Semakin bersembunyi di dalam lingkar kebohongan. Semakin membuat kita terjerumus ke dasar paling bawah. Semua seperti mimpi buruk yang terus berputar.
-Adinda Maharani Syilla-
Malam itu, Darrel bertemu dengan papa Alice di tengah hujan deras. Sedangkan ia juga telah basah kuyup enggan beranjak mau pun pergi.
"Kenapa Rel?" suapan Darrel terhenti saat Alice menopangkan dagunya di jemari. "Nggak enak ya? Mau beli aja?"
Darrel menggeleng pelan. "Enak. Aku suka."
"Tapi dari tadi kamu ngelamun. Masih mikirin tentang Bundamu?"
"Masih. Dan banyak lagi yang aku pikirkan, Al," Darrel membuang napas dalam tunduk. Hari itu, saat hujan mengguyur dan kemarahan menyeruak, harusnya ia diam di dalam kamar, tak perlu datang ke sini dan bertemu dengan lelaki yang akan mengobrak habis pikirannya.
Belum sepenuhnya malam saat ia mengizinkan lelaki paruh baya itu bercerita. Tepatnya, ketika tubuh tinggi Frezdian melangkah keluar dengan tergesa.
"Om. Apa yang terjadi?"
Frezdian menunjuknya. "Kamu, laki-laki yang terus-terusan menempel dengan putriku, kan? Siapa namamu, saya lupa?"
"Darrel."
"Oh iya, Darrel. Pulanglah, hujan tak akan reda malam ini," ia melengos memutar wajah. "Anak saya sedang tak enak badan, jangan mengganggunya dulu."
"Om," panggil Darrel kala Frezdian berjalan sedikit menjauh. "Apa maksud dari semua ini? Apa benar Anda bukan papa kandung Alice? Apa karena ini Anda bersikap seenaknya kepada Alice?"
"Dari mana kamu tahu?"
"Seseorang memberitahu saya. Dan itu bukan Alice, jadi tolong hentikan menyakitinya atau saya yang akan turun tangan."
"Anak-anak sekarang tak ada rasa takutnya saat berbicara dengan orang dewasa," Frezdian tergelak sembari menepuk kuat bahu tegap yang basah milik Darrel. "Saya tak pernah menyakiti Alice, dan tak mau menyakitinya meskipun dia bukan putri saya," seulas senyum terbingkai begitu tulus, tetapi Darrel mengernyit bingung.
"Masih hujan, bagaimana kalau kita ke depan sana, ada supermaket kecil untuk berteduh, sekalian bercerita sambil menyesap kopi. Darrel, akan sangat menyenangkan jika sesama lelaki berbicara, bukan?"
Rasa penasaran menghapus kebencian Darrel. Semula bertaut amarah di dalam hatinya terlebih memandangi wajah tegas dengan kumis tipis sang empu, sekarang mulai memudar, entah karena hujan yang terus mengguyur atau secuil senyum dari Frezdian. Darrel mulai bingung dengan tingkah lakunya sendiri.
"Setelah ini, pulanglah! Jangan sampai sakit. Nanti anak saya tak ada lagi yang akan menjaganya," Frezdian mengulurkan cup kopi kepada Darrel lalu duduk di kursi panjang tepat di samping lelaki itu. "Untuk ini saya minta maaf," ia mengangkat kakinya membuka sepatu lalu melepaskan beberapa serpihan kaca di sana. Darrel menatap ngeri, ngilu juga terasa kala darah mulai menetes lagi. Segera Frezdian menutupi dengan plester yang ia beli setelah selesai melepas serpihan kecil yang menempel di sana.
"Apa om bertengkar dengan Alice sebelum keluar dari sana?"
"Tidak. Saya tak sengaja menjatuhkan kaca."
"Tapi itu seperti diinjak."
Frezdian mendongak lalu mengangguk. "Saya malu dan pergi sambil menginjak kaca di lantai. Awalnya tak terasa sakit sama sekali, tetapi semakin lama melangkah, kaca kecil yang terus menusuk masuk membuatnya perih."
"Kenapa harus malu?"
"Karena ketahuan berbohong."
"Kenapa tak memberitahu semuanya, om?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai Darrel [END]
Teen Fiction[Squel IKHLAS] "Di saat aku meyakini kamu sebagai penyembuh. Dan sekarang berakhir menjadi penyebab luka, aku bisa apa?" ••• Jika semesta terus saja bercanda. Semua seperti terulang. Darrel Atmaja Aditama, apa yang harus ia lakukan ketika berada di...