ALZHA

399 62 27
                                    

"Udah ada rencana apa nanti abis lulus, Zha?"

Gue menghentikan seruputan gue pada es cokelat yang sejujurnya terasa terlalu manis untuk selera gue. Gue berdeham dan menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga, sebelum tersenyum ada sosok rupawan, menawan, dan tampan, yang pada di depan gue. Oh, astaga naga, gue ingin sekali mencakar lantai, meninju dinding, atau apapun yang mampu menyalurkan rasa gemas gue saat ini. Saga Dwi Aditama, memang punya pesona paling mematikan. "Orang tua nyuruh lanjut S2 sih, bang." Duh, dia kok nunduk ke laptop mulu sih, gue membatin. "Tapi, Alzha pengennya langsung kerja."

"Oh, gitu."

Waduh, singkat amat. Gue ingin merengek, tapi berusaha gue tahan. Gue menghela napas panjang, ingin rasanya gue menjadi laptop agar bisa ditatap Saga dengan fokus seperti itu. Aduh, mulai gila nih, pikir gue.

"Kenapa buang napes, gitu?" Walau mengharapkannya dalam tiga puluh menit terakhir, tapi ketika Saga tiba-tiba mendongak untuk menatap gue, gue kaget sekali sampai tersedak. Saga tergelak melihat gue, sedangkan gue sudah jelas ingin melarikan diri dan membuang diri di tempat sampah terdekat. Bagaimana tidak, ketika gue bilang tersedak, itu bukan majas hiperbola atau ucapan kosong. Gue tersedang secara literal sampai es cokelat gue keluar dari lubang hidung. Aca goblok, gue ingin menangis saja. "Ya ampun, Zha. Pelan-pelan minumnya."

Ngok.

Gue mau mati aja, sial, sial, sial.

"Bang Saga ngagetin!" Gue menggerutu, pura-pura marah untuk menutupi rasa malu gue. Kalau tidak bisa jaga image begini, bagaimana bisa gue membuat Saga terpesona dan baper pada gue? Makin jauh saja rasanya cita-cita gue yang satu itu. "Alzha kaget banget Bang Saga tiba-tiba angkat pala."

"Lah?" Saga makin tergelak, ia menggelengkan kepala. Mungkin tak habis pikir dengan tingkah adik tingkat yang kelewat naksir padanya seperti gue. Beberapa saat, Saga merogoh tas ranselnya dan kini menawarkan gue selembar sapu tangan handuk. Gue mengerjap-ngerjap menatap benda itu dan Saga bergantian. "Nih, idung sama mulut lo cokelat semua itu." Gue merengut dan mengambil sapu tangan itu, buru-buru mengelap mulut dan hidung. "Pelan-pelan, Alzha."

Aduh, nama gue disebut begitu oleh  Saga. Jelita, Airin, Farah, Arista, selamatkan gue dari ancaman semakin halu. Gue mendelik ketika Saga menatapi gue sesaat sambil terkekeh dan kembali menatapi layar laptonya. "Nanti Alzha balikin kalau udah dicuci."

"Iya, santai."

Gue melenguh ketika Saga menanggapi dengan kalimat singkat itu. Setelahnya, gue kembali berada pada sisi diam, mengamati cowok yang gue taksir habis-habisan itu bermesraan dengan entah makalah apa yang diketiknya di laptop. Gue merengut, ada dekat dengan Saga ternyata tak menjamin bisa mendekati hatinya. Sudah 30 menit lebih sejak Jelita menghempaskan gue di ruang himpunan untuk mengerjakan beberapa laporan akhir kegiatan himpunan, sekaligus mendekatkan gue pada Saga yang kebetulan juga menjadikan ruang himpunan jurusan itu sebagai markasnya untuk mengerjakan tugas-tugasnya.

Gue merasa miris bukan main, bukankah Saga sudah memberi lampu hijau pada agenda PDKT gue? Lantas, mengapa rasanya gue tetap berada di ambang lampu kuning. Mau maju tak bisa, mundurpun jelas tak bisa. Duh, padahal gue sedang gencar membuat Airin baper pada Harlian, sedang sibuk mencie-cie kan Arista dan Rangga, sedang bersemangat membuat Jelita menyadari bahwa Wiras punya tempat istimewa dalam hatinya, dan juga sedang merengek pada Farah untuk memilih satu dari Gama dan Edwin. Tapi, mengapa gue justru tidak bisa mengambil aksi dari kisah cinta gue sendiri? Ini Saga, lho. Cowok yang gue taksir sejak jumpa pertama, cowok yang gue impikan bisa menjadi luksuri pribadi untuk gue bawa ke acara wisuda, dan yang gue doakan untuk bisa duduk di samping gue di pelaminan. Kenapa ya rasanya gue tak punya nyali jika benar-benar dihadapkan pada Saga, tak perduli seberapa bermulut besarnya gue tentang rencana menaklukan Saga di depan teman-teman gue.

Traffic JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang