JELITA

508 91 14
                                    

Seandainya ada daftar hal-hal yang paling ingin gue musnahkan eksistensinya dari muka bumi, sudah pasti nama Wiras Adi Nugraha ada di sana, dicetak tebal, digaris bawah, dan distabilo merah terang pertanda dia ada di golongan khusus yang harus dibasmi hingga ke akarnya. Karena menurut gue, satu saja Wiras sudah membuat dunia menjadi tempat yang menyebalkan, maka lebih dari satu Wiras sudah pasti membuat dunia berantakan, khususnya dunia gue.

"Sabar, Je."

Gue menarik napas dengan rakus, mangap-mangap seperti ikan kurang air. Walau tidak melihat kaca, gue yakin kalau muka gue sudah pasti memerah karena emosi yang memuncak, bahkan rasanya ubun-ubun gue mengeluarkan asap imajiner. "Gue nggak bisa sabar lagi."

"Harus disabarin." Farah kali ini membuka suara sebelum sebelumnya dia diam saja, sibuk mengemili bakwan dengan bumbu kacang. Cewek dengan rambut paling panjang di geng teletubis gue itu kini melihat gue dengan matanya yang besar dan tampang sok serius yang pada lain hari pasti membuat gue tertawa, tapi sayang hari ini suasana hati gue sedang amat sangat jelek. "Kalau marah mulu nanti umurnya pendek tau."

Sangat amat tidak penting. Tapi setidaknya karena ocehan itu, pundak gue mengendur. Gue hanya menggelengkan kepala, dan menghela napas. "Nenek gue galak, panjang aja umurnya tuh. Nggak valid ah omongan lu."

"Ya, pokoknya sabar dulu Je." Kali ini Alzha bersuara, dan karenanya gue sempat terkejut. Selama beberapa hari belakangan ini, teman gue yang satu kan sibuk memegang hape sambil senyam-senyum sendiri seperti orang sinting. Alzha masih waspada dengan keadaan sekitar, sungguh mengejutkan. "Kali aja Wiras nggak masuk gara-gara apaan kek gitu, sakit atau apaan kek gitu."

"Wiras sakit?" Gue mendengus. Cowok macam monster otot begitu mana bisa sakit? Sungguh amat tidak mampu gue bayangkan seorang Wiras sakit. Bagi gue, dia tiba-tiba hilang ditelan bumi lebih masuk akal dibandingkan dia sakit. "Mane bisa, nyet."

"Manusia dia tuh, bisa sakit lah."

Gue mendelik pada Airin. Memang, kalau cewek yang satu itu buka bicara, gue lebih sering tak bisa menjawab, toh omongannya fakta, walau di mata gue Wiras mirip simpanse alih-alih manusia. "Ah, elah. Kalau sakit tuh bilang kek. Gue nungguin dia dari pagi, dah bawa ini itu buat survei. Sebel banget!"

"Lu harusnya yang inisiatif tanya duluan."

"Ogah."

"Ye, tanya dong."

"Nggak mau!"

"Mau nggak mau harus tanya-"

"Elah nggak mau! Bye Airin, hush."

Gue mendecak sebal pada Airin, sedangkan cewek itu justru terbahak menyebalkan setelah berhasil membuat gue makin emosi. Baru saja gue berniat mengomel lebih lanjut, suara gebrakan dari pintu ruang himpunan membuat gue dan ketiga sahabat gue menoleh dengan segera. Dengan kompak kami mendecak saat mendapati tampang bloon namun cantik milik Arista.

"Heboh amat entry lu!"

Gue mengangguk setuju pada komentar sarkasme Airin, namun gue merasa tak tenang ketika dia melangkah mendekat pada gue. Selain fakta dia tidak buka sepatu saat memasuki ruang himpunan, air muka Arista yang panik membuat dada gue tiba-tiba berdegup kencang. Ketika dia tiba-tiba mencengkram bahu gue, gue setengah mati menelan ludah sebelum bicara. "Kenapa, Ta? "

"Wiras Je."

Duh, sialan betul. Nama cowok itu aja mampu membuat gue kepalang tidak tenang, dan namanya disatukan suara Arsita yang bergetar membuat gue luar biasa pening entah karena apa. "Kenapa Wiras?"

"Itu, gue denger dari Ian-"

"Kok Ian nggak bilang gue?"

Gue menoleh pada Airin dan mendecak. Kenapa sih dia salah fokus? Inikan Arista lagi ngomong sama gue. "Elah Rin, jangan salfok." Gue berdeham ketika cewek itu memberi tanda oke dengan tangannya sebelum gue kembali beralih kepada Arista yang nafasnya masih memburu. "Wiras kenapa, Ta?"

Traffic JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang