"Lo gimana sama Ian?"
"Apanya yang gimana?" Gue menghela napas, melirik ke sisi kanan gue di mana Jelita duduk berselonjor bermain ponsel sambil mengemili sebungkus kripik singkong asin. Gue mendecak, dan mengalihkan kembali perhatian gue pada layar laptop yang sedang menampilkan bentuk-bentuk 3 dimensi gubahan awal ide desain gue. "Ya, kayak yang lo tau aja. Begitu doang "
"Ah, kurang sat set sat set si Ian, yak?"
Gue menggerling sebal mendengar sahutan Jelita. Kalau yang seperti Harlian kurang sat set sat set, disebut apa hubungan dia dan Wiras yang jangankan maju, sadar saling membutuhkan pun sepertinya butuh waktu seratus tahun. "Bacot," gue menghela napas. "mendingan lo ngetik skripsi lo. Gue dah masuk bab lima, lo masa mau bab empat mulu anjir."
"Elah, santai dikit dong. Ya, nggak Far?"
"Yoi."
Gue mendelik mendengar sahutan Farah yang sama saja tak ada sisi panutannya sama sekali, lantas gue menepuk punggung Arista yang tengkurap di samping gue sambil mengetik kalimat demi kalimat di Microsoft Wordnya dengan gestur bangga. "Emang di tongkrongan ini cuma Arista sama Alzha yang patut jadi panutan."
"Nye, nye, nye." Jelita mencibir dan memeletkan lidah pada gue. "Skripsian sama kalian gue nggak bakalan fokus, mendingan di rumah."
"Heleh, bol ayam." Farah mengerucutkan bibir sambil mencomot kripik singkong di tangan Jelita, tanpa perduli tampang kecewa Jelita karena Farah pindah kubu semudah membalik telapak tangan. "Di rumah juga ujungnya lo video call-an sama kita anjung."
Gue terkekeh geli, ini lah salah satu sifat Farah yang gue suka. Farah asyik sekali diajak menjulid orang lain, pindah sisinya mudah dan omongannya seringan bulu tanpa pikir dua kali.
"Gengs, gue mau tanya."
Oh, oh gue mulai memasang atensi pada Arista yang tiba-tiba bangun dan bersila di samping gue. Gue tersenyum dan merapihkan rambut kecoklatan panjang teman gue yang berantakan itu. "Kenapa, Ta?"
"Duh, gue nggak enak ceritanya sebenernya soalnya nggak ada Aca." Arista nampak lucu sekali ketika ekspresinya paduan ragu-ragu dan tak tahan untuk cerita soal apapun yang mungkin sedang menari-nari di dalam otaknya bersama ide-ide skripsinya yang timbul dan tenggelam sewaktu-waktu.
"Dah, cerita deh." Jelita mengeluarkan ponselnya dan gue melirik dia sedang membuka fitur perekam suara. "Gue rekam, entar tinggal kirim ke Aca."
"Ugh, oke." Arista berdeham, dengan itu gue tau dia sedang serius. Jadi, dengan segera gue menekan ctrl+S pada keyboard laptop gue dan menutup layarnya. Gue menyenderkan tubuh ke dinding kamar kosan jelita yang sewarna langit sore, dan menunggu cewek itu bercerita. "Rangga, masa dia kemarin lusa tiba-tiba ngirim Bittersweet ke sini."
"Cieeeee."
Gue tertawa ketika Farah menyahut dengan antusias sampai-sampai dia berhenti menontoni video kartun Larva di ponselnya. "Pasti ada kartu ucapannya, atau at least ada chat something ke lo."
"Airin emang peka banget." Jelita berbinar dan membuat gue mengangguk-anggukan kepala dengan bangga sampai momen gue terganggu karena Jelita menimpuk wajah gue dengan boneka beruang lusuh milik Arista. "Jeje, mah!" Arista merengek dan menunjukan balon-balon percakapan aplikasi hijau yang membuat kami otomatis membuat lingkaran kecil yang kepo. "Baca, deh."
Selanjutnya gue tidak terlalu memperhatikan detailnya, intinya percakapan antara Arista dan Rangga terbaca seperti si tolol satu dan si tolol dua. Kenapa ya balasan Arista membuat gue sebal padahal Rangga sudah kode-kode? Dan lagi, kenapa pula Rangga berlibet banget padahal udah tau yang di dekati ini (maaf banget Ta) spesies lamban otak alias lemot. Emosi aja gue jadinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Jam
FanfictionSemester tua = Kemacetan lalu lintas kehidupan. BTS - RED VELVET/ FANFICTION / Storyline and Art by Purpleperiwinkle / 2021