Selayaknya malam, bintang kadang tak selamanya setia. Ia juga bisa berjalan mundur dari gelap awan yang mendekap langit.
---•••---
Jakarta, tujuh tahun setelahnya...
Senin 16:00
"Alice, aku dihubungi oleh Aunty, katanya kamu di sana. Aunty juga bilang aku bodoh yang terus-terusan nanya tentang kamu."
"Alice, hari ini aku pulang cepat dan langsung diomeli sama Ayah, katanya. Dasar pemalas!"
"Al. Kamu apa kabar?"
Setelah selesai mengucapkan kalimat-kalimat itu, Darrel menempel lagi gambar Alice pada pagar hitam yang tertutup. Yang lama sudah memudar bahkan rusak terkena air. Ia terus duduk dan menyandarkan punggung pada tembok bercat biru. Sudah diganti oleh pemilik asli.
Senin 16:02
"Aku telat dua menit, ini gara-gara Allara. Dia tadi merengek minta dibelikan es krim, padahal udah tua. Heheh."
"Alice, aku mau memberitahukan kabar bahagia. Anna, adikku datang. Dia terlihat sangat cantik dan juga bahagia. Hah. Aku merindukan kalian lagi."
"Dia meminta maaf pernah membuat kamu marah, dan dia pastinya meminta maaf juga padaku karena pergi tanpa pamit. Ingat, kamu harus melakukan hal yang sama. Kamu harus meminta maaf sebab pergi tanpa pamit lebih dulu."
Seperti biasa, sebuah ritual Darrel menempel lagi wajah Alice di sana, yang kemarin sudah hilang. Entah terkena cipratan air, dibuang atau terbang. Entahlah.
Senin 15:58
"Aku berantakan, heheh. Maaf."
"Aku kecepetan datangnya ya, Al. Maaf ya."
"Hiks... Alice, kamu di mana?"
Rambut Darrel telah memanjang, kumisnya tumbuh tak lagi ia potong, badan kurus seperti tak terurus. Begitulah Darrel, setiap hari Adinda meratapi betapa hilangnya separuh jiwa Darrel meskipun Anna diminta seraya memohon-mohon untuk datang. Jiwa itu telah dibawa pergi oleh Alice dan sekarang hanya tinggal raga yang seakan mati.
"Kamu di mana? Pulang ya."
Meskipun Auntynya terus menerus mengatakan Alice di sana, tanpa bukti tak akan membuat Darrel percaya. Bahkan Ayahnya sendiri tak bisa menghubungi Frezdian, semua kontak sudah mereka blokir dan menghilang seolah tertelan bumi.
"Kenapa lo jadi pengecut gini sih kak!"
Suara tegasnya membuyarkan Darrel, ia angkat wajah penuh tetesan tangis itu sembari mendongak. Pada dua adiknya yang sekarang tumbuh tinggi dan juga sangat cantik.
"Gak sopan, manggil lo, sama kakak," Darrel menjawab pelan.
"Kakak gue gak pengecut kek lo!" Anna bersuara lantang. "Bangun bodoh, ngapain ngeratapin orang yang udah pergi gitu aja."
"Alice gak pergi, Na. Dia sakit, dia lagi berobat."
"Terus kenapa gak bilang? Kenapa gak pamit? Berarti menghilang dengan sengaja namanya!" Allara nimbrung, gadis yang sekarang mulai tinggi itu mengikuti jejak Anna, memakai terusan gamis dan pashmina untuk melengkapi wajahnya yang oval. Dua perempuan di sana, terlihat sangat anggun dan begitu manis.
"Lara, kamu juga berani membentak Kakak?"
Allara merentangkan jemarinya, meminta Darrel menangkap lalu bangkit dari keterpurukan. Sudah bertahun-tahun lamanya, Darrel selalu berkunjung dan bersandar pada dinding yang sekarang telah berganti warna menjadi abu-abu. Tak hanya itu, ia terus menggambar wajah Alice lalu menempelkan di sana, sayang sekali. Setiap gambar yang dibuat Darrel, besoknya langsung hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai Darrel [END]
Teen Fiction[Squel IKHLAS] "Di saat aku meyakini kamu sebagai penyembuh. Dan sekarang berakhir menjadi penyebab luka, aku bisa apa?" ••• Jika semesta terus saja bercanda. Semua seperti terulang. Darrel Atmaja Aditama, apa yang harus ia lakukan ketika berada di...