10.Gagal

74 2 0
                                    

Beberapa bulan berlalu...

Tak terasa sudah satu semester Letta bersekolah di SMA Darma Bakti itu. Kini adalah hari terakhirnya sekolah di semester satu, hari ini adalah hari pembagian raport sekaligus pengumuman juara kelas.

Tiga puluh menit sudah Letta duduk manis di bangkunya, menunggu kehadiran sang wali kelas bersama setumpuk raport para siswanya, namun masih belum terlihat tanda-tanda kedatangannya.

Ia benar-benar cemas sekaligus penasaran, apakah ia bisa menjadi juara kelas setelah semua perjuangan yang telah ia lakukan. Namun semakin ia menanti-nanti, waktu justru semakin terasa lambat.

"Letta lo mau ikut?" tanya Andini, mulanya ia menghadap ke belakang, berbincang dengan dua gadis yang duduk di belakang bangkunya.

"Ikut ke mana?" tanya Letta tanpa tahu apa-apa karena sejak tadi ia tak mendengarkan perbincangan mereka.

"Pas libur sekolah nanti, Gue, Vani sama Rea mau ke pantai, lo ikut ya!" bujuk Andini.

"Pantai?" tanya Letta sambil mengernyitkan wajahnya, "Enggak ah!" tolak Letta mutlak, ia tak begitu suka dengan pantai, ia lebih suka pergi ke daerah hijau seperti gunung dan hutan.

"Ah elo, nggak asik lo, Ta!" keluh Andini.

"Bodoamat!" ujar Letta tak peduli. Ia bangkit dari bangkunya lalu pergi ke ambang pintu kelas.

Ia menengok ke kiri dan ke kanan, belum ada satu kelas pun yang sudah memulai acara pembagian raport. Ini terasa lebih lama dari yang Letta bayangkan.

Tiba-tiba pikirannya melayang, menggambarkan sesosok pria yang sampai saat ini masih belum benar-benar pergi dari hidupnya. Dulu sebelum pembagian raport, pria itu selalu memberinya support. Katanya,"Apapun hasilnya,baik ataupun buruk kamu tetap yang paling hebat di mata aku."

Cih! Itu pasti hanya gombalannya saja. Bodohnya dulu dia begitu terbuai.

"Halooo Arimbi Letta!"

Pria yang sempat menjadi pusat lamunannya itu tiba-tiba berdiri di depannya dengan setumpuk raport di tangannya. Sontak Letta terkejut, ia berusaha mengendalikan dirinya. Ia tak ingin pria itu tahu jika ia sedang melamunkannya.

Tak lama setelah itu muncul sama wali kelas bersama siswa lain yang juga membawa setumpuk raport di tangannya.

"Ayo masuk!" ujar sang wali kelas pada Letta dan beberapa siswa lain yang masih berada di luar kelas.

Letta langsung bergegas pergi dari hadapan Juan masuk ke kelasnya. Juan dan siswa lain itu menaruh raport-raport tersebut di meja guru lalu pamit pergi.

Tak lupa, sebelum pergi Juan melirik ke arah Letta terlebih dulu dan melemparkan senyuman. Sontak seluruh pasang mata pun menatap Letta bersamaan.

Setelahnya Juan pun menghilang dari pandangannya. Namun anehnya Letta malah berpikir, bagaimana jika setelah ini ia tidak melihat Juan lagi. Apa ia aku merasa senang atau malah kehilangan?

Tiba-tiba lamunannya kembali pecah karena sang wali kelas tiba-tiba mengucapkan dalam untuk membuka acara pembagian raport itu. Seluruh siswa menjawab salamnya itu dengan penuh antusias.

Setelah beberapa kata sambutan, akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba, yaitu pengumuman rangking sepuluh besar.

"Baik, kita mulai dari rangking sepuluh dulu ya. Rangking sepuluh di kelas ini diraih oleh, Bima Asmarpio."

Tepuk tangan yang gemuruh pun ditujukan dari satu kelas untuk Bima dan rangking-rangking setelahnya.

Kini tiba saatnya mengumumkan rangking lima besar.

"Dan rangking lima diraih oleh..."

"Arimbi Letta Biani."

Tepuk tangan yang gemuruh pun Letta dapatkan dari seluruh teman sekelasnya, termasuk teman sebangkunya, Andini.

"Selamat, ya. Lo keren Ta!" ujar Andini.

Namun senyuman yang Letta pancarkan, terlihat semu, seperti terselip kekecewaan di dalamnya.

Mendapat rangking lima benar-benar diluar dugaannya. Selama ini ia sudah berjuang keras sampai ikut les ini itu tapi kenapa hanya itu hasil yang ia dapatkan. Jika tidak menjadi juara umum setidaknya ia bisa mendapat rangking pertama di kelasnya, pikirnya.

Memang persaingan di kelasnya cukup sengit, namun ia tak menyangka bahwa ia hanya bisa sampai di posisi lima teratas.

Pikirannya menjadi kalut, semua obrolan, sorakan dan teput tangan seakan senyap begitu saja di telinganya.

Ia berharap bisa mendapatkan pria hebat, lebih hebat dari Juan tapi dia sendiri payah. Mendapat peringkat pertama saja ia tak bisa. Bagaimana jika nanti cita-citanya tak tercapai? Bagaimana jika nilainya justru makin turun dan gagal lolos jalur SNMPTN?

Semua pikiran buruk menyerbu kepalanya membuatnya begitu kalang kabut.

Ia gagal, ia hancur! Pikirnya.

Itulah salah satu kelemahan Letta, saat ia gagal, ia akan sangat down dan overthinking, dan itu akan sangat merusak dirinya.

Mungkin itu juga sering dialami banyak orang, namun yang dialami Letta itu lebih buruk. Itu tak akan terjadi sebentar, hal itu akan membuatnya overthinking selama berhari-hari dan bisa membuatnya menyerah.

Maka dari itu Letta sangat benci kegagalan dan selalu berusaha keras agar tidak gagal dalam hal apapun.

Dulu ia juga pernah gagal menjadi ketua PMR saat masih duduk di bangku SMP. Ia sangat down, dan yang berhasil membuatnya untuk bangkit kembali tidak lain adalah seorang Juan Junior.

Mendadak hatinya berkata, Gue butuh elo, Kak Juan.

Bersambung...

Pamit Tapi tak PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang