AIRIN

299 42 35
                                    

"Dek, kamu kalau gede mau jadi apa?"

Gue melirik heran pada satu sosok tinggi nan ganteng yang sedang berdiri di samping gue sambil membolak-balik buku pada rak di depan kami. "Arsitek, lah." Gue mendelik sebal. "Kan Ayin masuknya arsitektur."

Cowok itu, Jinendra, kakak gue yang gue menawan tapi kurang berakhlak tertawa. "Kakak kira kamu mau jadi juragan duren."

Gue mendecak. "Cari suami aja yang juragan duren."

"Ian, dong."

Ngok.

Udah dibilang, Jinendra kurang berakhlak. "Idih kak Jin aja sana sama dia."

"Lah?" Kakak gue itu mendelik jenaka dengan tampang super menyebalkan. "Kakak nggak suka cowok, dek."

Gue menyerngit sebal sebelum memilih memusatkan atensi pada tumpukan buku-buku desain nan tebal di hadapan gue yang sejujurnya ingin sekali gue lepas pelastiknya sedari tadi buat difoto isi dalamnya. "Ya, tapi gue juga nggak suka Ian."

"Masa?"

"Elah, kak Jin!" Gue mendecak kesal. Gue membanting satu buku yang kini tak lagi menarik untuk gue beli. "Pulang aja sana! Ayin beli buku sendiri!"

"Ngambekan banget idih."

Gue menghela napas. Tau begini mending gue pergi sendiri dari pada dikawal kakak macam Jinendra yang kegiatan sehari-harinya cuma menghujam otak gue dengan paham -paham nyeleneh soal Harlian.

"Nggak sama orang rumah, nggak sama temen kuliah, semuanya aja ngeledekin Ayin sama Ian." Gue merengut sebal, kaki menjejak-jejak lantai dengan gusar. "Ayin pengen skripsian aja, nggak mau pacar-pacaran."

Bukannya merasa bersalah, kakak gue justru tergelak sampai-sampai gue berpikiran 'apa gue pukul aja kepalanya pakek buku hard cover?' "Mikir, bukan ketawa."

Kak Jin menghela napas, dan karena seepertinya tau suasana hati gue sudah tidak bagus untuk memburu buku soal perkuliahan, dia justru merangkul bahu gue dan menarik gue keluar dari toko buku. "Iya dek, paham kok." Gue sebal tapi menurut saja saat kakak gue itu membawa gue turun ke lantai bawah. "Makan dulu, entar kakak temenin Ayin cari buku lagi."

"Iyah." Gue mengangguk pasrah. Yah, mau bagaimana lagi? Jika membahas soal Harlian, mood gue suka langsung berantakan seperti tertiup puting beliung. "Makan daging ya, kak."

"Oke dek."

Gue menghela napas, mendecak ketika Jinendra menaruh lengannya di atas pundak gue. Sejujurnya, suasana hati gue sudah berantakan sejak beberapa hari yang lalu, dan yang membuat gue makin uring-uringan adalah penyebab kebetean gue ini nggak lain dan nggak bukan adalah Harlian alias Ian alias si adek tingkat tidak tau malu itu.

"Ah, monyet."

"Kakak?"

"Hah?" Gue menoleh ketika Jinendra melihat gue dengan tampang tersakiti. Lantas gue buru-buru menggeleng. "Bukan."

"Oh, alhamdulillah." Kakak gue tertawa seolah nggak penting adeknya mau mengumpati siapapun asal bukan dia. "Soalnya kakak ganteng, Ayin harus dilasik kalau ngatain kakak kayak monyet."

Ngok.

Masa perlu dilasik katanya?

Dasar aneh, untung abang sendiri.

"Dek."

"Apa?" Gue menggerutu, siap menghadapi omongan apapun yang sekiranya akan keluar dari mulut kakak gue itu. "Kenapa, kak?"

"Ian tuh, sama tante-tante."

Ngok.

Bukan bermasud apa-apa tapi seolah ada kekuatan super merasuki diri gue, gue menemukan mata gue menyala seperti babi ngepet melihat tumpukan duit. Gue memicing ke sana kemari dan yap di sanalah Harlian, dengan gayanya yang santai nan ganteng seperti biasanya, sedang menggandeng tante-tante cantik berkerudung kuning yang tampak kaya raya karena di tangannya ada banyak belanjaan.

Traffic JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang