ARISTA

359 63 25
                                    

Gue menghela napas dengan hati lega setengah mati. Rasa kantuk yang tadinya menggerogoti mata gue karena tak kunjung dibawa memejam sejak lebih dari 24 jam lalu kini rasanya segar bukan main.
Gue terkikik geli, jadi beginilah rasanya jadi Alzha atau Airin yang asistensi skripsinya selalu semulus pantat bayi. Pantas saja, Alzha punya banyak waktu untuk menghalukan bang Saga dan Airin punya waktu melipir ke sana kemari  demi menghindari Harlian. Rasanya lega, seolah dunia adalah tempat paling lapang.

Dari berhari-hari yang telah gue lewati sebagai penyandang gelar mahasiswa tingkat akhir, bulak-balik ruang dosen untuk asistensi, baru kali ini rasanya gue tak ingin menangis ketika selesai asistensi. Untuk pertama kalinya, dosen skripsi gue memamerkan senyum ketika melihat hasil pemikiran-pemikiran gue. Walau pada awalnya gue sudah keringat dingin sejak memasuki ruang dosen, melihat dosen gue mengangguk-anggukan kepalanya dan jarang sekali mengangkat pulpen merahnya membuat gue serada melayang ke langit ke tujuh.

"Bisa berenti senyum-senyum sendiri nggak? Kayak orang gila."

Ngok.

Ucapan menyebalkan dengan nada datar itu membuat kadar kebahagiaan gue berkurang. Lantas, gue menghela napas dan melirik sosok yang sedari tadi setia berada di samping gue. Gue mendelik. "Namanya juga lagi seneng."

"Norak."

Ngok.

Duh, dasar mulut sambal. Ingin rasanya gue meninju wajah datar, sinis, dan tampan itu. Namun, jelas tak bisa karena wajah itu milik Rangga. Iya, Rangga yang menjadi tutor skripsi gue dan yang sudah semalam suntuk membantu gue membenahi pembukaan bab 4 yang ruwetnya bukan main, lalu masih harus menemani gue asistensi selama 3 jam penuh, dan saat ini entah mengapa justru menemani gue berjalan ke area parkir motor  kampus saat dia seharusnya memisahkan diri. Rangga bukan pengendara motor, mobil mahalnya yang berwarna putih siap menunggu si pemilik di area parkir mobil. Ini Rangga mau apa, ya?

"Lu mau ngapain, Ga?" Gue tak tahan lagi untuk bertanya ketika akhirnya gue sudah berdiri di samping motor vespa gue yang berwarna kuning pastel. "Kok lo ngintilin gue, sih?"

"Pede lo."

Ngok.

Gue menggelengkan kepala. Terkadang, hanya sepatah dua patah kata dari mulut Rangga mampu membuat gue kicep bukan main. Gue merengut, menjejak-jejak kaki tak sabar. "Gue belom bilang makasih, ya?"

"Udah, tadi." Rangga menghela napas, menatap gue lamat-lamat sampai gue rasanya malu sekali entah karena apa. Dalam diam, gue mengingat-ngingat. Walau pagi ini gue mandi ala kadarnya karena mengerjar waktu setelah semalaman bercinta dengan skripsi, gue mandi kok. Walau tidak sempat berkaca, gue yakin tidak ada sisa odol di sudut bibir gue. Rambutpun gue ikat satu dengan rapih walau tak di sisir akibat sisir gue terbawa oleh Farah kali terakhir cewek itu menginap di kosan gue. Apa jangan-jangan gue mandi tak cukup bersih sampai masih ada belek? Masa iya? Atau rambut gue lepek dan berminyak? Eh, gue udah pakai deodorant belum, ya? Masa iya Rangga mengamati gue karena  bau? "Bengong mulu, awas kesambet."

"Lo kenapa ngeliatin gue kayak gitu?" Gue menepuk lengannya dengan map plastik berisi berlembar-lembar hasil cetak naskah desain gue. "Gue nggak belekan, kan?"

Untuk sejenak gue kira Rangga akan mendelik atau mendengus seperti yang biasanya ia lakukan pada gue, namun di luar dugaan cowok berdarah Korea Sunda itu justru tersemyum. Iya, tersenyum. Nggak lebih dari itu tapi efeknya luar biasa melemahkan lutut. Gue mengerjap, melihat Rangga membagi senyum tanpa beban seperti itu pada gue rasanya bak mendapat THR lebaran.  "Nggak, kok."

"Terus lo kenapa ngeliatin gue kayak  gitu?"

"Nggak kenapa-kenapa."

Gue menggerling. Dasar tidak informatif! "Ye, yaudah nggak usah ngeliatin gue kali."

Traffic JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang