JELITA

676 103 20
                                    

Untuk beberapa alasan, gue nggak punya latar belakang yang menarik soal mengapa akhirnya gue menjadi mahasiswa arsitektur. Simpelnya, gue memang mau jurusan ini, didukung oleh keluarga, dan berhasil masuk tanpa banyak drama seperti apa yang teman-teman gue alami.

Sebagai seorang mahasiswa, gue adalah tipe yang sangat tidak bisa diam. Gue aktif mengikuti kegiatan UKM*, mengikuti kelas tambahan, menjadi panitia di banyak acara, sampai pada puncaknya gue akhirnya terpilih menjadi ketua dari Ikatan Mahasiswa Arsitektur (IMA) di kampus gue. Gue adalah garda terdepan yang vokal dalam menyampaikan aspirasi dari mahasiswa, baik pada pihak akademisi di kampus, maupun menyuarakan tuntutan masyarakat di level yang lebih tinggi, untuk mudahnya gue adalah tukang demo di gedung DPR. Sampai sini, kalian pasti tau kan gue adalah tipe manusia macam apa? Gue penuntut keadilan yang berusaha membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, dimulai dari hal-hal yang bisa gue jangkau.

Klise dan terlalu muluk-muluk? It's okay.  Banyak bermimpi itu wajar, memilki impian setinggi langit pun nggak masalah. Mengutip dari salah satu tokoh nasionalis favorit gue yaitu Bung Karno, beliau bilang bermimpilah setinggi langit, bahkan jikalau engkau jatuh, kau kan jatuh di antara bintang-bintang. Kece kan?

Bukan sombong, bukan congkak. Kalau kalian mampir ke kampus gue dan tanya yang namanya Jelita Anastasia, satu kampus pasti tahu Jelita anak teknik, ketua IMA. Yap, gue memang sangat terkenal, dan gue bersyukur karena gue populer bukan karena masalah remeh tapi karena gue selalu maju paling depan dalam urusan mahasiswa. Kata teman-teman gue, gue adalah panutan bagi banyak orang. Jelita yang jadi idola karena subtansi pemikiran dan tindakannya sejalur sama apa yang diharapkan oleh banyak orang, yaitu generasi muda yang aktif dan ambil peran dalam banyak proses perbaikan bangsa.

Gila? Keren banget nggak sih narasi gue? Ha Ha! Nggak-nggak, gue memang seperti narasi di atas, cuma tidak sesempurna narasi di atas juga. Paham nggak? kalau nggak, coba kalian banyakin dulu minum minyak ikan kod, biar pinter.

Gue Jelita, lebih biasa dipanggil Jeje. Ketua IMA, anggota UKM seni dan karate, garda utama pendemo di gedung DPR yang selalu dapat peran pembawa speaker corong atau toa, dan juga Jeje si calon mahasiswa telat lulus. 

Bukan gelar yang membanggakan, tapi inilah gue dengan segala kelebihan dan kekurangnnya. Singkat kata, karena sibuk dengan dengan berbagai perihal di luar akademis, gue kehilangan banyak ritme. Gue sibuk rapat himpunan, tanda tangan proposal kegiatan ini itu, bulak balik ruangan dosen petinggi jurusan, dan BOOM! tiba-tiba gue sudah harus mengajukan judul skripsi. Apa gue nggak tremor? Apa dikira gue nggak keringat dingin? Jangankan judul skripsi, KRS* gue aja disiin temen. Gue bahkan nggak terlalu paham bagaimana tiba-tiba gue sudah tiba di tahun terakhir gue sebagai mahasiswa? Tuhan, tolong! gue masih belum siap!

Beruntungnya gue sebagai mahasiswa yang pandai bermanis-manis pada dosen, akhirnya dosen yang ditetapkan sebagai pembimbing skripsi gue membantu gue mencari judul yang tepat dengan minat dan kemampuan gue. Apa semuanya berjalan indah setelah itu? tentu saja nggak, ini dunia nyata bukan FTV SCTV. Dengan adanya bantuan dari dosen, maka gue yang kepepet dan iya-iya aja akhirnya harus terlibat di satu proyek desain yang memiliki korelasi dengan judul skripsi mahasiswa lain di jurusan lain.

Dari sini lah sebenarnya gue mulai mendapat predikat calon mahasiswa telat lulus.

Namanya Wiras Adi Nugraha, tapi gue lebih sering menyebutnya Wiras tolol atau Wiras bego. Jangan ditiru ya, panggilan tersebut tidak baik, hanya boleh ditunjukan utuk Wiras. Mahasiswa semester tujuh jurusan teknik sipil, ketua Himpunan Mahasiwa Sipil (HMS), si dungu yang selalu membuat gue memasang mode bertempur tiap kali gue ketemu dia, orang nomor satu yang selalu berdebat soal ini dan itu dengan gue, dan cowok kurang ajar yang suka meremehkan otoritas gue pada himpunan gue sendiri. 

Gue benci Wiras, dari ujung kaki sampai ubun-ubunnya. Tetapi karena mungkin karma dari pihak polisi yang kerap direpotkan oleh mahasiswa pendemo macam gue, justru di tahun terakhir gue ini, gue terikat dengan Wiras. Tidak salah lagi, rekan penelitian yang diajukan dosen pembimbing gue adalah Wiras. Wiras yang sedang meneliti lahan di daerah Jawa Barat untuk skripsinya yang kebetulan juga menjadi lahan imajiner pembangunan ide desain skripsi gue. Kalau bukan sial, gue nggak tahu lagi apa namanya.

Apa gue langsung setuju? Tentu nggak, namun karena ancamannya gue nggak bisa mengajukan proposal skripsi tepat waktu, jadilah gue kalah telak dengan persuasi ibu dosen pembimbing gue. 

Pada awalnya gue kira semua akan berjalan lancar, toh Wiras juga sedang berada di tahap yang sama dengan gue. Di awal, walau dengan muka cemberutnya yang mirip bebek habis kecebur got, dia akan mengajak gue survei bersama. Walau di sepanjang jalan, gue dan dia hanya punya dua mode yaitu, mode diam dan mode ribut, nyatanya gue berhasil mengumpulkan data untuk tapak bangunan skripsi gue nanti.

All clear! gue sukses mengajukan judul, sukses pula mengeksekusinya dalam bentuk proposal yang disidangkan. Namun, bukan Wiras namanya jika membiarkan hidup gue tenang dan mudah. Saat gue membutuhkan data tanah untuk lahan kami, alih-alih memberi tahu gue, dia justru menghindari gue bak kutu loncat. Meminta gue mentraktirnya ini dan itu agar gue boleh meminta secuil data penelitiannya. Faktor inilah yang menghambat kemajuan progres skripsi gue, karena data tanah gue harus lengkap untuk uji konstruksi, maka gue akan tertahan di penghujung bab 3 selama Wiras dan kepala kopongnya masih terus mengerjai gue. 

"Yaudah cari data sendiri aja yuk. Kita temenin deh, kita takut lu mati muda soalnya ngamuk terus."

Kalimat sembarangan yang diucapkan oleh oknum-oknum yang mengaku sebagai sahabat-sahabat gue itu sama sekali tidak membantu, justru membuat gue hipertensi. Kenapa? Karena lahan itu berada di area yang sulit di tempuh. Lagipula bukan jatah gue sebenarnya untuk meneliti tanah, gue kan nggak paham soal disiplin ilmunya! Dan sesungguhnya bukan pula kelengkapan detail seperti itu yang harus gue masukan ke dalan skripsi gue. Tapi sialnya dosen pembimbing gue bilang khusus untuk gue, maka datanya harus lengkap, untuk menilai ketahanan struktur bawah bangunan imajiner gue nanti. Sudahlah, gue mau menangis dan mogok makan aja, atau pindah ke jurusan lain. Serius, kenapa sih penyesalan harus datang belakangan?

"Je, nanti gue bantu analisis pondasi lu deh."

Jarang-jarang Wiras menwarkan bantuan seperti ini. Tiap dia melakukannya, gue sudah ancang-ancang dengan kalimat lanjutannya yang biasanya membuat kepala gue pening dan hati gue kesal.

"Tapi jajanin gue ayam pedes level 5 ya? Kan kalau analisis struktur bawah lu kelar, lu bisa lanjut struktur sama desain bagian tengah."

Kutu kupret! Sudah gue sangka semua kebaikan Wiras akan diikuti dengan embel-embel ini dan itu. Kalau sudah begini, gue yang bahkan masih memiliki tanggung jawab dengan banyaknya urusan himpunan pasti mau tak mau akan menuruti kemauan Wiras walau dengan hati dongkol, dan dompet tipis.

"Je, muka lu melas amat kayak kurang makan dah."

Dasar babi giling! Gimana gue mau makan kalau uang jajan gue di pakek buat beliin dia makan!? Sudahlah, kalau begini gue pasrah aja. Kalau skripsi gue nggak maju-maju dan gue nggak lulus tepat waktu, gue janji bakalan botakin kepala Wiras, kalau perlu gue sumpahin biar dia nggak lulus juga selama gue belum lulus. Ha! Berdua lebih baik dari pada sendirian.

..................

Vote dulu vote!


UKM*= Unit Kegiatan Mahasiswa, semacam ekskul di kampus.

KRS* = Kartu Rencana Studi yang diisi di awal semester.

Bye bye.

Traffic JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang