09-05-22
Lily tersenyum lembut mendengar ucapan Vi yang menurutnya bukanlah sebuah rayuan melainkan kata-kata sanjungan. Lily mematri tatapan nanarnya mengarah ke wajah Vi yang sangat tampan, yang memberinya senyuman hangat dan menyuguhkan ketenangan.
"Lily, kenapa kamu tiba-tiba bertanya soal itu?" Vi mendekatkan wajahnya sambil mengelus gemas pipi Lily. Ia sudah tak sabar ingin mendengar alasan di balik pertanyaan Lily yang tak biasa.
"Vi, kamu adalah orang yang sangat baik, aku menyayangimu. Aku takut suatu hari nanti kamu akan meninggalkanku bersama pacarmu sebelum kamu membantuku kembali pulang. Aku tak mau sendirian," Lily terlihat sangat khawatir hingga meremas tangan Vi yang masih menempel di pipinya.
Vi menghela napas, lagi-lagi ia berpikiran terlalu jauh untuk anak yang masih berusia tujuh tahun. Pemahaman Lily belum bisa berdiri sejajar dan bersanding dengan otak kotornya. Kini kedua tangan Vi balik menggenggam tangan Lily lalu menciumnya lembut. Tak hanya itu, Vi mengangkat tubuh Lily lalu mendudukkan di pangkuannya dengan saling berhadapan.
"Lily sayang, apa kamu tau kalau di luar sana aku adalah orang yang aneh di mata mereka? tidak ada yang mau denganku, jadi mulai sekarang kamu tidak perlu khawatir karena aku tidak akan pernah bisa mempunyai pacar," Vi menunduk, ia berpura-pura sedih di depan Lily. "Bagaimana kalau kamu saja yang jadi pacarku, apa kamu bersedia?" Sesaat Vi menunjukkan wajah yang terlihat senang, kemudian. "Hmm.. sepertinya kamu juga akan menolak, sama seperti mereka," Vi kembali memasang muka sedih.
"Siapa bilang. Vi, jangan bersedih, aku bersedia menjadi pacarmu agar kamu tak meninggalkanku. Tapi apakah itu bisa? karena umurmu mungkin sama dengan ayahku, sepertinya kamu lebih cocok jadi ayah angkat," ucap Lily sambil menahan tawa.
"Hei! apakah aku sudah benar-benar terlihat tua?" tanya Vi dengan senyum mengembang sangat gemas.
"Hmm," Lily mengangguk yang kemudian disambut dengan gelak tawa.
"Rupanya gadis kecil ini sangat jahat padaku, akan ku gelitiki sebagai balasannya, bersiaplah."
Lily tertawa lepas merasakan geli luar biasa saat jari-jemari Vi mulai menggelitikinya menyentuh bagian leher juga pinggang secara acak. Lily juga meronta dan menghindar berusaha untuk mengakhiri rasa gelinya karena capek terlalu banyak tertawa.
Kini Vi menghentikan candaannya dengan merebahkan Lily di sofa sehingga tak di sengaja membuat posisi tubuhnya berada di atas Lily. Vi yang tadinya tertawa kini mendadak diam membisu, ia merasakan jantungnya yang secara otomatis berdetak menjadi tak beraturan.
"Vi, kamu kenapa?" Lily menatap heran.
"Hmm? gak pa-pa, aku hanya sedang memandang wajahmu yang begitu cantik," ucap Vi beralasan sambil membelai lembut rambut Lily dan merapikannya. "Jadi, apakah sekarang kamu adalah pacarku?" Vi menatap Lily dengan senyum, ia berusaha memecah keheningan yang terasa kaku.
Tanpa pikir panjang, Lily menjawab dengan anggukkan meski ia tak benar-benar mengerti akan arti yang sesungguhnya dari kata pacar. Lily menganggap pacar adalah orang yang akan selalu menemani dan menjaganya di manapun ia berada.
Vi tersenyum lebar menampakkan kepuasan di wajahnya karena seperti biasa, ia selalu berlebihan dalam menanggapi respon dari Lily. Tetiba timbul di benaknya keinginan untuk sedikit meluapkan rasa puas itu dengan hanya mencium pipi Lily barang sebentar saja.
Keduanya masih bertahan di posisi semula, Vi tampak bersemangat dengan niatnya untuk mencium Lily. Ia bergerak semakin rendah mengarah ke pipi dan lagi-lagi Vi mulai merasakan jantungnya berdegup kencang.
Vi memejamkan mata saat bibirnya perlahan berhasil menyentuh pipi Lily yang halus. Vi mencucupnya lembut berulang kali hingga sesaat kemudian ia merasakan kedua tangan Lily melingkar di lehernya, seolah ikut menikmati. Vi mendelik dan sontak hatinya terasa bergejolak ketika mengingat pesona Lily bagaikan virus yang terus menyebar dan mulai menggerogoti akal sehat. Aksinya juga terasa seperti bom waktu yang tertanam di dalam jantung dan bisa meledak kapan saja menghancurkan segalanya.
"Vi," Lily memanggil dengan suara lirih.
"Iya, sayang?"
"Aku sangat mengantuk. Tolong simpankan permenku untuk besok," berucap dalam keadaan setengah sadar. Lily terpejam tak berdaya, ia tak bisa menahan rasa kantuk akibat kelelahan setelah tadi pagi berkeliling ke perkebunan bunga.
Dengan menahan sedikit rasa kecewa, Vi mengakhiri dekapannya dan melepaskan tangan Lily yang melingkar di leher. Vi mengambil permen dari tangan Lily lalu membuangnya ke tempat sampah. Vi berdiam diri sejenak sambil bersandar di sofa. Ia menyibakkan rambut ikalnya dengan kedua tangan, matanya terpejam mulai berselancar dalam lamunan.
Di keheningan malam, setelah beberapa saat memejamkan mata. Vi terlihat senyum-senyum sendiri. Dalam benaknya, ia tengah menertawakan kebodohan dan kegilaan akan obsesinya terhadap Lily. Merasa tak berdosa dengan tindakannya, Vi malah bersyukur akan kekhilafan yang terjadi dan sama sekali tak pernah ia sesali karena Lily adalah satu-satunya sumber kebahagian. Lily adalah napas yang memberinya kehidupan. Lily adalah cinta mati hingga di kehidupan yang abadi.
Di dalam sebuah ruang kamar yang tak terlalu besar. kamar yang telah lama tak berpenghuni. kamar yang menyimpan banyak kenangan manis akan sosok Isabella. Lela tampak bersimpuh di lantai dengan box besar di depannya yang berisi penuh dengan aneka jenis permen kesukaan Bella. Permen yang Lela beli secara rutin sebagai hadiah ulang tahun untuk putrinya yang telah lama menghilang.
Selama lima tahun penantian rasanya belumlah cukup untuk benar-benar bisa mematahkan harapan Surya dan Lela akan kembalinya Bella. Harapan itu akan terus ada selama mayat Bella belum di temukan. Lela menitikkan air mata sambil mengemas barang-barang milik Bella, ia sesekali menatap kearah jungkook yang juga berada di ruangan itu membantunya. Jungkook kini telah genap berusia tujuh tahun, umur dimana saat Bella pergi meninggalkan keluarganya tanpa jejak.
"Apa semuanya sudah beres? kita harus meninggalkan rumah ini besok pagi," ucap Surya sambil mengangkat beberapa box untuk di masukkan ke dalam truk engkel.
"Sedikit lagi," Lela menjawab dengan lesu.
Keluarga Atmadja terpaksa harus pindah rumah karena sudah habis masa kontrak. keadaan ekonomi yang sulit memaksanya untuk mencari tempat tinggal dengan biaya sewa yang lebih murah. Hal ini yang mengganggu Lela hingga rasanya setengah hati untuk melangkah pergi. Lela terlihat murung juga gelisah, ia khawatir jika suatu saat nanti Bella akan kembali pulang dan tak menemukan keluarganya.
Selama lima tahun bertahan tinggal di pelosok, dalam rumah yang berada di tengah perkebunan. Kini sudah saatnya bagi Vi untuk membawa Lily tinggal di tempat yang lebih nyaman di dekat perkotaan. Lily yang telah tumbuh menjadi gadis remaja dengan paras cantik yang tak pernah membuat bosan mata memandang, juga penampilannya yang telah berbeda. Vi yakin ia tak akan lagi mudah di kenali sebagai sosok Isabella.
Selain alasan kenyamanan tempat tinggal, Vi juga memikirkan pendidikan Lily. Setelah sebelumnya ia menyewa mahal seorang guru pengajar sekolah dasar untuk Homeschooling. kini Vi akan mendaftarkan Lily di sekolah menengah pertama secara formal.
"Vi, tempat tinggal kita yang baru apakah jaraknya jauh dari sini? aku akan sangat merindukan tempat ini," ucap Lily sambil menggandeng tangan Vi berjalan menuju perkebunan bunga untuk yang terakhir kali.
"Jaraknya lumayan jauh, aku akan mengantarmu kesini saat libur sekolah atau saat kamu menginginkannya nanti," ucap Vi santai yang kemudian beralih merangkul Lily.
"Makasih Vi, aku menyayangimu," Lily membalas rangkulan Vi.
"Aku lebih menyayangimu," Vi mencium puncak kepala Lily yang kini tingginya sudah sebahu.
Bagaimana kisah Lily saat menginjak remaja dan sekolah barunya, lanjut baca yuk !. Terimakasih❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Lily_kekasih kecilku (SN x BTS)2 (Fanfiction)
FantasiKim Taehyung, sosok keturunan konglomerat yang menjadi aneh, seumur hidup merasa kesepian, terlahir sebagai anak semata wayang tidaklah mudah baginya. Meski di asuh dan di besarkan dengan kasih sayang yang melimpah, namun tiada arti jika kasih sayan...