Adhisti 27

150 19 2
                                    

Anak adalah amanah dan sebuah anugerah terindah yang dikarunia oleh sang maha pencipta, semua orang yang sudah menikah pasti menginginkan kehadiran seorang anak untuk menjadi pelengkap. Tidak terkecuali Adhisti yang memang sangat menyukai anak kecil, akan tetapi ketika mengingat kondisinya rasa khawatir langsung memenuhi hati dan pikirannya.

Semenjak pembahasan soal anak di meja makan tadi Adhisti sedikit diam, meski ia masih membantu dan merespon semua yang dibicarakan mertuanya. Adhisti pergi ke kamar beralasan hendak bersiap ketika jam sudah menunjukan pukul sembilan pagi, akan tetapi saat sampai di kamar bukannya bersiap ia malah duduk di sisi ranjang diam dengan pikiran yang menerawang jauh. Kenapa dia sampai melupakan jika keluarga Raka pasti menginginkan kehadiran seorang anak?

Adhisti larut dalam pikirannya hingga ia tidak menyadari saat Raka masuk, Raka yang melihat sang istri melamun langsung mendekat dan berjongkok di hadapannya sembari mengelus kepala Adhisti.

"Kenapa?" Raka bertanya dengan suara yang sangat lembut, Adhisti hanya menggeleng.

"Gak betah?" tebak Raka.

"Bukan itu," cicit Adhisti.

"Terus?"

Raka yang peka langsung teringat sesuatu. "Jangan bilang kamu mikirin ucapan Delia tadi?"

Raka menghembuskan nafas berat ketika Adhisti mengiyakan tebakan Raka.

"Apa perlu kita pindah ke rumahku? Aku takut kamu semakin tidak nyaman." Raka memang sudah membeli rumah empat hari sebelum mereka menikah, rumah itu dekat dengan kediaman orang tua Adhisti karena Raka pikir Adhisti akan berat jauh dari orang tuanya.

"Jangan, Mas," sergah Adhisti, ia tidak sadar dengan panggilan untuk Raka yang ia sematkan di belakang kalimatnya.

Pria berhidung mancung dengan alis tebal yang membingkai wajah tampannya itu tampak terkejut. Namun, ia langsung bisa menguasai perasaannya dan mencoba biasa saja. Raka memang jengah mendengar kata pak yang selalu Adhisti ucapkan untuknya, tetapi Raka juga tak bisa berbuat apa-apa ia takut Adhisti tidak nyaman jika dirinya banyak mengatur. Kenyamanan Adhisti adalah yang utama bagi Raka, ketakutan Adhisti yang meminta pulang ke rumah orang tuanya terlalu mendominasi pikiran Raka.

Raka tersenyum, ia genggam tangan Adhisti mencoba menenangkannya. "Maafkan Delia ya, dia hanya bercanda. Jangan terlalu di pikirin."

"Ta-tapi, Mas, bagaimana dengan abi dan umi?"

"Insya Allah, abi dan umi akan mengerti, kita hanya perlu berikhtiar, berusaha dan berdoa selebihnya kita serahkan sama Allah ya, jangan terlalu di pikiran dan jangan di pendam sendiri. Sekarang ada aku yang siap menjadi tempat untuk kamu berbagi segalanya." Raka tersenyum meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Lalu apa kamu sendiri tidak masalah?"

"Tidak, karena anak adalah titipan. Munafik jika aku bilang aku tidak menginginkan seorang anak, akan tetapi kita kembali lagi ke poin tadi bahwa semuanya kita serahkan kepada Allah. Aku tidak akan memaksa, aku menikahimu karena Allah bukan karena perihal anak."

"Makasi, Mas."

"Sama-sama," Raka terus tersenyum dan mengusap kepala Adhisti.

"Adhisti, apa kamu menyukai pantai?" Bukan tanpa alasan Raka bertanya seperti itu, tadi malam Raka yang tidak bisa tidur akhirnya memberanikan diri membaca buku catatan milik Adhisti yang tergeletak tak jauh dari laptopnya. Ia baca dengan seksama tiap halaman yang ternyata berisi semua keinginan-keinginan Adhisti.

"Aku belum pernah ke tempat yang bernama pantai, Mas. Aku hanya melihatnya di gambar dan video. Ayah dan bunda tidak pernah mengizinkanku ke tempat-tempat seperti itu."

Tisyabina Adhisti || Kim Jisoo - Kim Mingyu || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang