FARAH

396 62 8
                                    

"Guk! guk!"

Gue menggonggong, menggoda anak anjing kecil putih milik gue yang kini sedang dihadapkan ke layar ponsel oleh adik perempuan gue.  Gue tertawa ketika mahkluk imut berbulu itu balas menggonggong kecil, menampilkan rautnya yang selalu lucu seolah menyuruh gue cepat-cepat pulang.

"Guk! guk!"

"Dih serem lu, kayak anjing jadi-jadian."

Ngok.

Gue mendelik pada Alzha yang kini baru saja memasuki ruang himpunan lengkap dengan sebundel kertas hasil asistensinya dengan dosen. Jika cewek itu bukan sahabat gue, terkadang gue ingin sekali menyumpal mulutnya dengan sandal jepit untuk berwudhu yang berjejer rapih di mushola himpunan.  Gue mendecak, menilih mengabaikannya ketika ia menghempas diri di sebelah gue dan ikut menimbrung sambil membuat ekpresi lucu untuk meledek anak anjing gue.

"Makin lucu aja si putih." Alzha melambai-lambaikan tangannya ke arah layar, membuat putih - nama anak anjing gue- menggapai-gapai layar dengan tangannya yang pendek. "Meoooowww."

"Kampret! Salah server!" Gue tidak sabar lagi, dari pada mendengar rancauan Alzha yang tidak menceriminkan kecerdasannya sama sekali, gue memilih untuk mengakhiri sambungan video call dengan si putih sebelum anak anjing gue mengalami krisis identitas karena Alzha. "Kalau mau meong meong mah sama Lulu Lala nya si Arista sono!"

"Yailah, galak banget lu!" Alzha mendengus, dengan cepat berdiri dari sisi gue untuk merebahkan dirinya pada sofa hitam lusuh milik himpunan Arsitektur. Ketika merebahkan diri, cewek mungil berambut sebahu itu mengulet bak bayi bangun tidur. "Far, molor bentar ya. Bangunin kalau gue ngiler."

Gue mendecih, namun mengamini permintaannya dengan anggukan singkat. "Iye."

Ketika Alzha sudah pulas dalam hitungan detik, gue menghela napas. Menarik tas ransel gue ke pangkuan setelah menyelonjorkan kaki yang sebelumnya bersila. Gue mengeluarkan sebuntel kertas yang sama seperti milik Alzha, bedanya harnya milik cewek itu bersih tanpa corat-coret dengan tinta merah di mana-mana seperti milik gue. Gue menghela napas, dan menggaruk kepala dengan frustrasi. Jika manusia layaknya jemuran baju, sudah pasti saat ini gue mengering karena diperas habis-habisan oleh revisi, revisi, dan revisi.

"Jangan diliatin doang, tapi dikerjain."

Gue terlonjak kaget mendengar suara tersebut, nyaris memukul Airin yang entah sejak kapan sudah ada di dalam ruang himpunan - duduk bersila tidak jauh dari gue. Sungguh, terkadang pembawaan Airin yang terlalu tenang membuat gue merinding. Terkadang gue sampai takut bahwa dia adalah-

"Gue bukan dedemit ya, nyet!" Airin menyalak. Membuat gue tergelak, pastilah ia tahu apa yang gue pikirkan. Sahabat gue yang satu itu memang selalu begitu, punya intuisi lebih tajam dari yang lainnya. Wah, gue memicing tajam. Jangan-jangan Airin ini- "Gue tau lu lagi berpikir gue dukun!"

"Anjrit! Kok, lu tau Rin?" Demi apapun, gue kaget.

"Keliatan dari muka lu, bloon."

Gue mendecak sebal. Iya kah? Memangnya isi otak gue terbaca sedemikian mudah?

"Alzha ngorok aje." Airin mengeluarkan laptop dari dalam tasnya, lalu menaruh tasnya untuk menjadi bantalan kepala saat ia merebahkan diri. "Far, lu kok nggak main sama Gama sama Edwin?"

"Lagi sibuk skripsi mereka." Gue melenguh ketika mendengar ke dua nama itu. Entah sudah berapa lama, dua sosok yang selalu rajin mewujud di sekitar gue sekedar untuk berbagi cerita singkat tentang hari-hari itu tak lagi ada. Seujujurnya gue tidak ambil pusing. Toh, wajar. Sama seperti gue, mereka berdua juga mahasiswa tahun terakhir. Diam-diam, gue melirik layar ponsel gue yang sedang menampilkan kolom-kolom percakapan Whatsapp.  Tersenyum ketika satu pesan milik salah satu cowok itu muncul. "Rin, lu lagi mikirin Ian, nggak?"

Traffic JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang