dan wajahnya yang bersemu.

Jeno menepuk punggung Haechan, "Bagus! Tenang, gue gak bakal bilangin ini kok, soalnya bentar lagi gue punya ponakan. Semoga Renjun sehat-sehat aja ya!"

"Thanks, Jen."

Jeno mengangguk sambil mengacungkan jempolnya kemudian pergi mendahului Haechan.

Ini sudah sebulan selepas Renjun keluar dari sekolah, bertepatan dengan kandungan Renjun yang sudah memasuki satu bulan juga.

Iya, Haechan akan menjadi seorang ayah dan Haechan sudah menunggu momen itu, dimana sang bayi lahir dengan tangisan pertama nya. Haechan tidak bisa membayangkan akan betapa terharunya ia jika melihat malaikat kecil itu lahir ke dunia.

"Bengong!"

Haechan tersentak saat seseorang menepuk bahunya.

"Ke kelas sana, jangan halangin jalan." ucap Lucas yang menarik kerah seragam Haechan supaya bergerak dari sana.

"Jangan tarik kerah, cas! Gue bukan kucing!!"

.
.
.

Haechan membuka helmnya dan turun dari motor, lalu masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar.

Ia melihat Renjun yang sedang duduk di kursi sambil memandang ke arah luar jendela.

Bibirnya tersenyum kemudian menghampiri laki-laki itu dan memeluknya dari belakang.

"Kirain bakal pulang sore banget?"

"Gak, soalnya udah kangen sama adik bayi."

"Sama akunya nggak?"

Haechan terkekeh, "Sama kamunya juga."

Renjun ikut terkekeh lalu mengusap rahang Haechan, mencium sekilas bibir kekasihnya. Namun Haechan tidak merasa puas, ia meraih leher Renjun dan kembali menempelkan bibirnya pada bibir Renjun.

"Mandi sana!" suruh Renjun yang mendorong Haechan darinya.

"Iya mandi iya." Haechan tekekeh lagi dan mengacak rambut Renjun gemas.

"Haechan!!"

Haechan yang baru saja akan melangkahkan kakinya ke kamar mandi itu terhenti saat ia mendengar teriakan mamanya.

Haechan pun menghampiri sumber suara, "Kenapa, ma?"

"Sini duduk dulu, nak."

Haechan duduk di sofa sebelah mamanya, "Ada apa, ma? Penting banget kayaknya."

"Kamu tau kan orang tua Renjun lagi keluar kota. Tadi papanya telfon, sehabis kamu ujian langsung persiapan buat acara."

Dahi Haechan berkerut, "A-acara apa?"

"Pernikahan. Kalian harus nikah pas kamu selesai ujian."

Antara senang dan tidak. Haechan senang karena hubungannya bersama Renjun akan dibawa ke jenjang yang lebih serius. Tidaknya karena Haechan berpikir ini semua terlalu cepat baginya dan Renjun yang masih dibilang cukup muda.

Tapi mau bagaimana lagi? Haechan tidak mungkin membiarkan Renjun mengandung tanpa ada status yang jelas diantara keduanya.

"Gimana? Kamu setuju?" mama Lee menghela napas lalu meraih kedua tangan anaknya, "Masa kamu tega sama Renjun, nak? Dia lagi ngandung anak kamu, tapi belum juga kamu nikahin."

Haechan tersenyum tipis ke arah mamanya lalu mengangguk, "Setuju, karena Haechan sayang sama Renjun."

.
.
.

Renjun tersenyum lebar saat Haechan selesai menceritakan semuanya. Tangan mungil Renjun menangkup wajah Haechan dan sedikit menekan kedua pipi Haechan.

"Aku udah siap, kok, chan. Makasih ya, soalnya kamu serius sama aku."

Haechan mengangguk lalu mendekap tubuh laki-laki itu, memeluknya dengan erat dan penuh perasaan.

"Kamu gak bakal bisa rasain betapa bahagianya aku sekarang, dulu aku takut gak bisa ambil kamu lagi ternyata dugaan aku salah." suara Haechan, "Aku percaya takdir tuhan, dan aku yakin kalau kamu itu takdir aku."

Renjun menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher Haechan, sesekali mencium wangi Haechan yang berhasil memabukkannya.

"Aku mau jalan-jalan, boleh?" pinta Renjun.

Haechan mengangguk lalu mengajak Renjun jalan-jalan di sekitar perumahan tempat tinggal Haechan. Langit juga tidak terlalu panas karena sudah memasuki pukul setengah 5 sore.

Semenjak dari rumah, kedua tangan mereka saling bertaut dan tidak ada niat sedikitpun untuk melepaskannya.

"Nanti kita sering-sering jalan-jalan gini ya? Biar sehat juga buat kamu nya."

Renjun mengangguk atas ucapan Haechan, "Kalau aku capek gendong, ya?"

"Siap bayi gede!!!"

Kemudian keduanya tertawa bersama, membuat orang-orang yang tidak sengaja berpapasan dengan mereka merasa iri karena mereka tampak sangat harmonis.

Di sepanjang perjalanan diisi dengan obrolan dan canda tawa. Renjun tidak pernah membayangkan akan sebahagia ini jika ia bersama Haechan, sebab dulu ia sangat membenci laki-laki itu.

Dulu juga Renjun pernah berharap supaya ia tidak berpisah dengan Jeno. Sekarang pun sama, harapan Renjun masih sama namun pada orang yang berbeda.

Renjun harap nanti ia tidak dipisahkan dengan Haechan seperti ia dipisahkan dengan Jeno, laki-laki yang dulu sangat ia cintai.

Hanya itu, tidak lebih.

Karena Renjun, sudah sangat menyayangi seorang Lee Haechan.

.
.
.






















Chapter ini cringe gak ya

Bentar lagi tamat yeayyy, vote & komen ya kalau mau lanjut ke ending

Matchmaking | HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang