6. Kalau Aku Yang Disuruh Memilih (4)

4.7K 833 74
                                    

Munggar tak terlalu asing dengan wilayah Puncak, dia pernah membangun beberapa rumah peristirahatan dan hotel di kawasan ini, tapi vila milik Rafa ini jauh lebih terpencil dari tempat-tempat yang pernah didatanginya.

Munggar melihat bagaimana mobil yang dua tumpangi, mengikuti satu mobil di depan dan diiringi satu mobil di belakang, melewati gerbang besi bercat hitam yang terbuka. Hanya beberapa meter setelahnya, iring-iringan ketiga mobil itu melambat lalu berhenti di jalan beraspal halus. Sama seperti ketika di Tenang Hati, ketiga mobil ini parkir di pinggir jalan--meskipun memang jalan pribadi--dan memakan hampir separuh badan jalan.

Lando dan Ricky membuka pintu mobil, membiarkan Bestari turun duluan tanpa dibantu. Munggar menyusul Bestari, keluar dari mobil. Di tepi jalan, hanya ada padang rumput sejauh mata memandang, dengan kontur berbukit. Di area yang paling tinggi, terlihat dari tempat Munggar berdiri sekarang, berdiri kokoh sebuah bangunan dua lantai dengan kandelar di teras dan kolom-kolom marmer yang menopang.

Satu per satu penumpang dari mobil lain turun dan berkerumun, secara natural Bestari dan Munggar berada di tengah sementara yang lain mengelilingi mereka, membentuk perisai manusia. 

Andreas datang bergabung paling akhir. Melihat Bestari tak menggunakan selotip di mulutnya membuat kening pria berusia 40an tahun itu berkerut. 

Lalu Andreas memindahkan pandangannya pada Munggar, dan kerutannya makin dalam.  

"Jangan khawatir, beliau tidak punya teman, tak bisa mengadu pada siapa pun," kata Bestari saat Andreas menembus barisan yang dibuat oleh bawahannya dan kini berdiri di hadapan Bestari dan Munggar.

Andreas hanya tersenyum miring. "Lalu siapa yang tidak henti-hentinya menelepon selama dua jam belakangan ini?" Andreas mengambil ponsel dari kantung jasnya dan melemparkannya ke arah Munggar.

Refleks Munggar lumayan bagus, jadi dia bisa menangkap ponsel itu tanpa terjatuh. Munggar menatap ponselnya yang kini mati, sepertinya sengaja dimatikan agar keberadaannya tak terlacak, tapi tak ayal, Munggar sedikit tersenyum.

Entah siapa yang menelepon, mungkin Yoris, Bani, atau Raka. Tapi lumayan juga, Munggar jadi tak kehilangan muka di hadapan Andreas, yang bawahannya tampak seperti pasukan berani mati dan di hadapan Bestari, yang bawahannya begitu efisien menjalankan tugas.

Ketika Munggar mengangkat wajah dari ponselnya, Bestari sedang melihat ke arahnya dengan pandangan bertanya, dan Munggar cepat-cepat menghapus senyuman dari wajahnya.

Andreas berkata, "Bu Bestari, pertanyaan Pak Rafa masih sama. Apa yang Pak Rafa bakal tanyakan saat beliau bertemu Ibu, masih sama seperti bulan lalu dan bulan-bulan sebelumnya." Andreas menghela napas. "Boleh saya tahu bagaimana Bu Bestari akan menjawabnya?"

"Jawaban saya masih sama seperti yang lalu."

"Sayang sekali...."

Munggar memperhatikan percakapan itu dalam diam, anehnya dia tak keberatan tak dilibatkan di dalamnya. 

Mungkin begini perasaan asisten yang dibawa-bawa bos. Cukup mendengarkan, tak perlu terlibat. Paling banter disuruh bikin notulensi...

Bestari menggeleng perlahan. "Saya minta maaf... sekali lagi, tolong pahami ini bukan isu personal. Ini bukan tentang saya... begitu ada orang, siapa pun orangnya, meminta perlindungan dari Tenang Hati, kami akan memberikan sebaik-baiknya, sesuai kesanggupan. Bu Naila meminta bantuan Tenang Hati untuk melarikan diri dari rumah, memang betul. Kami punya program perlindungan yang diberikan untuk korban KDRT. Begitu satu orang memasuki program, jaringan rumah-rumah aman akan aktif dan orang tersebut akan berpindah tempat sesuai keinginannya, sepenuhnya rahasia dan tidak diketahui siapa pun, bahkan saya..."

Andai Kita Tak Pernah JumpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang