[51] Dia Pembunuh?

918 187 8
                                    

Sorot mata itu. Tatapan itu. Sendu kilat di balik bola mata itu. Aku pernah menemuinya di tahun-tahun sebelum kita mengenal lalu berakhir menjadi seperti sekarang.

-Alice Freya Afras-

Garis polisi tak memberi akses bagi semua murid untuk masuk. Mereka bergerombol di depan pagar, menatap memaksa ke dalam dengan sorot yang begitu menelisik. Sebagian dari mereka berbadan tinggi mendapatkan celah yang banyak, namun bagi mereka dengan tinggi di bawah rata-rata hanya bisa menatap nanar para punggung-punggung yang menutupi.

Sedikit berjarak di belakang, Alice memaksa menyelusuk untuk melihat, samar ia memandang tanah lembab yang terhalang tubuh polisi, di bagian bawah sana, ceceran darah memudar masih tampak jelas dalam pandangan Alice. Getir, ia menatap kian getir dan juga dengan degup jantung yang kencang.

"F-fiola," panggilan itu bergetar, isak tangis terdengar jelas setelah ia menyebut nama gadis yang semalam mati bunuh diri di sekolahnya. Mereka semua termasuk Alice melengos pada sumber suara, Anna, membekap mulut menahan kian keras tangisan yang sedari tadi meluncur tak henti, sedangkan di belakang, Darrel membekap kedua bahu sang adik, menyalurkan penenangan dan juga kehangatan.

"Dia membuat adik gue mati ketakutan."

"Darrel meneror Fiola!"

Suara Sarah berdengung di telinga Alice, ia pandangi tanpa henti yang disambut kebungkaman oleh Darrel, laki-laki yang semakin mencengkram bahu Anna, tampak memperhatikan bola mata hitam enggan mengalihkan penglihatan yang mengunus padanya.

"Al."

Panggilan Bima enggan membuat Alice terhenti. Ia masih melangkah sedikit lebih dekat pada Darrel. Terdiam ia di depan Anna, dan Darrel di belakang, membiarkan gadis di tengah menjadi penghalangnya, untuk ke sekian kali.

"Apa yang kamu lakukan, Darrel?" intonasi Alice memelan, bukan berarti tak terdengar oleh gadis di tengahnya. Mendongak Anna memperhatikan Alice lalu menoleh ke belakang.

"Apa yang kamu lakukan?" Alice mengulang pertanyaan yang masih dibalas kebekuan. Masih diam, Alice melangkah ke samping, meraih lengan sebelah kiri Darrel lalu menariknya untuk menjauh dari kerumunan. Darrel menerima mengikuti

"Jawab?" suara motor dan mobil bersahutan, berisik. Sebab, macet melanda jalanan yang sekarang semakin ramai pendatang dari orang-orang yang penasaran, wartawan berjejer siap memberikan pertanyaan-pertanyaan tak berkesudahan, beberapa juga dari pejalan yang sengaja berkunjung.

Ini berita besar sekaligus mengerikan yang semula tak pernah ada.

Di sana, tepian jalan raya, Alice dan Darrel saling pandang dalam waktu yang entah kapan membuat suara laki-laki itu terdengar. Meninggalkan Bima dan Anna yang tak mau beranjak, masih membeku tak bergerak sedikit jauh.

"Rel," panggilan Alice berubah lemah. "Jawab aku. Apa yang kamu lakukan kepada Fiola dan Sarah? Apa yang membuat kamu bertindak kelewatan kek gini. Jawab aku?" didesak dan terus didesak justru membuat lidah Darrel kelu, satu, dua bahkan ketiga kali netra Darrel berkedip sendu, masih membuat ia bergeming enggan berbicara.

"DARREL-"

"Aku gak tau," Darrel menggeleng. Hanya tiga kata keluar dengan datar.

"Ini bukan waktu yang pas untuk bercanda, Darrel?" Alice membuang hampir habis udara yang ia hirup. Melirik sekeliling, para pakaian hitam rapi itu tampak memperhatikan gelagat Darrel dan Alice sedari tadi. Di saat kejadian seperti ini yang dibumbui cekcok beberapa murid, apa yang akan mereka pikirkan? Terlibat, satu kata pasti bergelayutan di dalam benak orang-orang itu.

Hai Darrel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang