part 18

130 16 6
                                    

Bismillah

                  DOA MANTAN

#Part 18

#by: R.D.Lestari.

POV.  Mr.Boy.

Derrt-derrrtt!

Ponselku tiba-tiba bergetar. Aku meraih ponsel yang ada di atas meja dan melihat di layar.

Alisku mengernyit, heran. Nomor tak di kenal. Ada rasa ragu menelisik dalam hatiku, tapi akhirnya ku angkat juga telpon itu.

["Assalamualaikum,"]

["Boy ... Mas Boy ...,"]

Dadaku mendadak sesak. Suara itu .... suara yang amat aku rindukan. Merasa ini seperti mimpi, aku menepuk pipiku pelan.

["Jean...,"]

["Mas, Boy ... maafin aku ... aku ...,"]

["Kau di mana, Jean. Ayo, kita ketemu!"]

Bibirku bergetar. Rasa ingin berjumpa tak dapat diungkapkan. Ingin marah. Ingin kesal. Semua akan kuungkapkan saat bertemu dengannya.

Jean menyebut tempat tinggalnya dan aku melesat saat itu juga, meski suara Azan sedang menggema, tak kuperdulikan.

Dalam hati terselip perasaan gundah, karena ingat beberapa jam lagi aku berjanji akan menjemput Mia di tempat kerjanya.

Rasa ingin bertemu Jean begitu membuncah, karena tak dapat kupungkiri, rasa cinta itu masih ada di sini, di organ berwarna merah semerah darah yang di sebut 'hati'.

Aku terpaku. Dadaku bergemuruh saat tiba di sebuah rumah kontrakan beberapa pintu. Rumah bedeng yang cukup kumuh dan tak terawat. Rasanya ragu jika Jean adalah salah satu penghuni di situ, mengingat Jean adalah wanita karier yang gajinya lumayan tinggi dan punya gaya selangit.

Namun, perasaan ragu itu sirna saat kulihat ada pakaian yang tergantung di depan rumah, dan kuingat jika Jean sering memakainya. Dres hitam bintik-bintik atau biasa disebut 'polkadot'.

Mengingat pakaian itu, aku langsung menuju ke kontrakan bercat abu-abu kelabu, karena selain cat sudah luntur, warnanya juga terkesan suram dan berjamur.

Baru saja hendak mengetuk pintu yang yang sudah terbuka itu, mungkin Jean sengaja menungguku, kudengar lirih suara rintihan dari arah dapur.

Tanpa pikir panjang, aku melesat masuk ke rumah yang tampak kosong itu.

Mulutku ternganga saat mendapati Jean--gadisku itu, terkapar di lantai kamar mandi dengan darah yang merembes di kedua pahanya dan menggenangi lantai.

Ia terlihat lemah dengan muka yang pucat.

"Jean! ada apa! astaga!"

Perasaan marah dan benci itu menguap begitu saja, berganti dengan perasaan iba.

Jean yang amat lemah tak mampu menjelaskan. Ia merintih kesakitan seraya menekan perutnya.

Dengan gesit, Aku menggendong mantan tunanganku itu menuju mobil dan membawanya ke klinik terdekat.

Begitu tiba di klinik, Jean langsung di tangani.

Tak lama dokter keluar dari ruangan dan memanggilku untuk masuk ke ruangannya.

Dokter menjelaskan jika Jean keguguran dan butuh beberapa kantong darah. Yang membuat semakin dilema karena stok darah A di tempat itu habis dan Jean harus segera di tangani secepatnya.

Aku tak bisa berpikir jernih. Padahal aku tau gadis itu telah menorehkan luka di hatiku. Luka menganga dan rasa malu, hingga saat ini aku benar-benar kehilangan muka di keluargaku.

Namun, jiwa kemanusiaan berkata lain, dan aku dengan sukarela mencari darah itu ke tempat yang di rekomendasikan Pak Dokter.

Mobil meliuk-liuk di jalananan kota yang masih ramai kendaraan. Memaksa fokus meski seperti ada yang mengganjal di hati. Berulang kali kupaksa otakku bekerja. Seperti ada yang sangat penting, tapi lupa.

Aku menepis perasaan itu. Saat ini tak ada yang lebih penting daripada Jean. Jean harus selamat. Itu saja.

Beruntung bagiku karena ketika sampai di PMI, stok darah yang di cari banyak dan dengan sigap aku kembali ke rumah sakit.

Jean kemudian ditangani dengan sebaik mungkin. Sekitar menunggu lebih kurang satu jam, aku diperbolehkan menjenguknya.

Masuk ke dalam ruangan dengan perasaan campur aduk. Kakiku sampai gemetar saat di paksa melangkah mendekati tubuh yang terbaring dengan wajah pucatnya.

Begitu damai dan tenang. Debaran di dada kian kencang saat mataku dengan intens menatap wajah cantik yang amat kurindukan.

Aku menggeser kursi stainless dan duduk di sampingnya. Berusaha sepelan mungkin karena aku tak ingin suara derit kursi mengganggu tidurnya.

Perlahan, ku beranikan diri meraih tangan kurusnya. Ya, Jean tampak sangat kurus. Kucoba untuk memberinya semangat meski gadis itu tengah terlelap.

Melihat wajah itu ... mengingatkanku pada seseorang yang juga jika tidur punya wajah yang amat imut, dan itu ... Mia!

Aku meraih ponsel dan melihat jam.

"Astaga! jam sepuluh! telat tiga jam!"

Seketika aku berdiri dan melangkah setengah berlari. Membawa mobil meninggalkan Jean dan bertolak ke gedung, tempat tadi meninggalkan Mia.

Wajah Mia yang sedih membayang di pelupuk mataku. Mata indah itu begitu membekas dihatiku. Mungkin saat ini gadis itu sedang terkantuk-kantuk menungguku.

Aku tertegun saat mobil melewati jalan yang penuh dengan kaca pecah, darah, motor yang ringsek tepat di depan gedung.

Aku menepikan mobil di halaman gedung. Sepi, tak ada seorang pun disitu.

Rasa mulai gundah. Celingukan mencari Mia. Aku berlarian ke arah luar, di mana ada warung klontong tak jauh dari gedung.

"Maaf, Bu, apa Ibu melihat gadis pakai jilbab mocca, kira-kira tingginya segini," tanyaku pada seorang wanita paruh baya yang ada di warung.

"Oh, tadi saya sempat lihat, di bawa ke rumah sakit, kecelakaan,"

"Kecelakaan?"

Telingaku rasa berdengung saat mendengar kata Rumah Sakit. Kecelakaan? Mia?

Kakiku rasa tak menapak di tanah, seketika otot-ototku lemah. Bagaimana keadaan Mia? di mana dia sekarang?

Mengingat rumah sakit cukup banyak tersebar karena ini di pusat kota. Aku tak tinggal diam, memburu waktu untuk mencari Rumah Sakit tempat Mia di rawat.

Mia ... Aku berharap kamu baik-baik saja. Bertahanlah, Mia. Maafkan aku yang lupa ...

Sudah beberapa Rumah Sakit kudatangi, tapi nama Mia tak juga kujumpai.

Seketika sakit merajai hati. Bagai di tusuk-tusuk seribu belati. Merasa gagal sebagai seorang suami.

Dengan langkah gontai aku kembali ke Klinik, menuju ruangan Jean, di mana Jean sudah sadar dan melempar senyum yang teramat manis untukku. Senyum yang sangat kurindu. Syukurlah, dia akhirnya sadar, setidaknya satu masalah sudah hilang. Kini tinggal Mia. Di mana dia?

"Mas Boy ...,"

Aku tersadar saat Jean memanggil namaku. Aku mengulas senyum ramah dan duduk disebelahnya.

"Bagiamana keadaanmu? suamimu?"

Saat dicecar pertanyaan, wanita yang masih sangat kucintai itu hanya menunduk dan terdengar isakan darinya.

Ia tiba-tiba memeluk tubuhku. Entah kenapa, ingin rasanya kutolak, tapi tak tega. Kubiarkan diri ini menjadi pelampiasan tangisnya.

"Maafkan Jean, Mas Boy. Jean salah," jawabnya terbata.

"Jean terpaksa meninggalkan pernikahan kita, kerana Jean ... sudah hamil. Jean selingkuh dengan Franz," Jean bertambah erat memelukku. Aku susah payah meredam amarah yang berkobar mendengar ucapannya, dan saat itu kudengar tirai tersibak, seketika mataku membulat saat Kulihat...

"Mia ...,"

***

    

Doa Mantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang