11. Terjebak Dilema

710 36 0
                                    

Seluruh siswa berhamburan keluar kelas dengan berbagai ekspresi, ada yang senang bukan kepalang karena mendapatkan nilai lebih tinggi dari yang ia duga, ada juga yang sedih karena mendapat nilai lebih rendah dari ekspektasinya.

Namun ada juga yang biasa saja karena tak berharap apapun dan mendapat nilai yang pas-pasan, sang Wakil Ketua OSIS SMA Darma Bakti contohnya.

Tanpa peduli dengan nilai-nilainya, ia langsung keluar dari kelas begitu waktunya pulang tiba. Ia berjalan cepat dengan penuh semangat hingga hampir menabrak Riani yang juga berjalan cepat hendak menemuinya.

"Juan? Lo tahu nggak, gu-" cerita Riani itu langsung disela Juan.

"Nggak tahu, bentar ya gue ada urusan," ujar Juan cepat, ia hendak pergi namun Riani menghadang langkahnya. Matanya yang semula penuh binar langsung berubah sinis.

"Urusan apa? Letta lagi? Emangnya lo pikir gue nggak tahu, lo masih sering nemuin Letta, kan!" marah Riani.

Namun bukan Juan namanya jika tak menanggapinya dengan tenang.

"Sebentar, ya, nggak lama kok," bujuk Juan lembut.

"Tapi lo pulang bareng gue, ya!" ujar Riani masih dengan seribu kesalnya.

"Iya, lo tunggu aja di parkiran nanti gue ke sana," jawab Juan sambil berjalan pergi meninggalkan Riani dengan kedua tangan yang mengepal keras.

Kapan sih lo bisa jadiin gue prioritas, Letta terus yang lo peduliin! batin Riani.

Namun bukannya merasa bersalah, Juan malah berjalan semakin cepat dan penuh semangat. Kebetulan sekali, begitu ia sampai di depan kelas Letta, Letta keluar dari kelasnya.

"Arimbi Letta," sapa Juan.

Letta diam, menatap Juan sekilas lalu melanjutkan langkahnya. Juan pun menyamakan langkahnya dengan Letta. Membuat Letta sangat terganggu. Ia kesal bukan pada Juan tapi pada dirinya sendiri dan semua kegagalannya. Ingin rasanya ia memeluk pria itu erat-erat,tapi ia juga gagal mempertahankan pria itu bersamanya. Juan sudah bukan miliknya lagi dan itu semakin menambah list kegagalan di pikirannya.

"Arimbi Letta, lo tahu nggak ada pameran baru loh di deket toko kue tempat ibu kerja--"

"Itu ibu gue, bukan ibu lo!" tegur Letta ketus.

"Tapi udah kebiasaan manggil itu, udahlah masalah ginian nggak usah digede-gedein. Lo mau main ke sana nggak nanti malem?"

"Ogah!" jawab Letta masih ketus.

"Iya gue jemput kok." Jawaban Juan berlainan dengan apa yang Letta ucapkan.

"Gue nggak bisa!" jawab Letta malas.

"Oke mau, jam berapa?" tanya Juan dengan santainya.

Letta langsung menghentikan langkahnya dan menatap Juan dengan begitu tajam.

"Gue nggak bisa, Kak. Lo denger nggak sih?! Gue nggak bisa!" tegas Letta membentak-bentak.

Setelahnya hening sejenak, wajah Juan sempat berubah sendu, namun tak lama ia kembali tersenyum.

"Oke, jam delapan ya, gue jemput. Dandan yang cantik, ya," ucap Juan dengan penuh kelembutan lalu pergi tanpa mempedulikan gerutuan Letta.

Ia sengaja tak membahas mengenai pemeringkatan atau nilai raport. Ia tahu benar apa tujuan, cita-cita, keinginan dan harapan Letta untuk masa depannya. Ia tahu sekali bahwa mendapatkan peringkat lima benar-benar jauh dari ekspektasi Letta.

Sebelum mengantarkan raport ke kelas Letta, Juan sempat mengintip pemeringkatan di kelas Letta di sebuah lembaran yang berada di meja wali kelas Letta. Saat mengetahui Letta mendapat peringkat lima, Juan sempat panik, takut Letta menjadi down setelah tahu itu.

Pamit Tapi tak PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang