ARISTA

1.2K 137 56
                                    

Prospek hidup gue sejak lulus SMA sebenarnya sederhana, simpel, dan klise. Gue hanya mau jadi mahasiswi yang baik, bersahaja, aktif, dan bisa lulus tepat waktu alias empat tahun.

Tapi apa hidup semulus pantat bayi dan selicin betis Seulgi Red Velvet? Tentu tidak, Ferguso!

Alih-alih Baik dan bersahaja, sejujurnya gue yakin dosa gue sudah berlipat ganda karena selalu mengumpat dan menggerutu. Jangankan aktif, sudah sering melipir untuk kabur dari acara kampus pun, tugas-tugas kuliah gue masih bolong di mana-mana. Terus bagaimana dengan rencana gue lulus empat tahun? Astaga naga, yang satu itu jadi momok yang mengantui otak gue sejak menginjak semester tua. Pertanyaan kapan lulus yang sudah mulai terdengar gaungnya di sekitar gue, membuat gue mulai berpikir untuk gantung diri.

Tenang, itu cuma majas hiperbola. Gue yang bisa pingsan cuma karena mau disuntik, dari mana punya keberanian bunuh diri?

Sejak awal masuk kuliah hingga sampai ke tahun ke empat gue sebagai mahasiswa jurusan Arsitektur, gue mulai merasakan hidup gue terdistorsi. Tujuan dan cita-cita gue yang semula terang benderang seolah terkena cahaya ilahi, sekarang mulai gelap, keruh dan butek persis kayak ember di toilet umum. Gue frustasi, itulah sebabnya gue cuma menghabiskan waktu-waktu berharga gue dengan goler-goleran di Kosan sambil menonton sinetron Andin dan Elsa yang sejujurnya gue ngga ngerti sama sekali jalan ceritanya, sampai-sampai gue berfikir, 'Wah kasihan Anna nggak diajak main.'

Oke stop dengan cerita persaudaaran yang rumit itu. Intinya gue pengen cepat lulus, tapi sayangnya semakin lama motivasi gue semakin berhamburan tidak karuan. Gue mau wisuda dan cepat dapat gelar Sarjana, tapi laptop gue di atas kasur malah gue gunakan untuk mendengar playlist lagu-lagu galau Raisa dan bukan untuk mengetik skripsi gue yang belum keliatan hilalnya kapan bisa selesai.

Gue pusing dan muak, suntuk dan jenuh. Gue butuh motivasi, atau setidaknya gue butuh secuil hasrat untuk kembali meneruskan cita-cita gue yang sudah melebur sejak awal semester tujuh.

Sejujurnya, sedari awal gue tahu jurusan kuliah yang gue masuki ini adalah jurusan yang sulit (Ini juga gue tahu gara-gara guru BK gue skeptis dan meyakinkan gue untuk ambil jurusan lain) tapi siapa sangka gue keterima di jurusan ini di dua kampus yang berbeda? satu di kampus negeri ber-jaket kuning dan satu di kampus swasta ber-almamater biru. Mana yang gue pilih? Tentu yang biru. Kenapa? Mudah aja, Fakultas Tekniknya dekat dan nggak menuntut gue naik ojek yang ongkosnya mencapai 10.000 rupiah kalau-kalau gue telat. Sayang bukan? Gue ini perhitungan, alias hemat. Bayangkan gue bisa membeli empat bungkus Indomie dengan uang itu. Karenanya, gue yakin dengan pilihan gue ini. Lagipula, kampus gue ini salah satu kampus swasta terbaik kok di Jakarta.

Tapi, di saat gue sudah resmi menjalani kehidupan sebagai mahasiswa, gue akhirnya bisa menyarankan kalian untuk lebih baik menuruti nasihat orang dewasa yang skeptis dengan keputusan-keputusan hidup yang kalian ambil. Kenapa? Karena gue yang sudah terlanjur terjerumus ini hanya bisa menggapai dan berteriak tanpa suara seolah gue sedang tenggelam di samudra Atlantik bersama kapal Titanic. Oke, berlebihan.

Intinya, gue menyesal memilih jurusan Arsitektur hanya karena gue merasa jurusan itu keren dan suara hati yang mengatakan "Yes! Gambar doang!" padahal bulshit, bahkan gue sudah langsung dapat nilai C dari salah satu mata kuliah gue di semester satu, dan kalian tau itu mata kuliah apa? Namanya Studio Arsitektur Dasar, keren kan? Tapi ini adalah mata kuliah yang mewajibkan mahasiswanya untuk bisa menulis rapih, tegak, dan indah di atas kertas besar tanpa garis pembantu. Simpel? Iya sangat, tapi apa mudah? Tentu tidak. Dan sialnya gue hanya melakukan pelajaran itu diulang-ulang sampai tiga bulan kemudian. Gue jadi merasa bak bocil yang masih SD.

Traffic JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang