Aku penyebab kehancuran ini. Aku yang tak mampu menahan gejolak gila sehingga kegilaan lain membuatku menyesal. Kehancuran ini, telah berada di depan mata.
-Anisa Putri Keyrin-
Bruk...
"ANNA!"
Lemah seluruh persendian hingga tubuh kecil itu bertemu tanah yang lembab, payung dalam pegangan ikut terjun dan menghantam. Isak tangis memenuhi deras hujan, rasa sesak dan takut menyelimuti hingga benar-benar mengoyak jiwanya.
Sekali lagi, hampir saja kematian membelenggu memori Anisa, kehilangan seolah ia lihat sedetik bergulirnya denting waktu. Andai, Darrel tak menarik pergelangan tangan Anna hingga mereka berdua terjerambab saling berpeluk di tanah. Andai saja, langkah kaki Darrel terhenti sejenak, Anna mungkin tak lagi ada.
Kehilangan... Kembali terulang.
"LO MAU MATI!" Darrel memekik saat adiknya menangis terisak. Rasa ngilu mengusik tulang lututnya yang bergoresan dengan tanah, celana jeans panjang Darrel juga sobek hingga lukanya meneteskan darah.
"Jangan bertingkah gegebah Anna! Lo bisa aja ketabrak dan mati!" pekiknya kalut, emosi tak lagi bisa ditahan oleh Darrel. Ia takut, sangat takut.
"Gue udah kehilangan banyak hal. Gue kehilangan seseorang yang selalu gue sayangi. Lo mau menyusul juga? Lo pikir kehilangan mana yang lebih sakit, hah? Yaitu kehilangan yang gak bisa lagi gue peluk, lo tahu!"
"Gue bahkan gak bisa memeluk Ayah sebelum dia benar-benar pergi. Dia bahkan mati saat gue hidup. Menurut lo ini adil? Anna! Lihat gue-"
"K-kak... Sakit," lirih Anna kala suara keras dari Darrel memenuhi ruang telinganya. Terlebih saat Darrel mendekap bahu gadis itu dengan sangat erat. Anna mengangkat tangan yang terdapat goresan luka di sana. "Perih. Hiks."
"Mana yang sakit?"
Ia merentangkan jemarinya, dengan sigap Darrel meniup bersama pedih yang cukup memuakkan.
"Sayang," pelan panggilan Anisa mulai terdengar, wanita itu berlari dari sisa tenaganya agar sampai lalu bersimpuh di bawah, tepat pada putrinya. "Anna. Kamu gak papa? Mana yang luka? Mana yang sakit, nak? Bilang sama Bunda?" Anna menggeleng pilu.
Hembusan napas Anisa tak lagi beraturan, degupan jantung yang menghentak membuat ia merasa amat sakit. Anisa peluk sang putri dengan tangisan tersembunyi. Seluruh badan Anisa menggigil, raganya lemah dan ia harus bagaimana sekarang.
"A-anna. Sayang, tolong jangan seperti ini, nak. Jangan membuat Bunda cemas. Sayang," Anisa melepas dekapannya, membingkai pipi bulat Anna menghapus tetesan air yang terus membasahi. "Bunda gak bisa hidup jika terjadi sesuatu dengan Anna. Bunda gak bisa," gelengan pedih itu tampak jelas memenuhi gurat yang rapuh. Anna sadar akan kepedihan sang Bunda lantaran kehilangan pernah menjadi hal paling menakutkan yang tersimpan abadi.
"Bunda-" bibir Anna bergetar, kengiluan dan rasa dingin berkutat sehingga penuturannya tak lagi terdengar. "Bunda," panggilnya sekali lagi, kali ini cukup lirih dan lemah.
"Kita pulang ya."
"Benarkah semua yang Anna dengar? Benarkah Anna dan Kak Darrel saudara kandung? Benarkah kalau Anna adiknya? Benarkah kuburan Ayah di sana, kuburan Ayahnya Kak Darrel juga? Jawab Bunda. Kenapa bisa kami menjadi saudara? Lalu kenapa baru sekarang Anna mengetahuinya? Kenapa saat-saat seperti ini, Bunda. Kenapa?"
Anisa membeku, begitu juga Darrel yang sedari tadi menetralkan pernapasannya. Tanpa jawaban, tanpa pembicaraan hingga netra gadis di hadapannya mulai mengedip sendu. Semakin lama, tatapannya mulai mengecil hingga gelap memenuhi penglihatan Anna, tubuh hingga jemarinya terkulai dan Anna pingsan dalam kepedihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai Darrel [END]
Teen Fiction[Squel IKHLAS] "Di saat aku meyakini kamu sebagai penyembuh. Dan sekarang berakhir menjadi penyebab luka, aku bisa apa?" ••• Jika semesta terus saja bercanda. Semua seperti terulang. Darrel Atmaja Aditama, apa yang harus ia lakukan ketika berada di...