Prolog: Tutup matamu dan tidurlah...

20K 1.2K 96
                                    

Katanya, sebelum dijemput ajal, seseorang akan melihat bagaimana hidupnya berkelebat...

Gambaran hidup yang tak selalu jernih; kadang buram dan berpasir, seperti halnya film yang ditembakkan dari proyektor ke kain putih.

Tapi tetap akan ada perasaan hangat di dada.

Melihat lagi bagaimana dulu ditimang dan digendong mama dan papa. Melihat diri sendiri main sepeda dan berlari bersama teman SD. Lalu waktu bergulir, berlanjut ke masa remaja... masa dewasa... menikah... dan akhir, di gerbang kematian, dikelilingi anak dan cucu yang bertangisan di samping ranjang... Penanda hidup yang panjang, tenang, dan penuh kebahagiaan.

***

Lain halnya dengan Ayu.

Di waktu-waktu terakhir hidupnya, Ayu tak melihat masa lalunya berkelebat.

Yang Ayu lihat hanya wajah almarhum suaminya.

Suaminya, yang lebih dahulu meninggal dunia. Yang selalu tabah dan rida padanya, yang ikhlas menerimanya...

Saat melihat wajah Munggar, tersenyum sembari merentangkan tangan dan menyambutnya, Ayu ingat dia berpikir: Ah... Seandainya saja perjumpaan pertama mereka tidak setragis itu.... Mungkin Munggar masih hidup sampai sekarang.

Karena Munggar yang Ayu lihat dalam mimpinya selalu sama; pemuda yang gagah dan rupawan. Seperti Munggar yang dia temui di UGD rumah sakit malam ini.

Pemuda yang menabrak ayahnya sampai meninggal...

***

Di akhir hidupnya, Ayu memimpikan air hujan naik ke langit.

Ayu melihat air sungai mengalir ke hulu.

Ayu menyaksikan waktu berputar mundur.

Lalu, dia bisa memperbaiki masa lalu.

Munggar.

Suaminya, kekasihnya...

***

Pertemuan pertama Munggar dan Ayu ditandai dengan kematian ayah Ayu.

Setelah itu, derita seakan berputar membelit mereka berdua.

Beberapa bulan setelah kematian ayahnya, Ayu hamil oleh pacarnya.

Ketika pacarnya menolak bertanggung jawab, tanpa pikir panjang Munggar meninggalkan kuliahnya yang hanya tinggal satu tahun lagi, mencari pekerjaan menggunakan ijazah SMA; demi menikahi Ayu.

Ayu tidak mencintai Munggar di awal pernikahan mereka.

Anak di rahimnya bukan anak Munggar.

Tapi itu tak menghalangi Munggar.

Tak menghalangi Dewi, ibunda Munggar, mertua Ayu untuk menjual satu-satunya rumah yang beliau miliki demi pengobatan Ayu.


Lima tahun pernikahan Munggar dan Ayu, lima tahun yang manis di tengah keras dan getirnya hidup.

 
Tapi lima tahun terasa pendek, karena Munggar mencintai Ayu, dan Ayu mencintai Munggar. Jenis cinta yang menjejak kuat di tanah, yang menyembuhkan dan memberi kekuatan. Mereka menemukan kedamaian di pelukan satu sama lain.

Hingga suatu hari, Munggar jatuh sakit... paru-parunya terinfeksi.

Penyakit Munggar bukan sesuatu yang mematikan. Tapi sulitnya hidup membuat Munggar mengabaikan batuk yang membuat punggungnya membungkuk dan tubuhnya tergerus hingga .

Munggar tetap bekerja, siang menjadi kurir, malam mejadi buruh proyek.

***

Ketika Munggar akhirnya meninggal, usianya baru 26 tahun.
Ketika Ayu menjanda, usianya baru 23 tahun.

Enam bulan setelah kematian Munggar, Ayu meninggal dalam tidurnya... ketika keesokan hari Dewi mengecek keadaan Ayu yang tak kunjung bangun pagi, badan perempuan muda itu sudah dingin. Di samping bantal Ayu, terlipat rapi tiga lembar kain batik yang enam bulan sebelumnya digunakan Dewi untuk menutup jenazah Munggar.

Dewi hanya bisa menjerit histeris sembari memeluk tubuh Ayu yang sudah tak bernyawa, mengundang kedatangan tetangga ke rumah kontrakan petak milik mereka.

***

Enam bulan sejak kehilangan Munggar, tiada waktu berlalu tanpa Ayu berkhayal dan berandai-andai; apa jadinya kalau jalan takdir Munggar tidak pernah bersilangan dengan jalan takdirnya?

Mungkin Munggar masih hidup sampai sekarang.

Mungkin Munggar akan tetap kuliah, lalu lulus dan menikahi Tabitha, teman kuliahnya...

Mungkin hidup pemuda itu akan panjang, bahagia, bermanfaat dan penuh kesan.

***

Enam bulan sejak kehilangan Munggar, kesehatan Ayu terus menurun.

Tapi Ayu tak pernah berhenti menyiksa diri.

Memikirkan hidupnya dan hidup Munggar seandainya perjumpaan pertama mereka tidak setragis itu....

Atau, kalau mau lebih tersiksa lagi, Ayu akan terus komat-kamit mengucapkan satu kalimat saja sepanjang hari. Suaranya pelan, seperti sedang menuturkan mantra, melafazkan doa, merapal kutukan...

Munggar, andai saja kita tak pernah jumpa...

Andai saja kita tak pernah jumpa...

***

Andai Kita Tak Pernah JumpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang