bg. 21

45 7 9
                                    

Dokter Madeva dengan beberapa dokter ahli sudah memposisikan tubuhnya disamping perut Jevan, sebelumnya lelaki itu sudah disuntik obat bius saat akan melakukan operasi. Tiga dokter tersebut menunduk berdoa agar operasi dapat berjalan dengan lancar.

"Pisau bedah." Ucap Dokter Madeva, perawat disana langsung membantu.

Ketiga dokter, dan empat perawat disana mencoba fokus pada operasi yang terbilang sangat besar, bahkan membutuhkan waktu yang lama.

"Tahan bagian kirinya." Dokter sella, ahli beda yang menjadi partner dokter Madeva pada operasi ini dengan sigap menahan bagian dalam itu.

"Dokter, terjadi pendarahan!" Ucap salah satu perawat.

Dokter Madeva dan dua dokter ahli bedah lainnya segera mengambil tindakan cepat. Padahal dokter Madeva yakin sudah berusaha dengan hati-hati tapi tetap terjadi.

"Ambil stok darah yang sudah dipersiapkan! Percepat masuknya!" Titah dokter Madeva. Dua perawat langsung melaksanakan tugasnya dibantu oleh dokter kenzo, kepercayaan para dokter ahli bedah. Beliau juga disini untuk membantu Dokter Madeva.

Dokter Madeva kembali melanjutkan, saat ini sudah masuk bagian terpenting. Dan dirinya harus extra hati-hati.

.
.
.
.
.
.

6 jam berlalu, dan mereka semua masih lengkap disini. Menunggu Jevan operasi.

Shania sedari tadi mengenggam tangan addy, selaku kakak kandungnya. Doa ia rapalkan terus menerus didalam hatinya. Sesekali dirinya menampik pikiran buruk yang tiba-tiba bersarang di otaknya. Shania harus melawan itu semua, dirinya yakin bahwa Jevan akan berhasil dan sembuh kembali.

Orang tua Jevan pun masih setia menatap pintu operasi itu, harapan mereka akan terdengar kabar baik keluar dari sana. Sedangkan Jeffry mendekap tubuh mamahnya yang tampak lemas. Kata semangat tak lupa ia ucapkan agar membuat sang ibu tenang.

Tetapi suara hening itu kembali rusuh ketika salah satu perawat datang dengan baju operasi, dan menghadap orang tua Jevan.

"Kita butuh golongan darah AB segera. Pasien terjadi pendarahan 2 kali, yang menyebabkan stok di rumah sakit habis. Ayo cepat!" Jelas perawat itu.

Papa Ryan sudah akan beranjak dari duduknya tetapi cekalan Jeffry mengentikan beliau.

"Pah, papa ga akan bisa. Papa punya penyakit hipertensi" cegah Jeffry, dan dirinya tahu apa akibat jika sang papa melakukan donor darah.

"Ta–

"Haikal aja om." Sela Haikal, lalu tanpa menunggu persetujuan siapapun dirinya memasuki ruang operasi. Sebelumnya ia diharuskan menggunakan baju yang sama persis digunakan oleh perawat tadi. Mencegah terjadinya penularan atau bisa menjadikan munculnya virus baru.

Mamah Ara semakin mengenggam erat tangan Jeffry, anak sulungnya.

"Mah, mamah yakin kan kalau Jevan pasti bisa?"

Mamah Ara mengangguk, meskipun tidak menampik bahwa air matanya kembali turun. Jangan tanya bagaimana keadaan anak frapsatu sekarang, karena mereka kini semua saling mengenggam dan banyak-banyak berdoa untuk Jevan.

Termasuk anak draze yang kembali memikirkan perkataan Jevan sebelum lelaki itu melakukan operasi tadi. Salah satunya Rendi, yang mencengkeram kamera dengan gemetar. Kamera itu sedari tadi menggantung di lehernya. Terakhir ia gunakan tadi foto bersama dengan Jevan dan anak draze. Entahlah disaat Jevan siuman dari komanya, Rendi ingin sekali mengabadikan momen ini.

.
.
.
.
.
.

Haikal berbaring pada hospital bed  bekas Jevan disana. Karena sebelumnya lelaki itu sudah dipindahkan pada meja operasi khusus. Dirinya melirik selang yang menyalurkan darah yang ia punya ke tubuh Jevan, meski Haikal tidak dapat melihat bagaimana keadaan Jevan karena ditutupi oleh tirai selambu rumah sakit.

Ex- || Anak SMKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang