Tied - 13

1.4K 224 24
                                    

Mata biru Naruto bergulir mengabsen setiap orang yang berdiri di samping kanan kiri ranjang tempatnya berbaring. Otaknya berpikir keras mencoba mengenali siapa saja yang hadir dalam ruangannya itu. Di samping kanan dua orang pemuda tampan tersenyum manis padanya. "Si … a … pa?" susah payah bibir keringnya bertanya meski terbata. Meski kuasanya terbatas akan kata, namun rasa penasaran begitu menyiksa. Mengapa bisa dirinya terbaring tak berdaya tanpa ingatan apa pun seolah ia baru saja terlahir.

"Namaku Uzumaki Nagato, kakakmu. Di sebelahku adalah kekasihku, Yahiko."

Bibir kering Naruto bergerak kaku membentuk bulan sabit. Meski ada rasa ragu dalam hati, namun jika seseorang hadir saat dirimu terbangun tanpa ingatan apa pun pastilah seseorang itu adalah orang terdekatmu.

"Namaku Uzumaki Karin. Aku juga kakakmu."  

Suara ceria bernada serak mengalihkan perhatian Naruto. Kepalanya bergerak perlahan ke samping kiri untuk memberi perhatian seorang gadis berambut merah yang sempat dilupakan. Gadis itu terlihat begitu behagia meski jejak basah terlihat samar pipi putihnya. Buntalan selimut berwarna biru muda bergerak perlahan. Kepalan tangan mungil muncul dari balik selimut, bergerak gelisah seolah ingin menggapai sesuatu yang tak bisa terjangkau oleh tangan mungilnya. Lama kelamaan bukan hanya tangan mungil itu yang bergerak gelisah, namun tubuhnya juga ikut bergerak disusul tangisan cempreng khas bayi. 

Karin yang mengerti akan kegelisahan Menma bergegas meletakkan buntalan selimut dalam dekapannya ke samping tubuh Naruto dengan posisi kepala keduanya sejajar. "Menma anak pintar. Mengerti jika Niichannya sudah bangun." Karin meraih tangan Naruto dan meletakkannya di atas pipi mungil Menma. "Perkenalkan ini Uzumaki Menma, adikmu. Namamu Uzumaki Naruto, kau mengerti?"

Sekilas mata biru Naruto melirik Karin sebelum berlabuh pada makhluk mungil di sampingnya. Tangannya bergerak kaku mengelus pipi bayi mungil yang terasa lembut di tangannya menjalar ke bagian dagu. Dengan lembut jari telunjuknya mengelus bibir mungil yang masih terbuka mengeluarkan suara tangisan entah karena apa. Benarkah makhluk mungil di sampingnya adalah adiknya? Jika iya, mengapa hatinya begitu tenang mendengar tangisan yang terdengar seolah mengganggu pendengaran itu?

Bibir keringnya kembali tersenyum kaku kala ujung jarinya terapit kuat 

Oleh dua belahan bibir mungil sang bayi. Sepertinya orang dewasa di sekitar Menma tidak mengerti maksud tangisan bayi itu. Jika kakak-kakaknya datang bersama sang adik, lalu ke manakah kedua orangtuanya? Ingin bertanya namun ia masih kesulitan berbicara. Terpaksa ia hanya memendamnya untuk sementara.

***

Suara ringisan terdengar jelas di telinga Karin sesaat setelah suasana lengang menyelimuti kamar Naruto. Baik Nagato maupun Yahiko telah pergi beberapa saat lalu untuk kembali mengurusi pekerjaannya. Alhasil dirinyalah yang menjaga Naruto. Melihat jam dinding yang menggantung di didnding kamar, gadis itu bergegas bangkit dari sofa di samping pintu masuk kamar dan menghampiri ranjang. Bibirnya tersenyum melihat Menma yang terlihat anteng memainkan kakinya sambil melihat langit-langit ruangan. Berulangkali bayi gembul berusia empat bulan itu meraih kakinya dan mencoba untuk memasukkannya ke dalam mulut, namun selalu gagal. 

"Ka … rin Nee … sa … kit."

Mata merah sang gadis bergulir menatap keadaan sang keponakan yang sudah berganti status menjadi adiknya. Helaan napas kecil meluncur dari bibirnya. Sepertinya Naruto terlambat mengeluarkan ASI-nya. Duduk menyamping, Karin mengelus lembut bahu kiri Naruto. "Kau terlahir istimewa Naruto. Dengarkan Neechan." Tersenyum lembut, kaki kanan bertumpu pada kaki kiri. Perlahan tangan pun menjauh dari bahu sang adik. "Kau terlahir dengan keistimewaan yang luar biasa. Meski kau alpha, tapi kau bisa mengandung. Usiamu menginjak usia dewasa dan siap dibuahi. Terkadang ASI keluar dengan sendirinya itu wajar mengingat kondisimu yang seperti itu."

Rasa nyeri sedikit tersamarkan oleh rasa sedih yang tiba-tiba muncul. Ia tak mengerti dengan ucapan Karin, tapi kenyataan itu terdengar menjijikan dirasa olehnya. Dirinya laki-laki, tapi mengapa harus berperan layaknya wanita?

Karin yang melihat wajah murung Naruto kembali membuka suara. "Kondisimulah yang menyelamatkan Menma dari kelaparan." Menunduk dalam. "Menma selalu menolak  susu pengganti ASI. Kedua orangtua kita meninggal akibat kebakaran yang menyebabkan dirimu seperti ini. Neesan akan menceritakannya padamu nanti, tapi …." Mendongak, mata merah menatap penuh harap pada pemuda yang mulai menunjukkan sedikit paras menawannya. "Bisakah kau memikirkan Menma untuk saat ini? Dia adalah wasiat terakhir ibu kita." Meski ucapan penuh dusta, namun tiada penyesalan terasa. Baginya keluarga adalah cinta terbesarnya. 

Rasa sesal menggelayuti hati Naruto akibat berprasangka buruk terlalu dini akan kondisinya. Tangan yang masih terasa kaku yang sedari menganggur di samping tubuhnya sekuat tenaga bergerak meraih tangan sang kakak yang terkulai di atas pangkuan, kemudian menggenggamnya lembut.  "Ma … af."

Kepala bermahkota merah menggeleng kecil. Tangan dalam genggaman sang adik bergerak 180 derajat, menyambut kehangatan hubungan kekeluargaan. Genggaman tangan mengerat syarat akan dukungan seorang kakak akan kesembuhan sang adik. "Cepatlah sembuh agar kita bisa hidup seperti sedia kala." 

Senyum kecil dari bibir kering Naruto menjadi balasan akan ucapan Karin. Seberat apa pun hari-hari yang akan dilaluinya nanti, jika ada kakaknya yang satu ini, ia tidak akan mengeluh sedikitpun.

“sekarang waktunya menyusui!”

Naruto kebingungan ketika tiba-tiba karin bangkit, berjalan menuju sofa. Saat kembali menghampirinya, kakaknya itu membawa tiga buah bantal sofa. Berjalan memutari ranjang, tanpa banyak bicara gadis terlalu aktif itu menaiki ranjang, kemudian bersimpuh. Bantal dalam dekapan diletakkan di samping kepalanya. 

Tangan kanan Karin mendekap tubuh Naruto, menariknya perlahan hingga dalam posisi duduk  bersandar di bahunya. Bantal sofa ditumpuk hingga menjadi sandaran yang cukup tinggi untuk tubuh dalam dekapan. Meski sedikit kesulitan, Karin masih bersyukur tubuh Naruto cukup tergolong mungil di usia hampir menginjak 15 tahun. 

Karin perlahan menyandarkan tubuh Naruto pada bantal sofa berukuran lebih besar dari bantal yang dikenakan sebagai tumpuan kepala sang adik. 

Wajah Naruto memerah dengan pergerakan Karin. Ingin mencegah, namun dirinya masihlah kaku untuk menggerakkan anggota badannya sehingga kecepatan tangan Karin membuka setiap kancing kemeja dibiarkan begitu saja. Suhu tubuhnya perlahan memanas meski beberapa saat lalu hawa dingin nan lembab mendominasi ruangan, menghantar kenyamanan. Dan kian bertambah panas saat gadis itu mendekap Menma, berdiri dengan kedua lututnya, kemudian membawa bayi gembul itu  ke depan tubuhnya, satu tangannya dilingkarkan ke belakang bahu Menma. 

Tubuh Karin berputar, terduduk di samping tubuh Naruto tanpa melepaskan tangan kiri Naruto yang menahan tubuh gembul Menma. Tangannya sedikit terangkat, memposisikan bibir mungil tepat di depan dada sang adik. 

Sedangkan Naruto yang diperlakukan seperti itu rasanya ingin mati saja! Bagaimana bisa kakaknya tanpa rasa malu melakukan hal seperti ini? Meski melupakan identitasnya, tapi insting sebagai manusia yang menginjak usia dewasa, membuatnya merasakan rasa malu yang luar biasa. Kepalanya tertunduk tak mampu mengadu pandang dengan sang kakak. Melihat bagaimana rakusnya Menma menikmati makanannya sedikit menghilangkan rasa malunya, tapi tetap saja rasa nyaman selalu menghantui. Apalagi rasa nyeri dibarengi gelenyar aneh ditubuhnya membuatnya hampir mengeluarkan suara yang mungkin terdengar aneh. Terpaksa ia harus menggigit bibir bawahnya untuk meredamnya. 

Bibir berlipstik merah tersenyum lega bisa membohongi sang adik dengan mudah. Dengan begini jalannya akan semakin mudah ke depannya. Adiknya itu seperti kertas putih polos baru yang bisa digambar dengan pola apa pun sesuai keinginannya. Ia akan berusaha sekuat tenaga memberi kehidupan normal bagi sang adik tanpa harus takut dengan sebuah status jenis kelamin kedua.

TBC.

 

     



Tied to the PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang