Adhisti 33

149 17 2
                                    

Enam bulan sudah Adhisti menyandang status sebagai seorang istri dan seorang menantu dari keluarga Nararya, ia terlihat sangat bahagia. Bunda Maya sampai beberapa kali mengucapkan terima kasih kepada Umi Dahlia yang sudah mau menerima bahkan menganggap Adhisti sebagai putrinya.

Adhisti pun sudah bernapas lega karena ia bisa melewati sidang skripsinya sekaligus mendaftarkan wisudanya di bulan Februari mendatang, dua orang penguji dan tentunya sang suami sebagai dosen pembimbing terlihat sangat puas dengan jawaban-jawaban yang Adhisti berikan.

Matahari sudah condong ke arah barat ketika Adhisti dan Umi Dahlia keluar dari pelataran masjid setelah mengikuti kajian ustazah Khofifah, Umi Dahlia terus mengusap punggung sang menantu ketika ibu-ibu jamaah melontarkan beberapa pertanyaan padanya.

"Belum mau punya baby ya, Neng? padahal mah mumpung masih muda, jadi masih kuat ngedennya," tanya seorang ibu.

"Iya, Neng, jangan nunda. Nanti pas pengen susah loh," imbuh ibu jamaah lainnya.

"Lagian kalo udah punya baby bikin suami betah di rumah, Neng." Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan yang Adhisti jawab dengan sebuah senyuman.

Adhisti memang sangat menginginkan anak, akan tetapi ucapan dokter Nanda tempo hari sangat membekas di ingatan Raka yang langsung menolak keras kehamilan Adhisti.

Wanita itu masih ingat dengan jelas bagaimana sang suami mendiamkannya untuk beberapa saat setelah perdebatan mereka. Umi Dahlia sampai turun tangan untuk memberikan penjelasan kepada Adhisti bahwa begitulah sifat Raka, ia akan diam jika marah, tapi tidak sampai acuh tak acuh.

"Kehamilan pada penderita thalassemia sangat berbahaya, Bu. Apa lagi ibu menginginkan bayi kembar. Kemungkinannya hanya 10%," ucapan dokter muda yang bergelar SpOG itu terus terngiang di benak Adhisti bercampur dengan raut wajah sang suami yang menampakkan kemarahan dan kekhawatiran yang menjadi satu.

"Aku tidak setuju, dan aku tidak menginginkan seorang anak," tolak Raka dengan tegas.

"Tapi, Mas. NarArt butuh penerus," elak Adhisti menutupi keinginannya.

"Masih ada Delia, penerus tidak harus dariku," ucap Raka

"Kenapa harus membebankan kepada Delia, jika kita masih mampu, Mas?"

"Aku tau ini bukan tentang NarArt atau orang tuaku, tetapi kamu sendiri memang menginginkan anak. Aku tetap tidak setuju. Lebih baik kita berhenti saja mengikuti program kehamilan itu."

"Mas!" bentak Adhisti.

"Aku mohon, By, tolong jangan paksa aku. Aku tidak ingin kehilanganmu, aku lebih memilih tidak memiliki anak dari pada harus mengorbankanmu. Aku tau kita masih memiliki 10% harapan, tetapi aku tak ingin bertaruh apapun untuk orang yang ku cintai, By. Aku gak bisa, By," ucap Raka lirih, suara Raka terdengar lembut tetapi bergetar.

"Aku takut, By, aku takut. Setakut itu aku kehilanganmu, aku sudah cukup bahagia memilikimu sebagai orang yang halal bagiku. Tolong mengerti aku, aku bisa mengabulkan apapun keinginanmu asal tidak menyangkut nyawamu." Tanpa Adhisti duga Raka menangis malam itu.

Sejak saat itu Adhisti berhenti mengikuti program kehamilan dan tidak pernah membahas soal anak lagi, Abi Faruq dan Umi Dahlia pun seperti mengerti dengan kondisi anak serta menantunya.

Semua kembali seperti biasa rumah tangga yang harmonis Raka dan Adhisti jalani di hadapan orang tua mereka, Adhisti menghabiskan waktunya untuk belajar agama, menghafal Alquran serta ikut kajian-kajian bersama mertuanya. ia selalu menampilkan senyum dan wajah ceria, apalagi jika tengah bersenda gurau dengan Delia.

Namun, siapa sangka setiap malam Adhisti akan menangis di atas sajadahnya, dan Raka yang akan selalu berpura-pura tidur. Isak tangis Adhisti sangat menyayat hati Raka, akan tetapi itu lebih baik daripada ia harus kehilangan Adhisti.

"Maafkan suamimu yang pecundang ini, By, aku hanya ingin memilikimu secara utuh dan nyata. Aku tak bisa membayangkan hidupku tanpamu. Biarkan aku egois, biarkan aku menjadi suami yang kejam bagimu," Raka bergumam dalam hati ketika malam ini ia kembali mendengar Adhisti menangis, air matanya pun ikut menetes. Sungguh Raka juga sangat menginginkan anak, tetapi apalah artinya seorang anak jika dia harus kehilangan sumber bahagianya.

❄️❄️❄️

"Mas mending navy apa coklat keemasan?" Delia membawa dua batik untuk Raka yang akan pria itu kenakan besok di hari paling penting untuk sang istri.

Besok adalah hari yang selalu Adhisti nantikan, hari wisudanya dan itu berarti sudah hampir setahun dia menyandang status sebagai seorang istri.

"Item," jawab Raka sekenanya.

"Mas gak ditawarin juga, Dek?" Rendy yang memang sedang ada di sana ikut bertanya.

"Ish Mas bule diem dulu," Delia melirik tajam.

"Serius ini, Mas. Yang navy apa yang coklat keemasan? Gak ada item lah ngaco mulu ini orang." Delia masih tetap berusaha mendapat jawaban sang kakak.

"Mana aja, tetep Mas pake kok, lagian kamu ini. Yang mau wisuda siapa, kamu yang rempong, Dek." Sedikit meninggi.

"Ya gak bisa gitu, ini tuh hari paling penting buat Mbak. Ya Mas harus ikut andil lah. Gimana sih jadi suami?"

"Udah, udah, sini aku aja yang pilihin. Mending kamu bantu mbakmu cari kebaya lagi sana. Masmu lagi sensi jangan di ganggu." Rendy berinisiatif mengambil dua kemeja yang ada di tangan Delia. Raka dsn Rendy memang tengah berada di taman belakang sedangkan Adhisti dan Umi Dahlia tengah berada di ruang keluarga.

"Lo ngapa sih? Delia cuma nanya, lo tinggal jawab. Gak usah sensitif begitu."

Raka hanya diam, entah kenapa hari ini moodnya sedang tidak bagus.

"Gue tau lo puyeng mikirin NarArt, tapi ya jangan di bawa sampe ke rumah juga. Kemarin Adhisti juga udah ngusulin motif terbaru juga kan? Siapa tau itu bisa narik customer yang udah jadi langganan pake merk kita."

"Entahlah moodku lagi gak baik." Raka melempar pelet ke dalam kolam, yang langsung di kerumuni ikan-ikan koi kesayangan sang abi.

"Ya udahlah, gue balik duluan besok gue kesini lagi jadi sopir buat umi." Rendy menepuk bahu Raka seraya berpamitan.

"Nih Masmu milih yang navy, Dek." Rendy menutupi wajah Delia dengan baju batik yang ia bawa.

"Maasss ... jail banget sih," teriak Delia tak terima diperlakukan seperti itu, terdengar gelak tawa Rendy menggema hingga ke ruangan lainnya.

Umi Dahlia hanya bisa tersenyum, ia menepuk bahu Rendy ketika pemuda itu membungkukkan tubuh jangkungnya untuk menyalami ibu dari sahabatnya.

"Ini baju untukmu, besok jam sembilan ya, Nak," tutur Umi Dahlia.

"Baik, Umi. Aku pamit dulu assalamualaikum." Rendy pergi dengan membawa baju batik berwarna coklat, yang sama persis dengan milik Abi Faruq. Adhisti mencebikan bibir ketika mendengar Rendy berutur kata dengan sopan hanya pada Umi Dahlia dan Abi Faruq.

Malam harinya terlihat Raka yang tergolek lemas di atas ranjang, Adhisti yang khawatir langsung mengecek suhu tubuh sang suami.

"Mas yakin gak papa?"

"Gak papa, By. Cuma pusing biasa, besok juga ilang. Mending kita tidur ya." Raka langsung menarik tubuh istrinya, memeluk dan menyuruh sang istri mengusap kepalanya. Sudah satu minggu ini Raka susah tidur, ia harus mendapat usapan di kepalanya baru ia bisa terlelap.

Adhisti pernah mencoba berhenti mengusap ketika Raka belum tertidur pulas, alhasil Raka merajuk dan tak tidur lagi sampai pagi.

❄️❄️❄️

Tisyabina Adhisti || Kim Jisoo - Kim Mingyu || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang