"Boleh ya, Mas?" rengekan Adhisti malam itu membuat Raka kelimpungan sendiri.
"Tapi, By. Aku gak mau sampe kamu kelelahan." Raka mencoba menjelaskan.
"Aku janji gak akan nyusahin kamu, beneran. Aku belum pernah liat sunrise gitu, Mas." Adhisti terus memohon hingga matanya berkaca-kaca.
Raka tak memberikan jawaban, ia lebih memilih keluar kamar dan berjalan hingga ke teras depan. Menghirup sebanyak-banyaknya oksigen disekitar, Udara dingin malam ini di kota Batu tak membuat pria berkaos hitam itu kembali masuk. Ia terus memijat pelipisnya, Raka tak tega mendengar rengekan Adhisti. Namun, rasa khawatirnya juga untuk kebaikannya.
Sebuah tepukan di bahunya membuat Raka menengok, "Kenapa? Sorry gara-gara gue ngajak Delia, Adhisti jadi mau ikut," sesal Rendy.
"Hm." Hanya itu yang keluar dari mulut Raka.
"Lo gak usah over thinking gitu, Ka. Bini lo gak akan kenapa-kenapa, kita bisa naik Jeep terus jalan dikit doang."
Raka terus berpikir memang ada benarnya juga ucapan Rendy, tetapi apa Adhisti akan kuat dengan udara yang sangat dingin ini.
"Udeh lo mending sekarang balik ke kamar bilang ke bini lo jam 1 malam kita on the way dari sini, selebihnya biar jadi urusan gue." Rendy mendorong Raka dan menyuruhnya masuk.
Raka menurut, ia kembali ke kamar. Terlihat sang istri sudah merebahkan tubuh memunggunginya, ia rebahkan tubuh jangkungnya di samping sang istri memeluk dan menghirup aroma sweet dari buah-buahan yang melekat pada seluruh tubuh istrinya.
"Jangan nangis, aku gak ngelarang kamu ikut kok, By," bisik Raka.
Sang pemilik aroma lembut itu langsung menunjukkan pergerakan, Adhisti membalikkan tubuhnya menatap sang suami.
Raka sapukan ibu jarinya pada pipi Adhisti yang basah. "Kenapa nangis, hm?"
"Nggak papa, Mas."
"Bohongnya ketauan banget." Raka mencubit hidung mungil milik Adhisti.
"Aku mengizinkanmu pergi, tapi janji harus jaga kondisi ya. Aku gak mau kalau kamu sampe kelelahan dan kolapsh lagi, By."
"Beneran diizinin, Mas?" Adhisti memastikan. Wajahnya sudah berubah riang kembali.
"Iya, By." Raka berikan senyuman manis untuk meyakinkan sang istri.
"Aaaahh ... makasi ya, Mas." Saking senangnya Adhisti langsung memeluk sang suami.
"Sama-sama, By." Raka usap punggung Adhisti dengan penuh sayang, ia lega bisa benar-benar mengabulkan keinginan istrinya.
Adhisti melepas pelukannya, ia tatap wajah tampan sang suami yang masih terus tersenyum. Entah setan mana yang membisikkan sesuatu pada Adhisti hingga ia berani memulai terlebih dahulu. Ada rasa bersalah dalam diri Adhisti, ia selalu menolak secara halus ketika Raka mendekatinya. Entah dia sendiri bingung dengan kondisi tubuhnya, jika Raka tak mendekatinya pun Adhisti biasa saja. meski ada sedikit rasa rindu, tetapi rasa lain lebih mendominasi.
Raka terkejut dengan sikap Adhisti malam ini, apa dia juga rindu sama seperti dirinya? tetapi dokter sudah memberitahu Raka, jika rasa Adhisti akan hal berbau itu tidak akan bisa seperti wanita pada umumnya. Penderita thalassemia mayor tidak akan bersemangat justru ga i rahnya cenderung menurun.
"By," gumam Raka saat Adhisti melepaskan diri. Raka tak membalas bukan karena tak ingin, tetapi ia harus menjaga kondisi Adhisti agar tidak kelelahan.
"Kenapa, Mas?" Adhisti bertanya dengan sorot mata kecewa bercampur malu.
Raka yang mengerti hanya menggeleng, ia tangkup kedua pipi istrinya dan perlahan memberikan yang Adhisti mau.
"Bobo, By. Jam 1 malam kita harus berangkat." Raka melepaskan diri, ia usap bibir Adhisti yang basah. Ia mengecup kening istrinya dan beranjak ke kamar mandi.
"Mau kemana, Mas?"
"Mandi."
Adhisti hanya bisa tertawa ketika suaminya sudah menutup pintu kamar mandi. "Terima kasih ya Rabb, Engkau telah mengirimkan seseorang yang sangat sempurna untukku. Aku mencintainya ya Rabb."
❄️❄️❄️
Sekitar pukul empat dini hari empat orang itu sudah sampai di pintu masuk Coban Trisula, sambil menunggu Jeep yang akan membawa mereka datang Raka memastikan kembali keadaan sang istri juga adiknya.
"Dingin?" yang di jawab gelengan oleh wanita berjaket tebal di sampingnya.
"Kamu dingin gak, Dek?"
"Gak, Mas, udah cukup hangat kok."
"Kalo Delia kedinginan, tubuh ini siap menghangatkan," celetuk Rendy yang langsung diberi tatapan tajam oleh Raka. Adhisti hanya memutar bola matanya sedangkan Delia malah bergidik ngeri.
Jeep langsung membawa mereka ke atas, hanya perlu waktu sepuluh menit hingga mereka sampai di parkiran Jeep, dan perjalanan selanjutnya di lakukan dengan berjalan kaki.
"Mau denger gak legenda tentang suku asli di sini?" Raka mencoba mengalihkan hawa dingin yang mungkin sudah Adhisti rasakan.
"Mauu." Adhisti langsung antusias.
"Menurut legenda masyarakat dijelaskan tentang asal usul Suku Tengger ini. Dahulu di pulau Jawa di perintah oleh Raja Brawijaya dari Majapahit yang mempunyai anak perempuan bernama Rara Anteng yang menikah dengan Joko Seger, keturunan Brahmana. Ketika terjadi pergolakan di pulau Jawa, sebagian masyarakat yang setia pada agama Hindu melarikan diri ke pulau Bali. Sebagian lainnya menarik diri dari dunia keramaian dan bermukim di sebuah dataran tinggi di kaki Gunung Bromo, dipimpin oleh Roro Anteng dan Joko Seger, jadilah mereka suku Tengger, kependekan dari AnTeng dan SeGer."
Raka bercerita sambil terus melangkah tanpa terasa mereka sudah sampai di puncak pananjakan, tetapi langit masih gelap dan sang surya sepertinya belum menampakkan diri. Rendy mencari tempat untuk mereka duduk, pria itu langsung mempersilahkan Delia Duduk di sampingnya. Adhisti ikut duduk dengan Raka yang duduk di belakangnya memeluk dan meletakan kepalanya di ceruk leher sang istri.
Salah satu atraksi yang paling menarik di atas Gunung Bromo adalah Matahari terbit. Gumpalan awan yang menutup langit perlahan-lahan tersibak oleh bola putih kekuningan, cahaya merah merona diufuk timur. Perlahan-lahan timbulah temberang yang kian membesar hingga membentuk setengah lingkaran sang surya yang merah menyala, berangsur-angsur warnanya berubah menjadi keemasan.
Udara sekitar mulai menerang. Mulailah suatu hari dan kehidupan yang baru. Semuanya mengingatkan kita akan kebesaran Allah SWT sang pemilik alam semesta. Kecuali di puncak Bromo, atraksi matahari terbit bisa di lihat di Puncak Pananjakan.
"Terima kasih, Mas. Terima kasih banyak, aku bahagia, sangat bahagia." Adhisti sangat terpesona oleh pemandangan yang baru pertama kali ia liat.
"Sama-sama, By," jawab Raka.
Tangan Delia sangat gatal melihat kehangatan hubungan sang kakak ingin rasanya ia memotret dan mengirimkan kepada sang umi, dan rasa gatalnya sudah tak tertahan lagi. Ia ambil ponsel miliknya lalu memotretnya beberapa kali.
![](https://img.wattpad.com/cover/295679487-288-k278061.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tisyabina Adhisti || Kim Jisoo - Kim Mingyu || TERBIT
Romance"Apa aku bisa menjadi seperti Sayyidah Fatimah untuk seseorang?" "Kamu tidak perlu menjadi Sayyidah Fatimah hanya untuk mendapatkan seseorang, karena di jaman sekarang tidak ada orang yang seperti Sayidina Ali bin Abi Thalib. Cukup menjadi dirimu se...