bg. 20

48 7 4
                                    

Jeffry menatap kosong hospital bed tempat adiknya tertidur dengan berbagai alat medis disana.

Kejadian kemarin masih membuat semuanya trauma.

Semuanya tentu tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Salah satunya mamah Ara yang baru saja tidur di pundak Jeffry. Tampak sekali mata sembabnya sehabis menangis. Sedangkan papa Ryan, masih mengurus keperluan Jevan dibantu oleh beberapa dari anak frapsatu.

Jeffry tak pernah menyangka jika mimpinya terjadi perisis seperti ini. Padahal, mimpinya kemarin– tepat saat ulang tahun Jevan  hanya ia anggap bunga tidur saja karena dirinya yakin Jevan akan sembuh. Tapi, mengapa malah kebenarannya yang sekarang terjadi.

Bunyi pintu terbuka membuat Jeffry menatap orang yang masuk sebentar, lalu kembali menatap sang adik.

"Jevan, pasti baik-baik aja bang jeff." Ujar seseorang itu yang perlahan mendekat ke hospital bed Jevan.

"Lo mau bilang baik-baik aja setelah semuanya, Jend?" Balas Jeffry tanpa menatap Jendra.

Jendra mengehela nafasnya setelah mendengar jawaban dari lelaki itu. Jendra tahu jika mengatakan semua akan baik-baik saja adalah suatu kebohongan besar. Nyatanya, Jendra ada dikejadian waktu itu. Bahkan melihat dengan mata kepalanya sendiri.

"Gue sekarang paham kenapa Jevan ga mau hadiah dari mamah karena takut ga akan kepakai." Ucap Jeffry yang mengundang tatapan penuh penasaran dari Jendra.

"Ternyata dia udah ngerasain duluan. Atau bahkan buruknya lagi, dia ngode kita kalau mau nyerah?"

Jendra menggeleng, matanya menatap Jevan yang masih belum membuka matanya. "Jevan anaknya kuat ,bang. Lo percaya gue kan?"

Jeffry menatap Jendra lamat, "gue percaya, Jend." Ucapnya.

Jendra membalas tatapan itu dan mengulas senyum tipisnya. Dirinya duduk di kursi yang sengaja ditaruh sebelah hospital bed Jevan. Menatap temannya yang dipenuhi alat medis membuat Jendra tanpa sadar meneteskan air matanya. Dadanya nyeri, karena terlalu menahan tangis yang selama ini tidak ia tunjukkan pada siapapun itu.

Kali ini, Jendra menumpu kedua tangannya disana dan menangis dengan lirihnya.

Jeffry ingin menghampiri Jendra, tapi urung saat melihat mamahnya baru saja tertidur. Ia tidak tega membangunkannya.
Dengan mendengar isakan lirih Jendra pun membuat Jeffry tahu seberapa sakit yang Jendra rasakan saat melihat keadaan Jevan sekarang.

Jeffry sangat ingat dan hafal bagaimana keduanya. Jendra dan Jevan sudah menjalin sahabat sedari mereka kecil. Ingatan Jeffry kembali pada 10 tahun yang lalu, dimana Jevan dan Jendra selalu kompak menjahilinya dan berakhir dirinya yang terkena marah sang mamah. Dirinya ingin itu semua terulang kembali, ingin kembali pada 10 tahun yang lalu dan menahan waktu agar tidak ada tahun ini. Tahun dimana banyak sakitnya daripada senangnya .

Jeffry tersentak saat mendengar teriakan Jendra, begitu pun sang mamah Ara yang langsung terbangun dari tidur singkatnya.

Jeffry menatap kedua tangan adiknya yang bergerak perlahan. Belum sempat dirinya berbicara, sang dokter pribadi yang menangani Jevan datang dengan dua orang perawat.

Jeffry menunggu dengan gusar, kedua tangan ia remat agar sedikit tenang sembari menunggu sang dokter yang tengah memeriksa jevan.

Dokter Madeva melepaskan stetoskop yang ia pakai, "Jevan sudah bangun dari komanya. Tapi, untuk dirinya membuka mata memerlukan waktu 3 hari karena Jevan harus membiasakan tubuhnya sendiri." Ungkap dokter Madeva.

"3 hari ?" Tanya mamah Ara.

Dokter Madeva mengangguk, "didalam dunia dokter tidak ada yang 100 persen . Bisa saja Jevan akan sadar nanti, besok, atau seminggu kemudian. 3 hari itu hanya prediksi saya setelah saya cek imun Jevan. Saya juga berharap agar Jevan cepat sadar lalu kita bisa memulai operasinya." Ujar dokter Madeva.

Ex- || Anak SMKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang