Rumah besar berlantai tiga dengan pagar tembok setinggi 4 meter terlihat begitu menyeramkan, bak rumah angker. Setiap kepala menunduk takut saat tuan rumah melewati para pekerjanya. Biasanya jika sang kepala rumah tangga sedang menghadapi masalah besar, maka setiap bibir akan bungkam jika berpapasan dengan pria itu. Entah kali ini permasalahan besar apalagi yang membuat kepala keluarga Uchiha menunjukkan tanduknya. Pria itu terlihat menunjukkan wajah tak bersahabatnya, di belakangnya anak tertua hanya terdiam mengikuti langkah pria paruh baya tersebut.
Sesampainya di lantai dua, keduanya memasuki ruang kerja Fugaku yang terlihat cukup luas dan nyaman dengan satu set meja kerja, serta satu set sofa. Keduanya berjalan berlawanan arah. Fugaku ke arah kursi kerjanya, sedangkan Itachi membaringkan tubuh lelahnya di sofa panjang. Tak lama berselang dalam keheningan, suara ponsel Fugaku menggema di ruangan 5 X 5 meter tersebut.
Itachi bangun dari posisinya, duduk tenang mendengarkan pembicaraan sang Ayah dengan orang di seberang sana yang ia kenal betul suara siapa itu. Ketua Akatsuki yang bertugas menyingkirkan kehidupan omega. Otaknya mulai mencerna setiap penuturan janggal yang diucapkan ketua Akatsuki tersebut. Ia sadar benar akan kondisi adiknya saat ini. "Ayah … apa mungkin Sasuke yang …." Tangan Itachi saling bertaut. Otaknya terus bekerja menyatukan kemungkinan kejadian yang menimpa adiknya saat ditemukan ada hubungannya dengan pembicaraan ayahnya serta Nagato.
Suara hembusan kasar terdengar. Pemuda berkuncir rendah berusia 25 tahun mendongak menatap ayahnya yang sedang dalam posisi bersandar pada sandaran kursi.
"Mana mungkin. Bagaimana bisa Sasuke berada di sana?"
"Mungkinkah ada sebuah permainan dari salah satu kubu? Bisa jadi Akatsuki sendiri yang menjebak Sasuke untuk kepentingan pribadi, atau dari kubu kita yang menginginkan sesuatu."
"Tidak mungkin, Itachi. Jika Nagato mengetahuinya, sudah pasti Sasuke sudah menjadi mayat. Besok pergilah ke sana sesuai perjanjian. Aku tidak bisa meninggalkan Sasuke begitu saja."
"Baik, Ayah."
***
Ruang utama kediaman Nagato terlihat mencekam. Dua kubu saling menatap penuh dengan kecurigaan. Namun satu pemuda berambut pirang menatap dilema anak tertua dari Fugaku Uchiha. Rasa cinta yang baru bersemi seumur jagung mulai dilanda petaka. Mereka baru saja menjalin cinta, namun masalah seperti ini malah muncul. Entah kubu mana yang harus ia percayai, namun rasa hormatnya pada sang ketua membuatnya harus menekan jauh rasa dalam hati.
"Bagaimana ..? Sudahkah kau percaya setelah melihat tempat kejadiannya?"
Itachi berpikir sejenak. Tubuhnya condong ke depan dengan pandangan yang terus mengarah pada pria berambut merah di seberangnya. Semua anak buah kepercayaan berdiri di belakang mereka, saling mengantisipasi kejadian yang diinginkan. "Bisa aku menemui keponakanmu?"
"Tidak. Kondisinya tidak memungkinkan untuk dikunjungi."
"Hanya melihat dari luar ruangan." Itachi mencoba bernegosiasi, namun Nagato tetap menolak mempertemukannya dengan keponakan Nagato. Jika Nagato baru berumur kurang dari 30 tahun, maka dipastikan keponakannya masih di bawah umur. Pantas saja Nagato sangat marah. Tak ingin memaksa, Itachi menyerah dengan keinginannya. "Lalu apa maumu sekarang?"
"Aku ingin tempat ini hanya dioperasikan olehku tanpa campur tangan dari kubu kalian?"
"Apakah kau sengaja menjebak kami?"
Nagato menggeram rendah. "Kau pikir aku bisa mengorbankan keluargaku demi hal seperti ini?"
"Kau bisa …." Itachi tersenyum mencemo'oh. "Aku yakin jika keponakanmu itu adalah seseorang dari keluarga yang tak bisa kau bunuh setahun lalu. Kau pikir dari mana informasi tentang omega berasal jika bukan melalui kami terlebih dahulu."
"Aku tidak membunuh kakakku, apakah kau tidak mendapat laporan tersebut dari anak buahmu? Jika tidak, berarti kalian diam-diam saling menyembunyikan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu lainnya."
Itachi menegakkan kembali tubuhnya. "Baiklah. Kami sepakat untuk tidak ikut campur urusan di dalam pulau ini." Itachi bangkit meninggalkan kediaman Nagato setelah kesepakatan didapatkan.
"Deidara, antar tamu kita ke bandara."
Dengan langkah enggan, pemuda yang sedari tadi dilema menyaksikan situasi mencekam antara dua kubu mulai mengikuti pergerakan Itachi. Meski mereka duduk di dalam mobil yang sama, dalam posisi bersebelahan, namun salah satunya enggan membuka suara.
"I-Itachi …." Deidara menunduk saat panggilannya direspon dengan pandangan dingin pemuda yang dicintainya. Bahkan sesampainya di bandara, ia masih dalam posisi yang sama. Hingga saat supir di depannya keluar, tiba-tiba Itachi meraih dagunya, menatapnya intens sebelum memberikan ciuman panas penuh nafsu. Melumat kedua belahan bibirnya rakus, menghisap bagian atas dan bawah bibirnya dengan kuat. Dan di saat ia terlena, dengan tidak tahu dirinya Itachi menghentikan ciumannya dan keluar dari mobil disertai bantingan pintu mobil saat menutupnya.
Deidara menedang pintu yang tertutup itu dengan rasa kesal. "Brengsek!" Berulangkali bibir sedikit bengkaknya mengumpati Itachi yang menghilang di balik pintu memasuki bandara yang tidaklah terlalu besar itu. Lelah dengan aksinya, Deidara menjatuhkan tubuhnya di kursi penumpang. Matanya terpejam meresapi rasa mengganjal di hatinya. Apakah ia baru saja dicampakkan? "Sial!" Dedara menendang sekali pintu mobil, sebelum terdiam. Bahkan dirinya terus seperti itu sampai di kediaman Nagato.
***
Hari berlalu berganti minggu, bahkan bulan kondisi Naruto masih belum juga membaik. Orochimaru mencoba yang terbaik untuk kondisi pemuda yang masih enggan membuka mata. Tanda kepemilikan disamarkan seakan tanda di leher itu adalah bekas luka bakar. Suntikan penghilang tanda itu diberikan dengan dosis rendah hingga membutuhkan waktu yang tidaklah singkat. Alasannya adalah kondisi Naruto yang entah ini disebut anugerah atau kutukan. Pemuda itu mengandung dalam kondisi masih koma.
Berbagai alat penunjang kehidupan menempel di tubuh pemuda itu. Bahkan perut besar naruto tak luput dari alat pendeteksi jantung untuk berjaga-jaga jika bayi di dalam kandungan pemuda itu baik-baik saja. Hingga saat melahirkan pun pemuda itu masih betah tertidur. Suara bayi yang sesekali memenuhi ruang rawat inap itu pun tak membuat Naruto terbangun.
"Hah!" Karin membuang napas kasar. Ia menimang bayi dalam dekapannya yang mulai rewel. Sudah sebulan ia melakukan kunjungan rutin setiap akhir pekan untuk menemani Naruto. Hati ini saking rindunya dengan bayi mungil Naruto, ia langsung menuju ruang kamar Naruto, naruto niatnya akan dipindahkan ke rumah sebulan lagi. "Baby Menma yang lucu, jangan menangis lagi, ya?" Karin berjalan meninggalkan ruang rawat inap Naruto.
Tanpa disadari gadis itu, kelopak mata Naruto perlahan terbuka, menampilkan bola mata biru yang telah lama bersembunyi. Hidungnya perlahan mengendus aroma menenangkan yang menguar dari tas sekolah Karin yang tertinggal di atas meja. Perlahan kepala pirangnya bergerak ke arah di mana aroma itu menguar. Setelah mendapatkannya, tangannya mencoba meraih tas Karin, namun tangannya tak mampu menjangkau. Ingin bangun, tapi tubuh terasa kaku. Dengan terpaksa, Naruto berusaha sekuat tenaga menggeser tubuhnya hingga tangannya mampu menggapai tas di atas meja.
Dengan tangan bergetar, ia mencoba mengangkat benda itu ke atas tubuhnya. Meski hampir menjatuhkan tas itu akibat tenaganya yang terasa lemah, namun ia berhasil membawa benda itu ke atas perutnya. Dengan tenaga seadanya, Naruto membuka resleting tas milik Karin, meraba isinya. Dan benda yang pertama kali tersentuh olehnya adalah sebuah handuk kecil yang masih terasa dingin. Kemungkinan handuk itu setengah basah.
Naruto menggeser tas Karin hingga jatuh di samping tubuhnya. Tangan yang memegang handuk dibawa ke depan wajah. Hidungnya menghirup dalam aroma handuk di tangannya sebelum membawanya ke depan dada. Setelah itu, kedua mata Naruto kembali tertutup dengan wajah damai disertai dengkuran halusnya.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tied to the Past
Fiksi PenggemarNaruto disclaimer by Masashi Kishimoto. *** Naruto menikmati hidup damainya bersama kakak serta adiknya selama bertahun-tahun. Namun kedamaian itu perlahan terusik sejak pertemuannya dengan Sasuke. Sebuah kenyataan pahit mulai terkuak perlahan. Pert...