"Siang kak Aca!"
"Oi." Sapaan junior idaman satu fakultas alias Harlian alias degemnya Airin, hanya gue tanggapi dengan kata singkat dan anggukan kepala. Gue mengerjap-ngerjapkan mata menahan kantuk yang menggerogoti mata gue. Aduh, kalau bukan karena gue menghabiskan semalam suntuk untuk menontoni Jelita debat kusir dengan ketua himpunan jurusan lain, pastilah gue tak akan datang dengan lemas seperti saat ini. Jangan salah sangka, sebagai mahasiswa arsitektur, bergadang adalah makanan sehari-hari gue. Tapi, tetap aja di pertengahan hari gue akan menemukan diri gue menguap lebar-lebar seperti singa dan berjalan sempoyongan seperti orang mabuk lem.
"Kak Airin ngampus nggak, kak?" Harlian mensejajari langkah gue, menawari gue sebungkus kacang pilus rasa pedas yang sedang ia pegang. Gue menggeleng dan tanpa ucapan meminta anak itu membantu gue membawa buku referensi desain tebal yang sedari tadi membuat tangan gue pegal, untungnya Harlian langsung membantu gue tanpa babibu. Gue meliriknya, masih nggak paham kenapa Airin alergi banget sama dia? Yah, memangsih anaknya agak ekstrim, tapi baik kok. "Kangen gue sama kak Airin."
"Airin masuk angin, terus nggak ada jadwal ketemu dospem." Gue menggerdikan bahu, tersenyum dan melambaikan tangan bak Puteri Indonesia pada beberapa junior lain yang menyapa gue di sepanjang koridor. "Samperin sana ke rumahnya."
"Emangnya boleh?"
Gue terkekeh setelah berterima kasih pada Harlian yang membukakan pintu ruang studio tugas akhir untuk gue. "Emangnya lu pernah perduli boleh atau nggaknya kalau soal Airin?"
"Ngga, sih." Harlian meletakan buku gue di atas meja, lalu berdiri bersidekap, sedang gue duduk dan mendongak untuk melihatnya. "Yaudah entar gue ke rumahnya ah abis kelar kelas."
Gue menganggukan kepala dengan bangga. Bodo amat jika nanti Airin akan mengomeli gue, yang penting gue bisa membalasnya yang tempo hari mendorong badan gue hingga menubruk bang Saga yang sedang berjalan di koridor. Emangsih gue senang, tapi kan malu. "Bawain pisang jangan lupa."
"Oh iya dia suka pisang ya. Gue kasih nanti yang gede."
"Ambigu nyet." Geplakan Jelita hinggap di kepala Harlian hingga cowok itu mengaduh, sedangkan gue tak lagi menahan tawa. Jelita menghempas bokongnya di meja gue, duduk bersila di atas sana.
"Yah, lu aja yang otaknya ngeres." Harlian tertawa riang menanggapi ucapan Jelita. Setelahnya cowok itu berpamitan untuk kembali melanjutkan kelasnya seusai jam makan siang. Sebelum benar-benar menghilang di balik pintu, dia menoleh pada gue dan berseru. "Kak Aca, entar bang Saga ke kampus bahas proker UKM seni."
Mendengar nama yang satu itu, suasana hati gue langsung membaik seketika, dan sepertinya bahkan sampai Jelita pun menyadarinya karena sahabat gue yang satu itu tertawa dan menepuk-nepuk bahu gue. "Mantap. Digempur lagi nggak Ca hari ini?"
Gue mendongak padanya dan mengedipkan mata dengan jenaka. "Kalau dia belum jadi gandengan gue, gue gempur terus. "
"Emang paling gila. Demen banget gue."
Gue memberi gestur hormat pada Jelita. Memang, di antara keempat sahabat dekat gue, hanya dialah yang paling mendukung langkah gue mendekati Saga.
"Ha to the lo, halo semua!"
Sapaan ceria familiar milik Farah membuat gue terkekeh. Melihat cewek itu membawa satu bundel tebal kertas hasil print di tangannya, tak lama setelahnya masuklah satu lagi anggota gerombolan haha hihi gue, Arista dengan tampang kusut. Gue menepuk bokong Farah yang berjalan melintasi gue, dan menegur Arista yang setelah menaruh tas ranselnya di atas meja, langsung menelungkupkan wajah di dalam lengan. "Ta, kenapa lagi?"
"Revisi bab 3 lagi." Arista mengangkat kepalanya dengan gontai. Gue melihatnya dengan iba yang berusaha gue sembunyikan agar dia tak tersinggung. Jujur, gue tidak pernah memiliki masalah apapun dengan hal-hal berbau akademik. Skripsi gue pun rasanya tinggal ketik, sedikit revisi ringan, dan yap mendapat tanda tangan dospem untuk dilanjutkan. Gue pun sudah memasuki bab 4, walau konsentrasi gue terpecah kemana-mana, gue masih bisa bersantai, tahu benar gue tak mengalami kesulitan seperti yang diderita Jelita, dan banyak teman gue lainnya. Gue berdeham. "Mananya lagi Ta? Referensi dari Rangga nggak cukup?" Menyebut nama itu membuat gue tak enak hati, merasa buruk sebagai sahabat. Mentang-mentang tahu Arista sudah punya bala bantuan, gue jadi lepas tangan. "Nanti balik gue ke kosan lu deh, gue bantuin."

KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Jam
FanfictionSemester tua = Kemacetan lalu lintas kehidupan. BTS - RED VELVET/ FANFICTION / Storyline and Art by Purpleperiwinkle / 2021