bg.12

89 14 6
                                    

Muak.

Jevan muak dengan segalanya. Obat, kemo, apalah itu sudah tidak asing baginya.

Setelah dinyatakan dirinya divonis kanker hati waktu itu, seluruh tujuan hidupnya berubah. Tentu, ada sebab jevan terkena penyakit ini. Ingat saat dirinya tertusuk itu? Ternyata tusukan itu menggores hatinya cukup dalam. Pernah dengar tidak, jika ada korban seperti ini sebaiknya pisau lebih baik menancap. Tapi hal yang dilakukan Hanan waktu itu mencabut pisaunya. Pasti, akan menimbulkan penyakit baru pada tubuh jevan.

Awalnya ia tidak sadar, bahkan dokter setelah menjahit lukanya tidak hal buruk yang kemungkinan terjadi. 1 bulan setelah nya, ia mengalami kram dan selalu muntah. Mencoba bilang ke mamah Ara dan berakhir diuji lab agar tau penyakit apa yang tengah dideritanya ini.

Begitu hasilnya keluar, ia tidak berani berharap banyak. Meskipun kedua orangtuanya sanggup membiayai pengobatan untuk jevan berapapun itu, asal anaknya sehat kembali. Berbagai upaya pemeriksaan ia lakukan.

Kemoterapi, dan sejenisnya.

Jujur, ia lelah. Rasanya ingin menyerah saat itu juga. Tetapi, melihat teman-teman dan orang tuanya mengharapkan ia sembuh. Jevan menahan nya.

Sekarang ia berada di bangsal rumah sakit karena ia baru saja melakukan kemoterapi. Jevan merasa Ini semua tidak menyembuhkannya, bahkan menambah rasa sakit.

Pintu inap nya dibuka tergesa, entah siapa itu. Ia sedikit terkejut, Shania datang dengan addy dan jangan lupa kedua orangtua Shania.

Tidak. Ia belum siap bertemu gadis ini.

Ia menatap penuh tanya pada addy. Yang ia dapat hanya gelengan pasrah.

"Gimana keadaan Lu jev?" Tanya addy.

"Baik"

"Yakin?" Tekan Shania. Gadis itu duduk di sofa memberikan akses kepada kakaknya dan orang tuanya dahulu. Lalu setelah itu dirinya.

"Y-ya"

"Kamu ga ada nuntut dia yang udah nusuk kamu jev?" Tanya ryos. Papa Shania.

Jevan yang ditanyai hanya tersenyum"buat apa pah? Kalo bisa sembuhin penyakit ini bakal jevan lakuin. Jevan ga mau ngelakuin hal yang sia-sia". Balas jevan.

Mereka bertiga menatap sendu jevan. Lelaki itu masih terlalu muda menerima semua ini. Bahkan usianya masih 16 tahun.  Meskipun 1 bulan lagi jevan mencapai umur 17 tahun. Itu semua terlalu berat untuk jevan.

Mereka bertiga akhirnya pamit keluar, mengasih ruang untuk Shania dan jevan berbicara. Bunda Reina menyempatkan mengecup kening jevan sebelum meninggalkan nya. Wanita itu menangis, relung hatinya ikut sakit melihat keadaan jevan yang sudah ia anggap anak sendiri selama ini.

"Kenapa sembunyiin semua?" Shania langsung to the point.

Jevan diam. Menunggu Shania mengucap kembali kalimat nya yang belum selesai.

"Lu tuh kenapa sih jev? Gue itu siapa Lu sih sebenernya? Disaat semua orang terdekat gue tau lu sakit, kenapa gue ga berhak tau? Apa lu ngerasa sakitnya lu ini ga penting buat gue? Makanya milih diem. Kalo lu mikir itu, lu salah! Itu penting banget buat gue asal lu tau". Shania memilih menjeda kalimat nya. Ia mengambil nafas sebanyak-banyaknya.

"Gue ga mau lu khawatir kak" jawab jevan sembari menunduk.

"Alasan konyol" balas Shania.

"Dan, gue ngerasa lu ngehindarin gue. Salah gue apa jev? Tolong beritahu gue, gue ga mau lu ngehindarin gue terus" tambahnya lirih.

Ia benar-benar merindukan sosok jevan yang selama ini selalu ada untuknya. Ia ingin jevan kembali menjahilinya, ia ingin bercanda ria bersama jevan lagi.

"Gue harus hapus perasaan ga berdasar ini kak" ucap jevan. Ia akan mengungkapkan perasaan suka nya pada gadis ini. Jaga-jaga ia sudah tak bisa melihat lagi pada dunia.

Shania mendongak menatap jevan dalam.

"Gue suka sama lu kak, gue sayang sama lu, gue cinta sama lu. Maaf kalo kesannya gue ga–

Jevan terdiam kaku saat Shania memeluk nya. Ia rindu kehangatan ini. Baru saja kedua tangannya akan membalas, perut kirinya kembali nyeri. Sontak ia merintih, memegang ulu hatinya.

"Akhhh"

Shania melepaskan pelukannya, ia segera memencet alat nurse call yang berada disitu.

"Jevan, lu masih denger gue kan?" Shania panik, tangannya gemetar tak karuan.

"K-ak, maafin ke- akhh kesalahan gue y-ya. Se-semoga l-lu  –akhh"

Tidak. Jangan sekarang.

Shania menangis mendengar ucapan patah-patah jevan. Ia mengelus pipi tirus pemuda itu.

"Jevan, jangan sekarang ya? Gue gamau ditanggal sama lu. Gue juga cinta sama lu jevann!"

Jevan tersenyum tipis, ia hendak membalas ucapan gadisnya tetapi nyeri lagi-lagi membuat nya meremas area ulu hatinya.

Brakk.

Dokter dengan dua perawat dibelakang nya masuk dengan tergesa-gesa.

Shania diarahkan keluar dahulu sesuai prosedur rumah sakit.

Mamah ara dan bundanya sontak memeluk Shania saat gadis itu baru saja keluar dari ruangan jevan. Lututnya lemas, ia meluruh ke lantai rumah sakit.

Kejadian hari ini benar-benar tak pernah terpikirkan di benaknya. Ia merapalkan banyak doa untuk lelakinya. Tolong, ia masih ingin menghabiskan waktu dengan jevan. Membuat banyak kenangan dengan lelakinya. Ya. Harus.

Mamah Ara dan bunda Reina kembali mendudukkan dirinya di kursi. Mamah Ara menatap anak draze agar mau membujuk Shania juga . Karena sebelumnya gadis itu menolak bahkan menepis tangan mamah Ara dan Reina.

Jendra berlutut dihadapan Shania yang masih mengeluarkan isakan kecil, ia menggenggam tangan gemetar itu.

'jevan, gue ijin megang tangan cewe lu ya'

"Kak, pindah yuk dikursi. Disini dingin" ajaknya sembari menarik pelan tangan Shania. Tapi tetap gadis itu tidak mau berdiri sama sekali.

"Jendra..... Gue cinta sama jevan" lirih Shania, meskipun begitu semua dapat mendengar ucapan Shania. Termasuk mamah Ara yang menutup mulutnya sembari terisak pelan.

"Gue... Berhak bahagia sama jevan kan?" Tanyanya ragu pada Jendra.

Jendra menelan ludah nya gugup, ia menatap anak draze dan para orang tua. Dapat ia lihat papa ryan menganggukkan kepalanya.

"Iya kak. Lu berhak bahagia sama jevan. Lu percaya kan sama jevan? Dia ga bakal ninggalin kita"

"Iya, gue percaya sama jevan" balas Shania.

Jendra tersenyum tipis, lalu kembali mengajak Shania berdiri agar tidak duduk kelamaan di ubin.

Anak draze memberi ruang kepada Shania, gadis itu duduk disebelah Jendra, kanan nya ada bunda nya.

Ia menyenderkan kepalanya pada pundak bundanya, sembari menatap kosong pintu inap jevan.

Lain Shania lain Jendra, lelaki itu menggerakkan kecil tangan nya yang digenggam erat oleh kedua tangan Shania.
Ia menatap anak draze meminta pertolongan, tapi yang mereka lakukan adalah pura-pura tidak melihat Jendra.

Sialan, umpat Jendra dalam hatinya.

'jev kalo lu sadar nanti, boleh kok nonjok gue karena udah berani pegang kesayangan lu. Makanya sekarang cepet sadar biar bisa nonjok gue ya'

TBC.
Lanjut apa berhenti nih?


Ex- || Anak SMKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang