Saat dulu gue akhirnya mendapatkan pencerahan tentang cita-cita gue di hari terakhir Ujian Nasional, gue sudah berkeputusan untuk mengerjar cita-cita itu dengan sekuat tenaga. Kalau mengutip dari novel terkenal milik penulis Donny Dhirgantoro, gue sudah menggantung tujuan hidup gue 5cm dari kening, nggak terlalu dekat biar tetap bisa dibaca, nggak pula terlalu jauh supaya nggak lupa. Intinya, sejak hari kelulusan SMA, gue sudah tahu apa yang sekiranya akan gue lakukan di kemudian hari, ingin menjadi manusia macam apa gue di masa depan, dan dengan lingkungan macam apa gue akan membiarkan diri gue berkubang.
Pertanyaanya, apakah gue selurus dan seklise narasi di atas? Tentu aja iya, gue kan bukan Arista.
Sejak awal masa perkuliahan, gue adalah tipe mahasiswa impian teman-teman, senior, dan dosen. Gue baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung. Selalu membantu teman yang kesulitan, menuruti permintaan senior selama itu hal yang masuk akal walau kadang amat sangat nggak penting, dan puncaknya adalah gue, Airin Amelia, si mahasiswa yang selalu berhasil meminimalisir pekerjaan dosen gue karena hasil kerja gue selalu nyaris sempurna tanpa perlu banyak revisi.
Kalau ditanya mengapa kehidupan perkuliahan gue bisa sedemikian lurusnya, itu karena pada paragraf pertama gue bilang bahwa gue sedang berusaha mengejar cita-cita gue - menjadi Arsitek. Walau di tahun awal gue menjadi maba, cobaannya nggak main-main dan sempat membuat gue luar biasa terkejut dengan peralihan dari murid SMA menjadi mahasiswa. Bayangkan aja, gue kira masa perploncoan itu hanya ada saat orientasi mahasiswa baru. Nyatanya, gue dan mahasiswa baru Arsitektur lainnya yang notabene menghuni lantai empat gedung Teknik, nggak boleh naik lift selama dua semester, nggak boleh pula makan di kantin, dan lain sebagainya.
Namun kembali lagi, gue ini adalah tipe orang yang oke-oke aja, sehingga tanpa terasa akhirnya itu semua berlalu, dan gue telah menjadi senior yang juga merasa lucu saat melihat junior-junior gue mengalami hal itu. Ya, gue jenis manusia yang selalu melihat sisi positif kok, jadi bahkan semua hal dengan konotasi negatif, nyatanya bisa punya esensi positif tergantung dari bagaimana gue melihatnya. Ha! mulai kan! Kalau kata sahabat-sahabat gue, gue punya narasi hati yang teralu filosofis alias punya jiwa tua.
Singkat, padat, dan jelasnya, sekarang si jiwa tua ini sudah mewujud menjadi mahasiwa semester tua. Sedang berada di tahap mempertahankan kewarasan karena jenuh dengan skripsi yang masih jauh dari kata selesai, serta kewajiban gue sebagai asisten dosen untuk angkatan yang lebih muda.
Jika boleh jujur, di tahun terakhir gue sebagai mahasiwa ini, gue hanya ingin fokus pada bagaimana menyempurnakan skripsi gue, dan cepat-cepat mendapat gelar Sarjana Arsitektur. Bukan karena apa-apa, namun gue yang punya kehidupan lurus-lurus aja ini pun, akhirnya menemukan titik bosan juga. Intinya gue sunguh ingin cepat menamatkan predikat mahasiswa gue dan melihat dunia di luar lingkungan kampus gue yang dalam tiga tahun belakangan ini, lebih sering gue huni dibandingkan rumah gue sendiri. Sayang seribu sayang, gue yang punya toleransi rasa tidak enakan setipis kaus kutang bocil, masih aja terjebak dengan permintaan untuk membantu dosen yang nggak bisa gue tolak.
"Muter-muter banget elah! Satu jurusan juga tau alasan kenapa lu pengen cepet cabut dari kampus."
Mendengar ucapan ini pasti membuat gue yang senantiasa memasang ekspresi kalem, menjadi siap tempur bak anak-anak STM yang mau menyerbu sekolah lain. Meskipun begitu, gue akui walau dengan berat hati, bahwa memang alasan gue benar-benar nggak lagi merasa kerasan di kampus adalah perihal konyol yang sama sekali nggak ada sangkut pautnya dengan skripsi ataupun kegiatan gue sebagai asisten dosen.
Namanya Ian.
Nama panjangnya Harlian Putra Damarjati. Menurut gue, namanya terlalu bagus buat bocah iseng dan tengil kayak dia. Jadi, mari kita panggil dia dengan nama akrabnya, Ian.
Salah satu junior di jurusan yang sama seperti gue, tepat satu tahun di bawah angkatan gue. Ian adalah sosok yang gue kenal karena gue adalah mentor kelompok belajar gambarnya saat dia masih menjadi budak gambar tanpa rambut alias maba botak. Ian itu luar biasa aneh, walau tampangnya luar biasa ganteng pula. Menurut gue kapasitas mentalnya nggak berkembang secara normal, alias dia itu terlalu kekanakan untuk ukuran mahasiswa.
Ian adalah sosok yang selalu membuat gue pusing. Si junior hiperaktif yang sering sekali mengintili gue kemana-mana, seolah gue adalah induknya. Ian ini pula adalah cowok paling heboh di setiap kali gue kedapatan membantu dosen mengajar di kelasnya. Pada awalnya gue menganggap dia itu cuma iseng, tapi di akhir semester kemarin, keisengannya berubah menjadi mala petaka bagi gue.
"Tapi Ian tuh lucu banget! Siapa coba yang berani kayak gitu selain dia? Gue jadi lu sih, meleleh banget pasti."
Ha! Meleleh dari Hong Kong? Lucu dari mana? Ian adalah faktor nomor satu mengapa bahkan di saat gue harusnya semangat menyongsong gelar sarjana, gue justru memilih melipir ke kantin, dan sebisa mungkin menghindari lantai empat. Iya, Ian itu adalah distraksi paling menyebalkan dalam dua puluh satu tahun hidup gue. Mau tau apa yang membuat gue kesal setengah mati sama dia? Ian adalah cowok yang menyatakan cinta ke gue. Oke, itu masih di terima akal sehat gue. Sampai sini semuanya baik-baik aja, tapi nggak kalau kalian baca paragraf berikutnya.
Ian, mengatakan cintanya ke gue, di tengah jadwal presentasi besar tugas desain individualnya, di depan seluruh dosen Arsitektur, di hadapan setidaknya separuh mahasiswa penghuni lantai empat, lengkap dengan slide Power Poin terakhir berisi foto gue dan sepuluh alasan gue harus menerima cintanya. Gila! Bencana! Sinting! Bahkan sampai sekarang pun gue masih merinding tiap kali gue ingat itu.
Ian, si gila yang membuat reputasi gue yang tanpa cela kini hanya dikenal sebagai Airin kating kesayangan Ian. Sia-sia semua usaha gue menjadi mahasiswa teladan.
"Ka, kalau lu udah lulus nanti gue sama siapa?"
Ngok! Emangnya dia pikir gue perduli? Tapi sialnya bahkan kalimat dan ekspresinya sudah melekat, menempel, dan terpaku di otak gue padahal gue nggak mau. Astaga, kalau begini gue harus benar-benar fokus pada bundelan skripsi gue, agar gue secepatnya bisa melanjutkan gambar desain, dan minggat dari kampus ini, jauh-jauh dari si alien aneh nggak tau malu, Harlian Putra Damarjati.
Aduh! Kalau begini kasusnya apa perlu gue teriak di depan muka Ian kalau gue nggak suka dia? Astaga, tapi kan nggak tega, soalnya kadang dia lucu juga.
Sial! Otak gue sudah resmi terkontaminasi.
........................
VOTE KALAU KALIAN SUDAH BACA SAMPAI SINI!
heheh! Ini adalah kisah Airin pertama. Si mahasiswa teladan, yang sekarang dikenal dengan Airin yang ditembak Ian pas presentasi.
Sampai sini aku masih kasih cerita mereka masing2 ya.
Bye! >_<
![](https://img.wattpad.com/cover/286112793-288-k882635.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Jam
FanfictionSemester tua = Kemacetan lalu lintas kehidupan. BTS - RED VELVET/ FANFICTION / Storyline and Art by Purpleperiwinkle / 2021