Adhisti 07

174 25 1
                                    

❄️❄️❄️

Kejadian di rumah sakit hampir dua minggu berlalu, Adhisti juga sudah mulai beraktivitas seperti biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kejadian di rumah sakit hampir dua minggu berlalu, Adhisti juga sudah mulai beraktivitas seperti biasa. Saat sampai di Narart, Adhisti langsung melangkah ke arah divisinya. Sepanjang jalan dia merasa ada hawa yang berbeda dari karyawan yang lain, tetapi dia tidak mau ambil pusing dan langsung mulai bekerja.

Raka mencoba profesional jika sedang berada di perusahaan, ia tidak pernah mendekati Adhisti. Pria itu hanya memantaunya dari cctv memastikan gadis mungil itu dalam keadaan baik-baik saja dan tidak kelelahan lagi, begitulah cara Raka menjaga Adhisti. Bagi Raka kehadiran Adhisti di kantor adalah mood booster tersendiri, karena Adhisti ia mulai semangat mempelajari keseluruhan tentang NarArt Company.

Siang tadi Abi Faruq dan Umi Dahlia sudah kembali dari tanah suci, sesuai yang Raka takutkan Delia pasti akan langsung bercerita kepada sang umi tentang Adhisti.
Delia bahkan tidak mengenal waktu dan tempat, ia langsung bercerita saat mereka masih di dalam mobil sepulang dari bandara internasional.

Umi sangat antusias mendengarkan, karena akhirnya Raka mau peduli terhadap wanita selain ia dan Delia. Jelas terlihat Umi Dahlia berharap cerita Delia ini benar-benar nyata dan hubungan Raka dengan sang gadis berlanjut, umi sudah rindu suara tangisan bayi di dalam rumahnya, umi ingin merasakan bagaimana rasanya memasak, berkebun atau pergi ke pengajian bersama seorang menantu. Berbeda dengan istrinya, Abi Faruq justru terlihat datar tidak antusias sama sekali.

Setelah salat Isya dan makan malam Raka di panggil sang abi, mereka duduk di teras depan menikmati embusan angin malam yang entah kenapa terasa kencang malam ini.

"Bagaimana perusahaan, Mas?" Abi Faruq bertanya dengan raut wajah yang masih datar, jika sedang seperti ini sangat mirip dengan Raka.

"Alhamdulillah, Bi ..." Raka menjawab seperlunya.

"Apa benar yang dikatakan adikmu?" Inilah yang Raka takutkan, abinya akan langsung mengintrogasinya.

"Dia hanya mahasiswi Raka, tidak lebih, Bi, Raka tidak akan berani berpacaran, sesuai keinginan Abi."

Abi Faruq mengangguk-anggukan kepalanya, ia sedikit tenang. Namun, sedetik kemudian ia menatap sang anak. "Apa peraturan tentang mahasiswa yang tidak boleh magang di perusahaan sudah tidak berlaku, Mas?"

Raka menelan ludahnya, ia bingung harus menjawab apa kepada sang abi. Apakah ia harus berkata pengecualian untuk Adhisti? Itu sama saja Raka mengisyaratkan bahwa Adhisti adalah perempuan istimewa baginya.

"Jika memang berubah, ada anak dari sahabat Abi yang akan magang di perusahaan, tolong kasih tau Rendy, Mas," tutur Abi Faruq.

"Nggih, Bi."

Raka mengernyitkan dahinya, mencoba menebak siapa anak dari sahabat abinya. Raka sering diajak bertemu dengan sahabat-sahabat sang abi, bahkan Raka pernah diajak oleh sang abi untuk bertemu dengan keluarga Abah Salman yang meminta Delia secara khusus untuk dijadikan sebagai seorang menantu.

Abah Salman memang sudah tiada, tetapi tali persaudaraan antara abinya dengan keluarga Abah Salman terus berlanjut. Maka dari itu Om Akash ingin menjodohkan anak sulungnya dengan Delia agar memperkuat tali persahabatan yang sudah terjalin sejak dulu.

Raka sedikit tidak setuju, menurutnya bukan perkara mudah untuk memulai sebuah hubungan apalagi pernikahan jika sejak awal kedua mempelai tidak memiliki rasa ketertarikan satu sama lain. Raka tidak ingin sang adik menjadi korban dan berakhir dengan perceraian, beruntung anak dari sahabat sang abi menolak perjodohan itu dan membuat Raka bisa bernapas lega.

"Lalu, bagaimana dengan isi amplop dari ustaz Anwar tempo hari? apa sudah Mas pertimbangkan?"

Deg

Delia mungkin sudah terbebas dari perjodohan, tetapi bagaimana dengan dirinya sekarang? Itu yang Raka lupakan.

Rembulan tengah menunjukan keindahannya, terbukti ia bersinar sangat terang dengan bentuk bulat sempurna tanpa ada awan yang berani menutupi.

Seorang pria tengah berdiri di balkon kamarnya menatap sang rembulan, pikirannya entah sudah bercabang berapa banyak.

Ucapan Abi Faruq masih terngiang sangat jelas, "Abi tidak memaksa Mas untuk menerimanya, tapi Mas harus mengerti. Abi dan umi sudah tua, sudah saatnya Mas kasih kami cucu. Abi ingin Mas memiliki istri yang baik dalam agamanya selebihnya terserah Mas. Tolong hargai mereka, weekend ini. Datanglah kesana, temui mereka, Mas."

"Mas harus tau, tidak semua berjalan sesuai alur cerita kita. Takdir memiliki jalannya sendiri untuk ada, Hingga pada akhirnya ikhlaslah yang menjadi pilihan terbaik meski terkadang dengan air mata"

❄️❄️❄️

Pohon Tabebuya sedang menari-nari terbawa embusan angin, tetapi tidak dengan gadis yang tengah duduk di bawahnya. Dengan semangkuk es batu dan sebuah earphone yang berada di telinganya, Adhisti tengah menikmati angin malam ini ia ingin merilekskan pikirannya.

Bukan badannya yang terasa lelah, tetapi pikiran dan jiwanya yang butuh di refresh. Matanya menatap secarik kertas bertuliskan keinginan-keinginan Adhisti sejak dulu. Apa bisa ia melakukan semua hal itu?

Adhisti mencoba menutup matanya, meresapi lagu yang sedang mengalun indah. Namun, suara sang dosen yang memberinya petuah tempo hari begitu saja masuk ke dalam pikiran Adhisti. Tiba-tiba wajah tampan dengan sorot mata tajam dan rahang yang tegas milik sang dosen melintas dalam benaknya.

Adhisti yang kaget sontak membuka mata, dia langsung menampar pipinya sendiri. Pikiran macam apa barusan itu. Kenapa bisa dia punya pikiran begitu.

"Tidak! Tidak boleh, ini tidak mungkin!" ucap Adhisti sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Apanya yang tidak mungkin, Sayang?" tanya Pandu yang sedari tadi memperhatikan anak gadisnya.

"Eh ... sejak kapan ayah berada di sini?" Adhisti balik bertanya.

"Sejak putri ayah senyum-senyum sendiri lalu menampar pipinya sampe merah seperti ini." Pandu tersenyum tangannya terulur mengusap pipi Adhisti dengan penuh kasih sayang.

"Ada apa, Sayang?" tanya Pandu.

"Tidak ada apa-apa, Yah." Adhisti memasukan es batu kedalam mulut lalu mengunyahnya.

Kebiasaan Adhisti yang lain adalah menjadikan es batu sebagai cemilan dikala pikirannya sedang kusut, baginya sensasi yang ditimbulkan dari es batu yang beradu dengan gigi-giginya sungguh berbeda.

Pandu mencoba, mengerti mungkin harus Maya yang bertanya baru Adhisti mau terbuka. Memang Adhisti lebih dekat dengan sang bunda dari pada dengannya.

"Ayah ingin mengajakmu bertemu dengan teman ayah weekend nanti. Kamu bisa?"

"Bisa, Yah ...."

Setelah mendapatkan jawaban dari anaknya, Pandu mengajak sang putri masuk. Namun, Adhisti menolak dengan alasan masih ingin menikmati angin malam. Akhirnya Pandu menyerah, ia masuk ke rumah meninggalkan Adhisti dengan memberi pesan jangan terlalu lama berada di sana karena angin malam tidak baik untuk badannya.

❄️❄️❄️

Tisyabina Adhisti || Kim Jisoo - Kim Mingyu || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang