Adhisti 20

166 19 2
                                    

❄️❄️❄️

Melupakan, satu kata yang mungkin bagi semua orang tidak mudah untuk di lakukan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Melupakan, satu kata yang mungkin bagi semua orang tidak mudah untuk di lakukan. Begitu pula dengan seorang Tisyabina Adhisti, akal sehatnya sungguh ingin melupakan seorang Caraka Nararya. Namun, hatinya selalu menjawab tak bisa, Bagaimana ia bisa melupakan sang dosen jika hampir satu bulan ini mereka semakin sering bertemu. Raka pun tak segan beberapa kali meminta waktu Adhisti untuk bicara di luar masalah skripsi, akan tetapi Adhisti selalu menolak dan menghindar.

Jujur saja Adhisti lelah dengan semua ini. Ia lelah secara fisik maupun psikisnya, bahkan karena terlalu memikirkan skripsi dan perasaannya Adhisti sampai melupakan waktu transfusi darahnya. Tubuhnya sudah mulai nampak kekuningan dan wajahnya yang ayu sudah mulai memucat. Adhisti belum bisa bernapas lega karena masih ada dua pertemuan lagi yang harus ia lakukan dengan sang dosen pembimbing untuk membahas bab terakhir sekaligus mengeditnya, ingin rasanya ia menyudahi pertemuannya dengan Raka agar rasa dalam hatinya tak semakin tumbuh. Namun, Adhisti sadar ia masih membutuhkan Raka agar dirinya bisa cepat sidang.

Sore ini ketika sampai di rumah Adhisti langsung pamit kepada sang bunda untuk beristirahat dan tidak ingin di ganggu, ia merasa ada yang salah dengan kondisi badannya. Hingga waktu makan malam Adhisti tak kunjung turun membuat Maya naik untuk memastikan kondisi sang putri.

"Sayang," panggil Maya sambil membuka pintu kamar anak semata wayangnya.

Dalam keadaan kamar yang temaram, tampak Adhisti tengah bergulung dalam selimut. Maya mendekat mencoba membangunkan gadis mungil itu, akan tetapi alangkah kagetnya Maya ketika menyentuh kening Adhisti yang berkeringat dingin dan panas.

"Mas, Mas! Mas Pandu!" Maya langsung berlari sambil memanggil-manggil suaminya.

"Ada apa, Bun?" Pandu kaget mendengar teriakan sang istri.

"A-adhisti, Mas. Adhisti," tutur Maya terbata dengan air mata yang sudah melimpah ruah.

Jujur saja Maya selalu khawatir dan memiliki rasa ketakutan yang teramat sangat jika Adhisti demam atau sakit. Pandu gegas berlari ke kamar sang anak lalu membawa Adhisti ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit Adhisti langsung mendapat penanganan, selang infus terpasang di tangan kanannya. Orang tua gadis itu tak sekejap pun berhenti melantunkan doa-doa. Adhisti sendiri kesulitan mengenali kondisi tubuhnya, jatungnya berdetak tak beraturan, napasnya sesak dan ia merasakan jika badannya merasakan kelelahan yang amat luar biasa. Ia hanya ingin cepat pagi, tetapi jarum jam kenapa terasa lambat sekali berputarnya pada saat-saat seperti ini.

Di saat seperti ini Adhisti merasa sangat dekat dengan kematian. Dulu Adhisti akan meminta tuhan untuk segera mencabut nyawanya, akan tetapi sekarang berbeda ada perasaan takut menghadapi kematian. Ia memiliki ketakutan karena merasa belum memiliki bekal apapun untuk ia bawa jika tuhan membawanya pulang hari ini, Adhisti ingin berubah, Adhisti ingin mencari bekal dulu sebelum pulang.

Tisyabina Adhisti || Kim Jisoo - Kim Mingyu || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang