Pluit sudah berbunyi menandakan kereta yang membawa Raka beserta istri dan adiknya ke Yogyakarta akan segera berangkat, Adhisti lebih memilih duduk di dekat jendela berhadapan dengan Delia. Sedangkan Raka duduk di samping Adhisti dengan diam, pikirannya masih menerawang jauh tentang hasil kondisi Adhisti kemarin. Ia bisa menyuruh Adhisti tak memikirkannya, akan tetapi ia sendiri tak bisa menutupi rasa khawatirnya.
Sebuah keributan di gerbong tak membuat perhatian Raka teralihkan hingga suara yang familiar membuatnya mengangkat wajah tampan yang terlihat sedikit murung.
"Hay, Bos. Apa kamu lupa dengan semua dokumen-dokumen ini?" Seorang pria bermata hanzel dengan napas terengah-engah menyodorkan beberapa map ke hadapan Raka.
Raka hanya bisa memijat pelipis melihat wujud sahabatnya, entah dia harus senang atau harus waspada karena tugasnya akan bertambah untuk menjaga Delia.
Namun, ia juga mengerti jika Rendy juga butuh liburan. Pria yang sedang patah hati itu lebih baik ikut dengannya dari pada harus mengurung diri di apartemennya tentunya di temani minuman atau wanita, Raka hanya berdoa semoga tak akan ada kejadian-kejadian aneh atau masalah baru.
"Ini gue gak di tawarin duduk gitu?" Rendy melirik kursi kosong di samping Delia.
"Untuk apa aku menawari jika sedari kursi itu memang milikmu?" Raka mencibir ia tahu pasti jika ini semua sudah di atur oleh Rendy, pantas saja ia tak bisa menemukan dokumen itu meski sudah berkali-kali mencari.
Adhisti yang melihat Rendy malah memasang wajah kesal dan memilih menatap ke luar jendela, ia masih ingat jelas bagaimana Rendy mengerjainya dulu.
"Assalamualaikum, Nyonya Caraka Nararya. Apa kabar?" Rendy berbasa-basi.
Adhisti tak menjawab, ia hanya melirik malas.
"Kenapa?" tanya Raka.
"Tanya saja sama temen Mas itu, jadi orang kok nyebelin banget. Mulutnya itu pinter banget kalo ngibulin orang."
"Haha ... ya Allah Neng Adhisti ini ternyata seorang yang pedendam." Rendy terbahak melihat Adhisti yang memandangnya dengan tatapan musuh.
Raka dan Delia saling pandang. Ia menaikan satu alisnya, sepertinya ada suatu kejadian yang ia lewatkan.
"Ren," Raka meminta penjelasan.
"Aku bukan pedendam, tapi ya Pak Rendy pikir aja sendiri. Gara-gara drama Pak Rendy aku sampe salah paham, terus ya ucapan itu doa. Kalo ucapan Pak Rendy di catet sama Allah gimana? Jadi orang kok usil banget. Bikin aku kelimpungan sendiri terus ngerasa jadi orang jahat sampe rasa bersalah segede gaban," jawab Adhisti sinis.
"Hahaha ... sumpah, Ka. Bini lo polos banget, percaya bae sama semua omongan gue. Kan emang bener gara-gara kamu Raka sampe susah makan." Rendy tertawa hingga matanya tertutup dan mengeluarkan sedikit air.
"Ya tapi kebanyakan bohongnya. Dih, bahagia banget keknya. Ada orang model begini astagfirullah, amit-amit." Adhisti alihkan pandangannya kepada sang suami yang ternyata juga tengah menatapnya. " Mas tau kenapa aku bisa sampe ada di rumah sakit Pelita tempo hari? Gara-gara tuh biang kerok."
"Ren!" Ancam Raka.
"Haha ... lo harusnya berterima kasih sama gue, Ka. Gara-gara drama gue Adhisti sampe nyamperin lo ke sana kan?" Akhirnya Rendy menjelaskan semuanya dan di sambut tawa oleh Delia.
"Ya Allah, Mbak. Mau aja di kibulin Mas Rendy."
Perasaan Rendy menghangat hanya dengan melihat tawa Delia, jika di tanya apa dia masih menyayangi Delia tentu tanpa ragu Rendy akan menjawab sangat. Namun, ia hanya bisa menyayangi Delia untuk dirinya sendiri. Ia takkan pernah mengungkapkannya, cukup Raka yang tahu bagaimana perasaannya terhadap Delia. Jangan sampai ada orang lain yang tahu, apalagi sampai Delia yang mengetahui ia belum sanggup jika nanti Delia menghindarinya hanya karena tak bisa membalas perasaan Rendy. Rendy sudah cukup bersyukur bisa berada di sekitar Delia meski hanya sebatas kakak.
"Bener itu, By?" tanya Raka.
"Au ah gelap." Adhisti yang merajuk langsung kembali menatap keluar jendela.
❄️❄️❄️
Hanya satu hari mereka di Yogyakarta, Raka seperti dikejar waktu ia bahkan tak mengajak Adhisti keluar barang sejenak pun meski hanya untuk makan di luar. Waktu Raka dihabiskan untuk bekerja, mengecek proyek perkembangan kantor cabang di salah satu pusat kota Yogyakarta.
"Ini namanya bukan liburan, tapi nemenin Mas Raka kerja." Delia bahkan terus mengomel ketika mereka tengah dalam perjalanan menuju Malang.
Sesampainya di Malang Raka langsung disambut oleh pihak keluarga dari Abi Faruq, Adhisti langsung takjub melihat daerah tempat lahir Raka.
Penampilan Gunung Panderman langsung mencuri perhatian Adhisti, sawah dan perkebunan sayur membentang dengan udara yang masih sangat sejuk dan segar membuat Adhisti langsung nyaman berbeda sekali dengan daerah kelahirannya di ibukota sana.
Hari pertama di Malang mereka habiskan hanya untuk berisitirahat, di hari kedua barulah mereka gunakan untuk pergi ke makam sang Eyang.
Raka mengajak Adhisti berjalan kaki menuju makam yang hanya berjarak beberapa puluh meter, ia tak pernah melepaskan genggaman tangan sang istri. Ia ceritakan semua silsilah keturunan keluarga Abi Faruq sepanjang jalan.
"Kalo Eyang dari Abi kembar berarti kita juga bisa punya anak kembar dong, Mas? Bagaimana kalo habis pulang dari sini kita program bayi kembar, Mas?" tanya Adhisti dengan penuh semangat.
Raka langsung diam, ia tak ingin membahas soal anak saat ini, Ia sudah mengubur dalam-dalam keinginannya untuk memiliki buah hati. Baginya cukup hidup berdua dengan sang istri sudah lebih dari cukup tak masalah jika mereka tak memiliki anak, toh masih ada Delia yang bisa memberikan penerus untuk NarArt nantinya.
"Maaaaass ...." rengek Adhisti.
"Insya Allah, By." Raka tersenyum semanis mungkin, mengusap pucuk kepala Adhisti lalu mengajaknya kembali berjalan.
"Capek?" tanya Raka saat ia baru selesai membersihkan diri.
Adhisti menggeleng cepat, ia harus meyakinkan Raka agar sang suami mau memberinya izin. Berjalan sore di perbukitan yang sejuk adalah salah satu keinginannya, ditemani Delia dan sepupu Raka itu akan semakin menarik.
"Kamu yakin mau ke sana? Bukit itu lumayan jauh, By. Aku gak bisa nemenin, ada rapat virtual sampe jam empat sore." Raka mulai khawatir.
"Gak papa, Mas. Kan ada Delia sama sepupu kamu. Boleh, ya? Aku janji gak akan sampe kelelahan."
"Janji?" ucap Raka seraya melingkarkan tangannya ke pinggang sang istri. Ia hirup aroma sweet di ceruk leher wanitanya yang masih tertutup hijab, entah kenapa Raka sangat candu dengan aroma itu.
Adhisti langsung gugup ketika Raka memeluknya dari belakang dengan sangat intens, Raka menyingkap kerudung miliknya tak lama ia merasakan sentuhan lembut nan dingin mendarat di lehernya.
"Mm, Mas. Pak Rendy pasti sudah menunggu. Lebih baik Mas cepetan ganti baju, aku mau ke Delia dulu." Adhisti menghentikan aksi Raka. Ia rapikan kembali kerudung miliknya lalu berlari keluar.
Raka hanya bisa menghela napas panjang dan terus menyemangati diri sendiri. "Sabar, Ka. Ini bukan salahnya, kamu sudah tau kondisinya sejak awal. Jangan pernah menyalahkannya, kamu cukup bersabar dan tahan saja." gumamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tisyabina Adhisti || Kim Jisoo - Kim Mingyu || TERBIT
Romance"Apa aku bisa menjadi seperti Sayyidah Fatimah untuk seseorang?" "Kamu tidak perlu menjadi Sayyidah Fatimah hanya untuk mendapatkan seseorang, karena di jaman sekarang tidak ada orang yang seperti Sayidina Ali bin Abi Thalib. Cukup menjadi dirimu se...