Jevan menatap sebuah kertas yang berlabel kan dari rumah sakit. Ia terkekeh membaca nya, Tak ingin membaca nya terlalu lama ia memasukkan asal kedalam laci lemari nya.
Merebahkan tubuhnya di kasur, dan menghela nafas. Ia mencoba menghalau sebuah kejadian yang akan menimpa dirinya beberapa bulan terakhir ini. Tidak, itu nyata. Sesulit apapun ia menolak keras tetapi itu lah memang kebenaran nya.
Jevan tidak menyalahkan siapapun disini, ia menyalahkan dirinya sendiri yang begitu lemah. Usia nya masih terbilang muda tapi jevan mendapatkan semua ini.
Tidak ingin berlarut dalam asumsi nya, ia mencoba memejamkan mata lelah nya. Jevan akan tidur sebentar saja. Mengistirahatkan semua tubuh nya yang terasa lemas.
Sementara itu, ada mama Ara yang mengintip jevan dari celah pintu terbuka. Wanita itu menutup mulutnya, sebisa mungkin agar suara tangisannya tidak terdengar. Beliau menangis dalam diam, tangan nya menutup pintu pelan agar tidak menganggu sang anak. Ia terduduk lemas di tembok kamar jevan. Tubuhnya merosot, ia bertanya dalam hati mengapa harus anaknya?
Suara langkah membuat mama Ara menatap orang itu. Ternyata sang suami yang melihatnya khawatir.
"Ayo papa bantu turun. Mama kenapa kok nangis gini?" Pria paruh baya itu dengan sigap menuntun istri nya.
"Pa, mulai sekarang bisa ngga kita kasih perhatian lebih ke jevan?"
"Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba kayak gini? Kenapa sama jevan ma?" Tanya sang suami menuntut.
Sang istri hanya menggeleng kan kepalanya, wanita itu kembali menangis yang mana membuat pria itu semakin bingung.
Mama Ara mengeluarkan kertas yang sedari tadi ia genggam. Sama persis seperti yang di pegang oleh jevan. Ia mengasih nya kepada sang suami. Pria itu membaca nya cepat, ia terpaku saat mendapati sebuah kalimat singkat yang tercetak tebal disana.
Kertasnya ia buang begitu saja, menarik sang istri ke dekapan nya, memeluk istri erat. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Semuanya terlalu tiba-tiba. Hati nya tersayat. Pikiran nya kosong. Tanpa sadar beliau juga ikut menangisi anaknya.
Entah hari ini disebut hari buruk nya atau hari beruntung nya. Karena saat tadi pagi di kantor ia mendengar bahwa produk nya terjual meningkat, dan sekarang ia baru saja pulang mendapat bahwa anaknya sedang tidak baik-baik saja.
Suara bukaan pintu membuat kedua paruh baya itu cepat-cepat mengusap air mata nya. Mama Ara menoleh ke arah pintu yang menampakkan anak pertama nya dengan seorang gadis. Ia tersenyum lembut menyambut mereka.
"Jeff sama Shania cuci kaki dulu ya. Terus langsung makan. Mamah udah masak banyak hari ini" ucap mamah Ara yang masih mempertahankan senyuman lebar nya.
Jeffry mengernyit, ia menatap aneh mama nya "mata mama kok merah? Habis nangis?" Tanya nya.
Mamah Ara mengangguk " iya, tuh sama papa juga"
"Loh, emang denger berita apa sampe kayak gitu?" Tanya Jeffry lagi. Lelaki itu masih penasaran.
Sang papa berbalik menghadap Jeffry, menatap anaknya dalam lalu menggeleng sembari tersenyum tipis " kamu tau kan Jeff kalau perusahaan papah ngeluarin produk baru? Nah itu dalam waktu 5 hari udah terjual meningkat. Papa cerita ke mama tapi mama malah terharu dan berakhir nangis gini" jelas sang papa. Baik Ryan dana Ara hanya bisa membatin miris karena telah membohongi anak mereka sendiri.
Jeffry tanpa ragu mengangguk, ia menghampiri papa nya dan memeluk " selamat pa, kerja keras nya terbayar akhirnya. Btw, ngga makan-makan nih?" Ucap Jeffry sembari menjahili papa nya.
"Lah itu mama udah masak banyak ya karena ini. Jadi, ngga usah makan-makan ya? Sayang kalau di buang Jeff" balas mamah Ara. Ia tidak akan tega merayakan hal ini di saat-saat jevan terpuruk nya. Ia harus adil kepada anak-anaknya.
"Selamat ya om buat keberhasilan nya. Bener kata ayah, kalau kerja keras itu dapet hasil indah diakhir nya" ucap Shania, di depan Ryan sembari tersenyum manis.
Papa Ryan hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Ia mengusak Surai Shania sayang.
"Yaudah makan gih, sama mama juga. Papa mau ngecek berkas lagi" Jeffry menahan tangan papa nya saat akan beranjak dari tempatnya, " makan dulu lah pa. Ga enak nih ada Shania, masa di tinggal gitu aja? Lagian ngurus berkas nya bisa nanti lagi." Kata Jeffry. Papa Ryan sempat berpikir lalu mengangguk pasrah.
Kini mereka sudah duduk di kursi masing-masing. Sebelum makan papa Ryan memimpin doa. Mereka fokus pada makanan nya sendiri tanpa mengetahui jevan yang melihat semuanya dari atas.
"Cih, keluarga bahagia ya" decih nya pelan, sebelum turun mengambil kontak motornya dengan santai ia juga melewati ruang makan tanpa menoleh.
Mama Ara buru-buru menyusul jevan, ia tahu anaknya pasti salah paham karena tidak mengajaknya makan bersama.
Di susul Shania juga. Gadis itu ikut berlari ke depan memanggil Jevan yang sekarang sedang berbicara dengan mamah Ara.
"Jevan, mama tadi m—
"Jevan tau kok ma. Santai aja, jevan ngga bawa ke hati" ucap nya memotong ucapan mama nya.
"Jevann!"
Lelaki itu berbalik lagi sekedar menunggu Shania yang berusaha berdiri di depan nya.
"Kenapa?"
"Gue minta maaf. Janji deh gak kayak gitu lagi. Janji gue kemarin gue ganti ya? Sekarang aja gimana?" Ucap Shania.
Jevan menggeleng " gapapa lupain aja. Janji itu ga usah diganti, gue udah keluar sama anak Draze" balas nya. Lalu menaiki motor kesayangan nya.
Ia berpamitan kepada mama nya sebelum melakukan motornya. Menatap Shania dari spion ia menghela nafas.
'maaf, gue kayak gini biar Lo ga berat sewaktu-waktu gue tinggal jauh kak sha'
TBC.
Singkat ya? Sengaja emang, mwehehe.
Votmentss kencengin ya 👍
Part selanjutnya lebih panjang dari ini kok, tenang aja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex- || Anak SMK
Teen Fictionini tentang shania yang gagal move on sama mantannya. Tetapi, ada pada saat hari itu Shania mengubah alur yang tak semestinya. Entah, akhirnya bagaimana, masih menjadi tanda tanya bagi Shania sendiri. | melokal | tw/ harsh word