ALZHA

260 46 31
                                    

Tik tak tik tak

Gue menopang dagu dan menghela napas, suara jam dinding yang terpasang di dinding rasanya terdengar keras saat kantin sepi. Gue melirik layar laptop dan sepaket ayam bakar yang baru gue makan setengahnya. Demi apapun, otak gue buntu, semangat gue tidak tau melarikan diri entah ke mana, ide-ide gue tertiup angin panas di luar sana. Pertama kalinya selama gue menjalani skripsi, akhirnya gue mengerti maksud Arista, Farah, dan Jelita soal kehabisan inspirasi.

"Nape lo?"

Gue melirik Jelita yang sedang menyuap batagor dan  menggerdikan bahu. "Bingung."

"Widih! Pecah telor." Jelita menyahuti sambil tekekeh. Gue kini ikut tersenyum kecil setelah sadar Jelita yang jelas belum mandi sejak rapat menjelang alih kepemimpinan himpunan yang berlangsung sampai subuh tadi, mau menemani gue bimbingan pagi ini di banding pulang atau sekedar melipir untuk merebahkan punggung di kosan Arista. "Akhirnya ada saatnya lo bingung juga."

"Butek banget, Je." Gue melenguh dan akhirnya menutup layar laptop gue dan memilih memakan ayam malang yang dari tadi gue anggurkan di atas meja sampai dia jadi dingin. "Kurang refrensi atau gimana, bingung."

"Tapi bisa lanjut, kan? Acc dosen, kan?"

"Bisa. Makannya bingung desain gue mau diapain lagi." Gue menggaruk-garuk kepala walau tidak gatal. Menyeruput es jeruk gue yang rasanya sudah tawar karena es batunya mencair semua. "Gimana, ya? Kudu ngapain dong, Je. Lo kan paling hatam soal perbuntuan skripsi."

"Ye, si kampret." Jelita mendelik jengkel tanpa berhenti mengunyah. Sesaat ia meminum es tehnya sebelum memasang tampang acuh tak acuh dan menggerdikan bahu. "Liat-liat Pinterest, Google, ngobrol sama temen-temen," cewek itu dia beberapa detik sebelum meringis. "kadang juga coba nanya Wiras."

Gue tak tahan untuk tak menyerigai mendengar kalimat yang terakhir, entah sejak kapan rasanya Jelita sudah menurunkan kadar gengsinya  untuk mengakui kalau si ketua hinpunan sipil itu ambil andil dalam banyak hal dalam hidupnya sejak jadi mahasiswa. "Yang terakhir sih pasti nambah inspirasi banget ya, Je?"

"Jangan salfok anjir." Jelita menepuk ringan kening gue dengan gulungan kertas laporan kegiatan himpunan. "Jangan nyengir-nyengir, deh. Muka lo serem kayak om-om pedofil."

Ngok.

Gue menggerling sebal, memang untuk urusan bicara tidak berakhlak, Jelita jelas juara. Gue tidak habis pikir dengan penyatuan analogi gue dan tampang om-om pedofil, tapi gue pada akhirnya tergelak. "Si tolol."

"Lo nggak coba nanya-nanya bang Saga? Doi kan pinter."

Mendengar nama Saga, gue merengut. "Nggak enak, ah." Gue mengaduk-ngaduk minuman gue dengan sedotan. Buka bicara soal kakak tingkat nan ganteng gue itu, rasanya tiba-tiba jadi sebal. "Nggak bisa ke sini dulu dia, sibuk di kampusnya sendiri."

"Oh."

Gue meendelik jengkel. "Kok oh doang sih, nyet?"

"Ya nasib bro cemcemannya anak S2, sibuk jelas." Arista nampak tak perduli dengan kejengkelan gue, malah sempat-sempatnya tersenyum sambil melambaikan tangan pada para adik tingkat yang menyapanya. "Coba tanya-tanya lewat whatsapp, sih."

"Takut ganggu." Gue meringis kecil dan meletakan garpu sendok gue, sudah tak nafsu makan terlebih batagor Jelita tampak lebih menggiurkan. Gue membuka mulut memberi kode, dan teman gue yang satu itu langsung menyodorkan bulatan gemas batagor pada gue. "Gimana, ya?" Gue menelan adonan tepung itu sebelum melenguh. "Tapi gue kangen elah."

"Idih, najis bucin." Jelita menggumam sambil mengunyah.

"Kata orang yang tiap minggu jengukin Wiras jauh-jauh ke rumahnya." Gue memeletkan lidah sampai Jelita mendecak.

Traffic JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang