part 12

142 16 2
                                    

Bismillah

                  DOA MANTAN

#Part 12

#by: R.D.Lestari.

Point of view Mr.Boy.

"Mia ... kamu kenapa nangis?"

"Pak ... maafin Mia, Pak, gara-gara Mia, dapur Bapak ...,"

Aku tersentak saat melihat butiran kristal itu jatuh dari dua sudut matanya.

Pipinya yang sedikit berisi itu basah dan mata bulatnya berkaca-kaca. Ini untuk kedua kalinya kulihat gadis tengil itu dengan wajah yang menggemaskan.

Ya, harus kuakui, wajah itu sempat mengisi relung hatiku selama beberapa waktu.

Apalagi, saat terakhir melihatnya saat itu. Aku tak mampu menggenggam tangannya dan meminta maaf atas semua perbuatanku.

Rasa sebuah penolakan itu memang sangat menyakitkan. Seperti yang kurasakan saat ini ... mungkinkah rasanya sama dengan ditinggal kekasih?

Apa ini jalan Tuhan bagiku untuk meminta maaf kepadanya tentang kesalahanku di hari itu?

"Ah, sudahlah, Mia. Yang penting kamu tidak apa-apa," hiburku.

Untuk pertama kalinya jemari ini menyentuh wajahnya yang mulus. Benar kata Pak Dokter, dia punya wajah seperti bayi. Imut dan menggemaskan.

Tubuhku bagai tersengat aliran listrik saat menatap wajahnya intens. Ya, kami sempat bersitatap selama beberapa saat, sebelum akhirnya suara di luar rumah mengangetkan dan membuatku mengurai jarak dengannya.

"Siapa yang datang, Mi? apa kamu mengundang temanmu untuk mampir?" tanyaku, tapi Mia hanya menggeleng.

Aku lalu melangkah ke pintu depan dan membukanya. Wajah sumringah seseorang langsung terpampang di depan mata saat pintu terbuka.

Wajah yang amat aku kenal. Siapa lagi kalau bukan adikku, Tabitha. Ia cengengesan melihatku.

"He? tumben banget, mampir. Ada apa?" kataku sambil berkacak pinggang. Gadis berusia 25 tahunan itu tersenyum kecut mendengar ucapanku barusan.

"Tuan Boy yang terhormat, aku kesini mau ketemu kakak ipar yang kata Mama itu wajahnya gemesin, kek bayi," Tabitha menyeruak masuk dan menyingkirkan tubuhku dari ambang pintu.

Aku mendengus kesal. Kulihat Tabitha mengibas-ngibaskan tangannya dan menatapku dengan tatapan penuh tanya.

"Bau apaan, ini, Kak? kok seperti bau asap?"

"Oh, itu tadi ada accident sedikit. But, now, fine," jawabku santai.

"Siapa, Pak?" Mia tiba-tiba hadir di tengah-tengah kami, belum sempat aku menjawab, Tabitha sudah memutar tubuhnya dan mengulurkan tangan.

"Hai, halooo. Kenalin aku Tabitha. Adiknya Mr.Boy yang katanya tampan dan jadi guru idola di sekolah," sapa Tabitha ramah.

Aku terhenyak. Untuk pertama kalinya Tabitha begitu ramah dan welcome dengan wanita yang dekat denganku.

Apalagi dengan Jean. Tabitha amat menentang keras, hingga hari pernikahan itu terjadi, Ia tak datang karena marah.

Kulihat tanpa ragu Mia menyambut uluran tangannya dan tersenyum ramah.

"Aku Mia," jawabnya.

"Ayo, duduk dulu, Ta. Kakak mau cari makanan dulu," suruhku. Mia lalu begitu saja memutar tubuhnya dan melangkah cepat menuju dapur.

"Kak, itu Mia mau ke mana?" tanya Tabitha.

"Mungkin mau buatin air minum untuk kamu," jawabku sekenanya.

"Kak ... bener kata Mama. Istri kamu wajahnya imut banget. Dia juga kelihatannya baik. Untung ga jadi nikah sama Jean, bener kan dugaanku, Jean itu ga baik," ia nyerocos sembari menjatuhkan tubuhnya di sofa depan.

Aku memutar mata jengah dan berbalik tanpa menjawab ucapannya. Seketika rasa panas menjalari dadaku. Setiap ada yang mengingatkanku pada Jean, sesak selalu merajai. Aku masih sangat mencintai Jean.

"Kak ....!"

Suara Tabitha masih terdengar mengaung ditelingaku. Aku tau ia tak bermaksud membuatku terluka, tapi mengingat Jean yang pergi di hari spesial kami itu memang sangat menyakitkan.

Menggunakan motor Vario putih, aku pergi menuju warung nasi di persimpangan jalan. Warung andalan karena selain bersih, makanannya juga lezat.

Sesampai diwarung, aku langsung di sambut ramah Si Pemilik warung nasi, Bu Parni. Ia tersenyum melihat kedatanganku.

"Eh, Mas, Boy. Kok dateng sendiri? istrinya ga di bawa?" tanyanya. Matanya celingukan seperti mencari sesuatu.

"Oh, istri saya di rumah, Bu. Pemalu orangnya," kilahku.

"Aduh, saya kemarin cuma lihat sekilas, loh, Mas. Istrinya imut banget. Ternyata Mas Boy suka daun muda," ia terkekeh.

Degh!

Ucapan Ibu ini langsung membuat wajahku memerah. Suka daun muda? seandainya ibu ini tau, sedari dulu aku paling ga suka daun muda, dan bukan tipeku. Ini semua ... hanya kebetulan atau memang karma, aku pun tak tahu.

"Bu, saya pesen gulai daging, sama sambal ijo serta telur kentang balado. Oh, iya, sayur capcai jangan lupa," ucapku kikuk. Aku tak ingin ibu ini mengorek lebih dalam urusan rumah tanggaku. Yang mungkin ... tak akan bertahan lama karena itu hanya kontrak.

Bu Parni mengangguk dan tangan lincahnya memasukkan satu persatu apa yang menjadi pesenanku setelah ia bertanya mau berapa banyak setiap item yang kupinta.

"Ini, Mas, tujuh puluh ribu," Bu Parni menyodorkan kantung kresek transparan berisi macam-macam lauk dan sayur dalam plastik.

"Ini, Bu," aku membayar dengan selembar uang lima puluh ribu dan dua puluh ribu.

"Terima kasih, Mas. Salam sama istrinya,"

"Eh, i--iya, Bu,"

Tanpa banyak basa-basi, kupercepat langkahku dan naik ke motor. Memacu motor  untuk sampai rumah dengan segera.

Klek!

Setelah memutar kunci stang, motor yang ku parkir di depan rumah. Aku termangu saat mendengar suara obrolan diselingi derai tawa dari dalam rumah.

Hal yang tak pernah di lakukan Tabitha bersama Jean. Sejak awal, Tabitha seperti menjaga jarak dan enggan untuk menyapa pacarku itu. Entah apa penyebabnya. Akupun tak tau.

"Aku pulang," ucapku saat memasuki rumah.

"Waalaikumsalam, Pak. Sini biar saya yang wadahi," Mia yang saat itu sedang asik bercengkrama langsung berdiri dan meraih kantung yang aku bawa.

"Aku tinggal sebentar, ya, Ta," Mia lalu berlari begitu saja ke arah dapur dengan tergesa.

"Awas, jatuh, pelan-pelan," ucapku tanpa sadar.

"Cie-cie, perhatian... mentang-mentang pengantin baru, bikin iri ... brother,"

Aku menoleh dan mendelik padanya. Sedang adikku satu-satunya itu terkekeh riang.

"Kak, aku mau bicara sesuatu," tiba-tiba wajahnya berubah serius dalam hitungan detik.

"Apa?" aku lalu duduk di sampingnya. Tabitha menggeser tubuhnya dan menghadap ke arahku.

"Aku tau di mana keberadaan Jean saat ini,"

Mataku seketika membola. Darahku seketika berdesir mendengar ucapan Tabitha. Seolah tak percaya. Karena selama hampir seminggu ini, aku selalu mencari keberadaannya. Kadang mengirim surel karena semua akses sosmednya tak dapat kutemukan. Aku di blokir.

"Hah? di mana, Dek?"

Kulihat Tabitha menghela napas dalam. "Dia keluar negeri bersama dengan Frans, mantan pacarnya sewaktu kuliah,"

"Frans? jadi ...," aku tak mampu melanjutkan ucapanku. Hatiku teramat sakit. Mendengar nama itu keluar dari mulut adikku, rasanya tak percaya.

Frans... mantan pacar Jean. Sejak kapan mereka ... jadi, selama ini, aku ...

"Kak ... Kakak... Kak Boy?"
,
****

Doa Mantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang