Bagi gue, nggak ada pemandangan yang lebih bisa membuat kepala gue pening dibandingkan melihat Harlian sudah menduduki sofa ruang keluarga rumah gue di Minggu pagi, mengobrol bersama kedua orang tua serta kakak laki-laki gue, dilengkapi dengan satu kotak susu cokelat di tangannya yang sepertinya diambil dari jatah gue di kulkas.
"Ian lu ngapain di sini lagi?" Belum sempat gue bicara lebih panjang, lengan gue sudah di tepuk keras oleh bunda, membuat gue mengaduh. Ini ibu-ibu kenapa tega banget sih? Gue mendecak sebal, sebelum kembali memusatkan atensi pada Harlian dan memutuskan untuk menghempas diri tepat di sebelahnya setelah gue menyikut lengannya, menyuruhnya bergeser. "Pulang sana."
"Dek, nggak boleh begitu." Jinendra, kakak gue yang ganteng mirip Jin BTS bersuara untuk menegur gue. Gue mendelik ke arahnya yang duduk di sofa lain, sibuk mengemili pisang goreng keju buatan bunda. "Harlian jengukin adek kesini, padahal tugas kuliahnya banyak."
Gue menghela nafas. Bukan gue nggak berterima kasih, cuma kehadiran Ian yang sudah seperti perawat panggilan pribadi gue sejak beberapa hari lalu sangat amat membebani gue. Mau gue balas baik, gue takut dia baper. Nanti kalau dia semakin naksir gue, siapa yang mau tanggung jawab? Masa iya gue? Sori dori stoberi, gue nggak berminat pada berondong dan daun muda. "Kan Ayin nggak minta."
"Iya kak, tapi gue ikhlas kok."
Gue menoleh, beradu pandang langsung dengan Ian yang luar biasa ganteng sampai-sampai hati gue pedih. Kenapa bocah semenyebalkan Ian harus bermuka seperti itu!? Tidak cocok sama sekali dengan peragainya yang sembrono dan tengil. "Gue udah sehat, sono pulang."
"Yakin kak?"
"Iyeee."
"Gue nggak apa-apa lho, kak." Ian tersenyum tengil dan membuat gue mendadak merasakan hawa-hawa tidak enak. Di hari-hari lain di kampus, jika ia sudah melempar senyum seperti itu pada gue, maka kalimat lanjutan yang akan keluar dari mulutnya adalah jenis kalimat paling abstrak dan paling tidak tahu malu, persis seperti penyataan cintanya dulu. "Sekalian latihan nanti jagain kalau lu sakit pas udah jadi istri gue."
Ngok.
Gue menganga seperti ikan kekurangan air. Telinga gue berdengung saat orang tua dan kakak gue terbahak. Apa katanya? istri? dasar bocah gila, pikir gue. Ah, gue yakin banget ini orang udah putus urat malunya. Dengan tidak sabaran gue jitak pelipisnya. "Siapa yang mau jadi istri lu hah?"
"Ah Ayin, kalau sama Harlian mah mau aja."
Gue menoleh cepat dengan cepat ke sosok bapak-bapak tampan dengan raut jenaka di wajahnya yang tidak lain adalah ayah gue. Oh astaga naga, kepala gue pening. Ada apa dengan paguyuban iseng ini? Buru-buru gue ambil sepotong Brownies coklat kukus yang menjadi buah tangan Harlian hari ini, gue endus karena curiga dia memasukan semacam senyawa kimia yang membuat anggota keluarga gue jinak pada dia.
"Ayin nggak sopan ah, taro kuenya."
Gilirah bunda yang kini membela Harlian, gue mendelik. Sedih karena merasa tidak ada yang memihak gue. Kalau begini gue lebih baik mengemas barang secepatnya, minggat dan menangis di bawah guyuran hujan dengan latar belakang lagu ku menangis.
"ASSALAMUALAIKUM!"
Seruan familiar itu menunda gue untuk menggerutu. Dengan cepat gue berdiri, mengitip dari kaca jendela dan mendapati pemandangan kepala-kepala familiar yang mengitip kepo dari batas atas pagar rumah gue.
"AIRIN MAEN YOK!"
Satu seruan lagi dan gue pun tertawa. "Bocah-bocah bloon." dari dalam ruang keluarga, bunda gue memberi kode agar gue membukakan pintu untuk para budak gambar itu. Maka gue buru-buru memutar kunci dan berlarian ke depan untuk membuka pagar. "Bacot anjir."

KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Jam
FanfictionSemester tua = Kemacetan lalu lintas kehidupan. BTS - RED VELVET/ FANFICTION / Storyline and Art by Purpleperiwinkle / 2021