ARISTA

243 42 24
                                    

"Kak, kalau gue jadi juragan duren, kak Airin mau nggak ya sama gue?"

Ngok.

Gue berhenti membolak balik hasil asistensi gue beberapa jam yang lalu, dan menatapi junior ganteng tapi otaknya rada miring yang sedang duduk di samping gue sambil mengemili kacang sukro. Gue menggelengkan kepala dan menghela napas. "Kayaknya mau, deh."

"Yah, susah dong." Harlian, si oknum  pecinta Airin itu merengut. Kini bergeser mendekat dan melongok ke  rangkaian kitab skripsi gue. "Kayaknya gampangan skripsi ya dari pada bikin kak Airin naksir gue."

Gue mendecak penuh simpati, mengangkat tangan dan menepuk-nepuk bahu Harlian. Rasanya tidak tega juga, melihat anak cowok hiperaktif macam dia mencurhati isi hatinya tentang sahabat gue dengan wajah murung seperti itu. Satu hal yang berusaha gue tahan dari tadi adalah, Harlian sama sekali tidak sadar kalau si kakak tingkat pujaan hatinya itu sudah mulai tak melipir kemana-mana hanya karena tidak ingin bertemu dengannya. Untuk takaran manusia datar dan gengsian macam Airin, progres yang satu itu luar biasa loh.

Bruk.

Gue mendongak saat satu jilid tebal kertas diletakan di atas meja, tepat di hadapan gue. Alzha memberikan cengiran lebar sebelum membanting bokong di hadapan gue dan Harlian. "Gimana Ta, aman?"

Gue mengangguk dan menepuk-nepuk skripsi gue perlahan. "Aman."

Alzha tersenyum bangga, sebelum matanya bertumpu pada satu lagi sosok yang eksisten di sana. "Hai Ian!" Teman gue itu melambai riang pada Harlian. "Udah lama nggak ketemu. Gimana? Aman?"

Gue terkekeh, pertanyaan Alzha itu singkat tapi rasanya seperti pertanyaan bapak-bapak. Gue melirik Harlian yang menghela napas, lantas gue kembali memasang mode simpati dengan menepuk-nepuk pundaknya.

"Kuliah sih lancar, alhamdulillah gue pinter." Harlian merancau dengan kepercayaan diri. Yah, walau begitu gue dan juga Alzha jelas mengamini saja. Toh, cowok satu ini memang pintar. "Kalau soal cinta, ruwet."

"Semangat dong!" Alzha mengepalkan tangan dan membuat ekspresi serius. Entah kenapa gue memilih untuk tidak terlalu mendengarkan ide-ide nyeleneh yang sedang ditanamkan Alzha di otak Harlian, alih-alih gue sibuk melirik layar ponsel gue dengan perasaan tak karuan. Satu gebrakan di meja membuat gue nyaris mengumpat saking kagetnya. Gue mendengus pada Alzha yang kini sedang berapi-rapi menjelaskan entah hal apa pada Harlian. Memang betul dalam kisah hal kisah cinta, mereka berdua mirip. Sama-sama menaksir kulkas berjalan.

"- ya nggak, Ta?"

"Hah?" Gue mengerjap-ngerjap saat pertanyaan itu diajukan oleh Alzha. Apanya yang iya atau nggak? Mendengarkan mereka bicara aja nggak gue lakukan. "Apanya? Maap Ca, nggak denger."

"Ya eek kambing." Alzha medengus sebal, sedang gue hanya meringis tak enak hati. Namun mau bagaimana, pikiran gue pun sedang tak bisa dipaksa berada di satu tempat. "Lu kangen Rangga, ya?"

Ngok.

Tepat sasaran.

Tapi sebenarnya bukan kangen, sih. Cuma-

"Cieeee, cuit-cuit." Harlian membuat gestur bersiul yang hiperbola dan jelas itu membuat narasi hati soal perasaan yang gue rasakan saat ini di beberapa hari absensi Rangga terhenti. "Mentang-mentang ditinggal Oppa ke Korea, baru juga empat hari."

"Oppa Rangga." Azha terkekeh geli. "Kayak neneknya Upin Ipin, yak? Dipanggil Oppa juga."

Ngok.

"Itu opah anjrit." Harlian merengek.

Gue mendecak, membiarkan Alzha dan Harlian buka ruang adu mulut soal Oppa di Korea, Opah di Malaysia, sampai Opa di Indonesia. Gue menopang dagu, dan menghela napas. Dengan mata membaca catatan revisi yang dituliskan dosen gue di sana sini setengah hati, gue jadi memikirkan kembali ucapan Alzha. Apa benar gue kangen Rangga? Ini kan baru hari ke empat gue tidak bertemu cowok itu, masa iya rasanya sesepi ini? Kalau memang iya rasanya seenggak menyenangkan ini, wajar aja Jelita mengetuk-ngetuk kamar kosan gue tengah malam dan memaki-maki Wiras tepat setelah  si ketua himpunan mahasiswa sipil itu belum juga bisa masuk kampus seminggu setelah kecelakannya. Ternyata tidak bertemu sosok yang selalu berkeliaran di sekitar kita itu begini menyebalkannya. Padahal ini kan Rangga, yang kerap mengomeli dan menjuteki gue, yah walau belakangan ada sikapnya itu manis-manisnya seperti air Le Minerale.

Traffic JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang