Sewaktu pertama kali gue orientasi mahasiswa baru tingkat jurusan, seorang kakak tingkat bertanya pada gue, alasan apa yang membuat gue memilih jurusan arsitektur dibandingkan jurusan lain. Saat itu, gue menjawab dengan jawaban paling klise dan paling basi, yaitu karena gue suka sekali menggambar.
Lantas senior gue tertawa dan memberikan gue dua jempol, saat itu gue merasa sangat oke dan keren. Hanya di kemudian hari gue tahu gestur itu adalah sebuah ejekan untuk alasan gue yang payah.
Setelah gue terjun ke dalam dunia arsitektur, gue baru menyadari bahwa suka gambar saja tidak akan pernah cukup untuk membuat seseorang mampu merangkak keluar dari kubangan ini. Bahkan gue yang suka menggambar, menjadi rada-rada alergi dengan kegiatan itu karena gue bosan dan muak setengah mati. Jurusan ini mencekik gue, hanya gambar apanya? Ternyata untuk menerapkan gambar di jurusan ini, banyak sekali cabangnya, matematika, fisika, geologi, ilmu alam dan lingkungan, sampai pengetahuan sosial. Gue pusing, ini jauh melenceng dari apa yang gue pikirkan tentang betapa asiknya menjadikan hobi sebagai rutinitas hidup.
Gue beruntung ada banyak teman-teman baik yang sedia mengajari gue ini dan itu sehingga gue tetap bisa menjaga kewarasan. Walau begitu ketika tiba saatnya gue ada di semester tujuh, gue benar-benar tidak tahu apa yang harus gue lakukan. Momen ini adalah momen yang selalu gue tunggu, gue selalu ingin cepat lulus dan bekerja dengan gelar arsitek. Keren sekali, kan? Terkesan elit, pintar, kece, dan menghasilkan banyak uang.
Tapi seperti kata Arista yang selalu jadi rekan duet gue menangis di kamar mandi kampus setiap tugas gambar kami dicoret dengan spidol merah, hidup tidak semulus betis Seulgi dan Joy Red Velvet. Untuk mencapai cita-cita pekerjaan stabil sebagai arsitek muda, mendapat banyak proyek prestisius, berkeliling dunia dengan uang hasil keringat gue, dan membanggakan anak-anak masa depan gue dengan menjadi sosok ibu yang keren, nyatanya gue harus melewati tahap sialan bernama skripsi terlebih dahulu.
Gue ingin menangis saja, terlentang di lantai dengan pose bintang laut dan merengek tentang betapa sulitnya gue mencapai cita-cita muluk-muluk gue di atas selama dosen gue masih bermode tidak sudi memberi gue keringanan dan terus menerus membuat gue menjadi salah satu oknum penyebab pemanasan global karena sudah menghabiskan ratusan kertas yang tidak tega untuk gue daur ulang walau sudah dicoret sana sini untuk revisi.
Dari semua ini, gue akhirnya mengerti apa itu krisis kehidupan pertama. Bagi gue ini bukan masalah percintaan, tapi masalah pendidikan. Pendidikan tinggi yang rasa-rasanya masih jauh dari garis finish, namun gue sudah terlanjur lelah dan tidak sanggup lagi berlari. Hidup gue bak maraton sejak menjadi mahasiswa, di jurusan perkuliahan yang penuh orang-orang berjiwa seni dan teliti setengah mati ini, gue terancam gila.
Di tahun terakhir gue ini, justru gue rasanya sudah lupa apa yang gue pelajari sebelumnya. Otak gue kopong bak amnesia, ilmu yang sudah gue pelajari tiga tahun belakangan bak menguap tiap kali gue di hadapan laptop dan siap mengetik rangkaian kalimat untuk skripsi gue. Karena itulah, gue selalu memilih melipir ke tempat kos teman-teman gue, mencari inspirasi, meminta saran, dan jika gue sudah tidak sanggup, maka gue akan memilih memesan semangkok Indomie rebus dengan telur dan kornet, sebelum pergi ke dunia mimpi di mana hidup gue seolah memiliki shortcut, dan gue sudah sukses tanpa perlu skripsi serta bersuamikan Harry Styles atau anggota BTS.
Iya kalian tidak salah membaca narasi, kok. Gue adalah pekerja keras yang suka memberi hadiah pada diri gue sendiri, jika otak gue sudah panas, gue memilih goleran sana sini, untuk mengisi energi. Lagipula, gue hanya mencoba menjadi positif, karena kewarasan gue adalah tanggung jawab gue sendiri, maka gue mencoba menanamkan bibit pikiran yang baik-baik saja. Farah pasti lulus, Farah bisa dapet skripsi A, Farah bisa jadi arsitek sukses yang dompetnya tebal, dan lain-lain sebagainya.
Apakah berpengaruh? Lumayan.
Di suatu hari, saat hujan deras dan gue terjebak di satu payung yang sama bersama Jeje. Dia bilang pada gue, bahwa semesta mengabulkan apa yang kita pikirkan. Entah gue yang terlalu naif atau bloon sehingga percaya-percaya saja pada sahabat gue yang satu itu, namun ucapannya menempel di otak gue. Jeje mengalami masalah skrpsi yang lebih runyam dari gue, sehingga hanya dengan melihat mukanya yang kusut dan keruh bak air kolam renang yang tak pernah dikuras, gue bisa merasa lebih beruntung.
"Far, kok lu santai banget dah. Kayak itu otak selevel sama Aca atau Airin aja."
Waduh! Teman-teman gue memang rada brengsek dan tidak berakhlak. Untungnya gue anak yang sabar dan baik hati. Walau otak gue tidak berkapasitas sebesar Alzha dan Airin, tidak pula unggul dibidang keaktifan mahasiswa seperti Jelita, tak punya pula seseorang yang ditugaskan membantu gue seperti Arista yang memiliki Rangga, gue yakin gue bisa melewati semuanya. Dengan tekad yang kuat, demi meneruskan semangat golongan muda yang sudah mengusahakan kemerdekaan, gue akan menjadi generasi muda yang sukses dan bisa berdiri tegak di atas kaki gue sendiri.
"Far, maap ni. Asli lu muluk-muluk banget. Gimana lu mau lulus kalau kerjaan lu cuma makan mie, molor, sama ajak anjing lu lari-larian?"
Oh, memang tuhan membuat gue menjadi individu yang positif, tapi teman-teman gue semua beraura negatif. Ucapan di atas keluar dari mulut Gama Ramardhani, teman yang gue kenal dari kelas tambahan yang sama di lembaga bahasa Inggris yang diwajibkan di kampus gue. Mahasiswa fakultas hukum yang jenius, kritis, dan terlalu realistis.
"Gam, jangan gitu sama napa Farah. Dia kan juga udah dan masih berusaha."
Uhu! Di mana ada hitam di situ ada putih, di mana ada orang menyebalkan di situ ada orang baik. Ucapan penuh pengertian ini berasal dari Edwin Bagaskara, masih seseorang yang gue kenal dari kelas bahasa Inggris. Si penghuni gedung ekonomi yang baik hati, lembut, dan selalu membela gue kapanpun Gama mengeluarkan kalimat pedasnya pada gue.
Iya, selain segerombolan Teletubies yang berganti nama menjadi Arista, Alzha, Airin, dan Jelita, ke dua orang ini adalah yang paling setia menemani hari-hari kritis gue di bangku perkuliahan. Ke dua pemuda yang diam-diam membuat gue oleng sana sini karena mereka berdua punya pesona yang menghanyutkan, dan gue bak perahu kertas yang ringan mudah terbawa arus.
"Udah-udah jangan debat. Gue lagi usaha, kayak kalian juga. Tapi versi gue membutuhkan banyak sesi istirahat. Molor, makan mie, jajan cilor, nonton drakor, ngajak anjing gue tebar pesona. Tenang aja, semua akan selesai pada waktunya."
Iya, semua akan selesai pada waktunya. Semuanya akan berada di tempat yang tepat pada akhirnya. Saat ini biarkan gue fokus pada tanggungan utama gue sebagai mahasiswa. Biarkan gue menangani pemasalahan skripsi gue yang sepenuhnya disebabkan oleh kelalaian gue memperhatikan banyak materi, dan lebih banyak memotret slide presentasi dosen dengan ponsel walaupun gue tau foldernya tidak akan gue buka lagi. Biarkan gue menebus kesalahan gue di masa lalu dengan mengurusi perihal skripsi dan tugas akhir gue sebelum gue fokus pada hal lain.
Ekhem ekhem, yang lain itu maksudnya siapa yang akan berakhir menjadi pasangan gue di wisuda dan seterusnya.
Bukan gimana-gimana, tapi gue tau kok Gama dan Bagas itu naksir gue, hu hu hu. Memang gue ini pesonanya tumpah-tumpah.
.....................
Vote nya yaaa tolong ^ω^
Beda sama yang lain, mba Farah ini wajib dicontoh. Dia fokus dulu sama pendidikannya sebelum mengejar kisah cintanya haaahaha. Yah walaupun dia juga masih mageran, niat muluk-muluknya patut diapresiasi.
Bye bye!
KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Jam
FanficSemester tua = Kemacetan lalu lintas kehidupan. BTS - RED VELVET/ FANFICTION / Storyline and Art by Purpleperiwinkle / 2021