Entah di mana separuh nyawanya saat ini berkelana.
---•••---
"ALICE SENDIRIAN! LO KE MANA AJA? LO GAK BISA MENJAGA DIA! LO GAK PERNAH ADA BUAT DIA!"
Andai saja Darrel tak ingat dengan kelakuannya, mungkin sekarang ia telah meneriaki Bima yang duduk di sebelahnya sambil menangis. Sedangkan laki-laki itu, melipat kedua lengan memeluk diri karena kedinginan.
Setelah menerima panggilan dari Papa Alice jam tiga pagi tadi, Darrel langsung bergegas ke rumah sakit dengan keadaan basah kuyup. Ia tak pulang dan juga tak mengabari keluarganya, baru saja setelah ponsel Bima ia pergunakan untuk menelfon sang Bunda. Terdengar kekhawatiran dari sana namun, Darrel mencoba menenangkannya kembali.
Adinda sempat bertanya bagaimana keadaan Alice, tapi Darrel mengatakan belum mengetahui apa-apa.
"Rel. Maaf, gue gak bisa menjaga Alice. Gue gak bisa membahagiakan dia."
"Kita sama. Sama-sama pengecut," Darrel mengoreksi dirinya sendiri.
"Gue gagal."
Darrel sama sekali tak tahu kalau Bima bisa secengeng ini. Dulu laki-laki putih itu sangatlah tangguh, tak tersentuh oleh air mata sedikit pun meski keluarganya kacau, tapi kali ini. Bima bukanlah Bima.
"Sama, gue juga gagal. Bahkan dalam segala hal."
Frezdian menelfon Bima dan meminta tolong untuk menjaga Alice, sedangkan mereka harus mendatangi tempat peristirahatan terakhir Arin. Bahkan saat jasad itu terkubur di dalam tanah, Alice tak bisa melihatnya. Putri tersayangnya justru menutup mata enggan terbuka hingga waktu yang lama.
"Rel, sebentar lagi gue bakal ninggalin lo, dan itu artinya gue meminta lo untuk tidak gagal untuk yang terakhir kali," kata Bima cukup panjang. Ia mengusap air matanya dan menatap.
"Gue ketahuan."
Kening Darrel mengernyit sempurna.
"Gue menjebak lo dan membuat lo sebagai seorang tersangka."
"Bim-"
"Gue benci lo, Darrel. Gue benci saat Alice tak bisa mencintai gue sebanding cintanya sama lo. Dan gue juga kesal sama orang yang terus mengganggu gadis serapuh dia. Karena itu, gue mengedit foto Fiola dan menjadikannya video tak senonoh. Tapi sumpah, gue gak nyangka dia bakalan mati bunuh diri."
Kedua jemari Darrel teremat membentuk tinju, jika menghabisi Bima di sini sampai babak belur, apa tak masalah?
Untunglah, otak kecil Darrel berkerja lebih dari biasanya. Ia lelah menghadapi bertubi-tubi masalah. Belum lagi tentang Alice yang masih terbaring tanpa membuka mata sama sekali.
"Bima, gue gak mengenal lo lagi."
"Iya," ucapnya. "Gue juga lupa dengan diri gue sendiri. Gue gak bisa memikirkan apa-apa lagi, gue hanya menjalankan semua yang ada dalam otak gue."
"Tapi lihat, seorang laki-laki tumbuh dan dilepas begitu saja, gue jadi buas. Seharusnya Papa tahu, kebebasan ini telah menghancurkan jiwa putranya."
Darrel hening, sesaat setelahnya. Jaket levis milik Bima melingkar di badan Darrel, laki-laki itu tersenyum dalam tegak.
"Lo mau mukul gue, kan? Gak usah cemas, tubuh gue udah membiru dipukuli Mama dan juga kakak tiri gue. Jangan sakitin lagi, Rel. Alice aja sampai sekarang masih aja nyakitin gue. Dalam keadaan tidur kek gitu, dia tetap buat gue terluka."
Bima menghela pelan.
"Papa akan menyelesaikan semuanya, jika sudah selesai maka gue akan ikut dia ke mana pun mereka bawa. Kita pisah di sini ya Rel, sampaikan salam gue sama Alice, sampaikan juga sayang gue sama dia. Ingat, kalau sampai Alice nangis lagi gara-gara lo. Lo habis di tangan gue!"
Jaket itu tak menghangatkan. Melainkan menyakiti. Jiwa Darrel terombang ambing. Perlahan-lahan semua pergi. Dulu semesta begitu baik, menempatkan mereka dalam kisah hidupnya, menjadi teman cerita dan gelaknya. Hari ini, satu-persatu menghilang, menyisakan dirinya dan juga gadis yang tengah terbaring. Entah, separuh nyawa itu sedang berada di mana sekarang.
Darrel hanya menatap dari kejauhan, memandangi dibatas kaca bagaimana napas itu terembus di balik oksigen. Suara dentingan detak jantung kata orang, berbunyi nyaring.
Tak lupa pula, Darrel menatap muka lebam membiru, kepala yang diperban. Tangan penuh lecet dan jemari indah miliknya, mulai membengkak bahkan terkelupas kulitnya. Hati Darrel nyeri, ia tak bisa memegang, mengusap dan mencium lalu berbisik.
"Sakit ya, Al? Sini bagi sama aku, aku masih punya banyak stok tubuh yang bisa untuk dilukai."
"Sakit banget ya, Al? Gak mau cerita sama aku?"
Bergumam Darrel tiada henti, semua hal ia ceritakan di balik pintu yang tertutup. Darrel belum diperbolehkan masuk, bahkan keluarganya saja belum memberitahukan Darrel kondisi seseorang di dalam sana. Satu hal yang Darrel yakini, jika dokter tak lagi bertindak bisa dipastikan Alice dalam keadaan baik-baik saja. Mungkin.
"Rel," Adinda mengusap punggung Darrel penuh kelembutan. "Pulang ya, Bunda udah masak banyak buat kamu."
Darrel menggeleng yang membuat Adinda memandangi Regal begitu juga Allara. Mereka hening sesaat sebelum langkah besar berdiri tegap di depan Darrel.
"Darrel, terima kasih sudah mau menunggu Alice di sini. Tapi, seharusnya kamu pulang dulu, ganti pakaianmu dan sarapan. Bundamu bilang, kamu belum pulang dari semalam. Mereka khawatir kamu sakit," ucap Frezdian. "Mengenai kondisi Alice. Dia baik-baik saja," kali ini, intonasi suara Frezdian memelan. Ia juga meneguk kuat salivanya.
"Alice baik-baik saja?" Mereka berdua mengangguk. "Jangan bohong, Om."
"Saya sungguh-sungguh."
"Tolong kabari saya kalau Alice sudah bangun."
Frezdian menatap empat punggung yang berlalu dari hadapannya, setelah menghilang tubuh itu terhuyung jatuh bertemu lantai, bersujud yang langsung dipeluk oleh Dian. Meraung ia di sana, mengusap habis lelehan air mata dengan kesakitan yang teramat sakit.
"Anak bapak mengalami koma, benturan di kepalanya juga sangat keras sehingga terdapat pendarahan di otak cukup parah."
"Tolong, lakukan segala cara Dok, apa pun itu agar anak saya bisa sembuh. Saya akan bayar berapa pun."
"Kami akan melakukan segalanya sampai titik terlelah kami. Tapi kemungkinan Alice untuk sadar kembali, kami tak bisa menghitung persenannya pak, semoga ada keajaiban."
Frezdian pernah merasakan kegagalan dalam hidupnya, tapi untuk kali ini. Frezdian benar-benar telah gagal.
---•••---
Jangan lupa vote dan komennya kakak.
Lope sekebon 💃💃💃
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai Darrel [END]
Teen Fiction[Squel IKHLAS] "Di saat aku meyakini kamu sebagai penyembuh. Dan sekarang berakhir menjadi penyebab luka, aku bisa apa?" ••• Jika semesta terus saja bercanda. Semua seperti terulang. Darrel Atmaja Aditama, apa yang harus ia lakukan ketika berada di...