[44] Hari Lahir dan Kematian

3.4K 444 90
                                    

Berikan aku satu hari baik agar bisa membahagiakan semua orang sekaligus.

-Darrel Atmaja Aditama-

---•••---

Anna tak melihat gurat tenang di balik tawa Darrel. Lelaki yang sedari tadi menunjuk satu titik kebahagiaan dalam film yang ia tonton, tawa itu tampak sangat palsu.

Bahkan selesai pun, Anna hanya melangkah mengikuti di belakang, tak ada pembicaraan lain dan ini jauh lebih asing kala Darrel mengabaikannya saat di sekolah.

"Kak," panggil Anna lirih. Darrel memutar tubuh, memandangi Anna dengan senyum yang sengaja ia lebarkan. Mendekat ia untuk menuntun gadis itu ke tepi agar tak menghalangi orang yang lewat.

"Kenapa, Na?"

"Kak Alice sama Kak Bima, ke mana?"

"Mereka udah pulang duluan. Tadi Bima mengirimkan gue pesan."

"Kalian bertengkar? Kakak sama Kak Alice kenapa berjarak gitu?"

"Bukan apa-apa," singkat Darrel. "Kita pulang ya-"

"Gara-gara aku ya kalian renggang. Padahal aku hanya ingin Kak Darrel kek dulu lagi."

"Karena memilih antara lo dan mereka. Pasti gue milih lo, Anna."

Gadis itu tersenyum simpul. Menunduk ia lalu berucap. "Aku mau ngomong sesuatu-"

"Nanti saja," Darrel meraih lengan Anna lalu menariknya. Hal ini membuat jantung gadis itu berdegup tak beraturan, tubuhnya bergetar tapi ia merasa cukup senang.

Dalam detak yang tak berujung, Anna merasakan angin berembus kian kencang, Darrel memacu cepat laju motornya yang tak diketahui sebab dan alasan di balik itu semua.

"Kak. Gak usah ngebut-ngebut," kata Anna di belakang. Darrel menuruti, ia melambat untuk Anna, adiknya. "O iya, Kak Alice-"

"Kami sudah putus, Anna. Jangan membahas Alice lagi."

"Benarkah?" Darrel mengangguk sedangkan Anna tersenyum. "O iya kak, sebenarnya aku dan Kak Bima cuma berpura-pura pacaran. Katanya agar aku tak menggangu hubungan kakak dengan Kak Alice."

"Gue tahu."

"Dan aku juga memanfaatkan itu agar dekat lagi sama kakak. Lagian, kenapa sih kak, kakak menjauh tanpa sebab? Aku nyebelin ya?"

"Enggak. Na. Lo gak nyebelin."

"Karena aku sering ngikut-ngikut sama kakak, ya?"

"Enggak," seteguk air liurnya meluruh, Darrel merasa sangat sesak. Andai ia tahu dari dulu, menjauhi Anna dan membuat gadis itu sendirian, tak akan mungkin ia lakukan.

"Kakak kenapa?" suara Anna memelan yang membuat Darrel menenangkan detak jantungnya. "Kakak kesal karena hari ini hari ulang tahun kakak? Maaf kalau Ayahku meninggal di hari ini."

"Anna-" Darrel tak mampu berucap, kedua netranya menampung begitu banyak air yang siap meluncur. "Jangan membahas itu lagi."

"Maaf," Darrel terdiam.

"Kak... Aku mau bilang sesuatu, aku mau jujur sama kakak. Kalau aku..."

"Jangan Anna. Lo gak boleh ngomong gitu."

Anna terkesiap, senyum di sudut bibir yang ia buka, terkatup lagi. Ia pandangi punggung Darrel dalam hening.

"Memangnya kakak tahu aku mau ngomong apa?"

"Gue tahu."

"Apa? Coba katakan."

Suara yang ingin ia keluarkan tiba-tiba teredam, tak bisa terucap dan lidah Darrel kelu. Sepersekian detik hening hingga moge hitam milik Darrel terhenti tepat pada pagar yang jelas tertampak rumah Anna di sana.

Hai Darrel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang