"Serius amat, neng."
"Duh, abang dikacangin."
"Makin cakep aja kalau kalem, sayang galak."
"Baik banget deh, neng mau abang jajanin apa? Sebongkah berlian, cukup nggak?"
Gue menggenggam pensil 2B di tangan erat-erat, memejamkan mata dan berusaha menulikan telinga dari suara-suara nan menyebalkan yang sedari tadi membuat konsentrasi gue nyaris buyar. Gue menarik napas, ketika merasakan sebuah beban terasa di atas bahu kanan gue. Gue melirik dari ujung mata dan melihat wajah tengil yang sialnya ganteng milik spesies tertolol di dunia itu tepat di samping gue.
Wiras, si monster otot yang lagi sakit itu melongok ke lembar tugasnya yang sedang gue bantu kerjakan melalui bahu gue, karena posisinya yang sedang berselonjor di atas sofa sedangkan gue duduk bersila di lantai di depannya. Duh, sial betul kalau sedekat ini jantung gue jadi bertalu-talu tak karuan. Fakta yang satu itu sebenarnya membuat gue bingung, antara deg-degan karena eksistensi Wiras yang belakangan selalu terasa lembut di sekitar gue, atau deg-degan karena eksistensi Wiras yang membuat adrenalin gue terpacu untuk adu tinju. Gue mengangguk kecil, opsi ke dua lebih masuk akal.
"Berat, bego." Gue menepuk kening Wiras dan menyingkirkan kepala cowok itu dari atas bahu gue. "Kalau lo iseng, gue pulang aja deh."
"Yailah, nyonya baperan amat."
Gue menggerling sebal sebelum menghela napas dan meletakan pensil yang sudah berada di tangan gue selama 1 jam belakangan ke atas meja. "Ah, udah mau kelar juga. Sisanya lo aja, ah." Gue mendecak ketika wajah Wiras tertekuk dan ia mengerucutkan bibirnya sambil menunjuk kakinya yang masih terbalut gips dan tangannya yang masih sedikit bengkak. "Lo nggak punya temen sejurusan apa, anjrit? Gue anak Arsi lo suruh ngitung beban bangunan sedetail ini? Mau pecah pala berbi!"
"Kan, temen gue pada skripsian juga." Wiras menghela napas, tangannya bergerak untuk mengacak-ngacak rambut gue dan membuat gue mengumpat. "Lagian juga skripsi gue sama lo nggak beda jauh anjrit. Lo desainnnya aja, gue versi hitung bebannya."
"Nggak tau, ah." Gue menyingkirkan tangannya dari kepala gue dengan perlahan karena takut menyentuh luka-lukanya yang masih ditutupi kain kasa. "Puyeng gue. Gue balik dulu aja dah, mau skripsian punya gue."
"Dih, nyokap gue itu lagi manggang pizza buat lu. Durhaka lu, ege."
Gue berpikir. Kok, durhaka? Kan gue bukan anak nyokapnya. Gue mendengus dan menggerdikan bahu, namun mau tak mau gue jadi kembali duduk menyamankan diri dan bersandar pada badan sofa yang ditempati Wiras. "Abis makan, gue balik."
"Balik, deh. Kalau kelamaan entar keburu dicap calon mantu."
Ngok.
"Dih, ogah."
"Lo pikir gue mau?"
"Mau atau nggak, bukan urusan gue idih." Gue melenguh dan memukul lututnya sedikit keras sampai Wiras mengaduh dan menahan untuk mengumpati gue. "Mampus."
"Je, kalau lu nggak barbar sumpah lu cakep."
"Barbar aja gue masih cakep, banyak fansnya."
Wiras tergelak dan kali ini gue menahan pandangan padanya, merasa tak bisa menahan senyum ketika menyadari Wiras nampak sudah jauh lebih baik dari beberapa hari lalu ketika wajahnya masih lebam dan tawanya tertahan karena nyeri. Jujur, biar hanya tuhan dan gue yang tau, gue sempat merasa ketakutan setengah mati saat itu, tiba-tiba merasa tawa Wiras adalah salah satu hal paling esensial dalam hari-hari gue. Terdengar hiperbola, tapi memang begitu adanya.
"Kenapa ngeliatin gue begitu?" Suara Wiras menganggu momen melankolis gue, membuat gue meringis sebal. Ini nih, yang membuat gue gagal baper pada Wiras entah seberapa keras Alzha mencekoki gue dengan paham aneh nan nyeleneh seperi lo cocok ege sama Wiras. "Takut banget gue, kalau lo naksir gimana?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Jam
Hayran KurguSemester tua = Kemacetan lalu lintas kehidupan. BTS - RED VELVET/ FANFICTION / Storyline and Art by Purpleperiwinkle / 2021