19. Aku Tetap Ingin Mencoba (3)

2.4K 519 59
                                    

Semua hal dalam hidup perlu dipertaruhkan.

Sekadar keluar rumah untuk membeli Indomie di warung tetangga, kita bertaruh kalau warungnya memang buka.

Saat akhirnya sudah ganti baju, pakai sendal, berjalan seratus meter lalu ternyata warungnya tutup... itu adalah salah satu resiko yang perlu diterima.

Tak berapa lama setelah Munggar datang, Rukmana juga datang, dan mereka berempat—Dewi, Rukmana, Munggar dan Indah—berbincang-bincang ringan.

Ketika itulah, sesuatu terbersit di benak Indah.

Tadinya Indah hanya ingin datang ke sini dengan alasan ingin berterima kasih pada Munggar, sekaligus mengecek siapa sebenarnya Munggaran Adimulia. Apakah dia benar-benar orang yang tak sengaja bertemu Bestari atau sengaja menemui Bestari dan punya maksud lain. 

Tapi kemudian, melihat perawakan dan penampilan Munggar, cara lelaki itu berinteraksi dengan orangtuanya, cara Munggar menanggapi Indah, sesuatu dalam diri Indah terbangun...

Otaknya bersiasat, dan hitung-hitungan mulai dia lakukan.

Bahkan kalau memang Munggar punya maksud lain, terus kenapa?

Setidaknya, Munggar seratus kali lebih baik dari pegawai Tenang Hati yang sungguh-sungguh tak mau berurusan lagi dengan Indah dan menutup akses pada Bestari.

Indah menatap ke tiga orang di hadapannya, terutama pada Munggar dan Dewi. 

Indah merasa seperti induk burung kukut yang mengintai sarang burung lain, untuk memastikan apakah sarang yang ini aman untuk dititipi telurnya.

Pada akhirnya Indah memutuskan bertaruh sekali lagi, atas nama dan nyawa Bestari.

Gu Xiang adalah pertaruhan pertama Indah. Pertaruhan yang sudah di ambang kekalahan, ditebus dengan harga yang amat mahal.

"Nak Munggar?" Indah berhenti melamun dan memanggil Munggar, suaranya lebih keras dari suara Rukmana dan Dewi yang sedang mengobrol.

Munggar yang sedang duduk bersandar di kursi mendengarkan orangtuanya bicara, menoleh ke arah Indah. 

Munggar hanya mentap Indah datar sebelum balik menjawab, "Ya?" tanya Munggar.

Rukmana dan Dewi ikut menoleh ke arah Indah.

Indah ke mengedarkan pandangannya ke tiga orang itu, sebelum mengunci tatapannya pada Munggar. "Boleh saya panggil seperti itu? Boleh saya panggil Nak Munggar? Atau Munggar saja?"

Munggar menatap Indah tanpa berkedip, kali ini Dewi dan Rukmana menatap Munggar, ikutan menanti jawaban lelaki itu.

Munggar mengangguk sekali. "Tentu, panggil mana saja boleh..."

Indah memaksakan diri tersenyum. Membenahi posisi duduknya, dan mengusap bagian depan blusnya. Bros berlian yang tersemat di bagian kiri dadanya berkilau terkena lampu ruang tamu.

"Sebenarnya, tujuan utama saya menemui Munggar, karena saya mau berterima kasih... Saya dengar Munggar menemani anak saya saat dia kumat tempo hari..."

Indah sengaja menggunakan 'anak saya' untuk menekankan bahwa ini urusan keluarga, menekankan kalau dia datang ke sini karena Bestari adalah anaknya, bukan karena Bestari adalah Bestari yang itu.

Rukmana menoleh ke arah Munggar sementara Dewi menatap Indah dengan kaget. "Kumat kenapa, Bu Indah? Bu Bestari sakit apa?"

Indah menarik napas panjang. Berkata jujur tidak pernah mudah kalau menyangkut soal Bestari. Indah sudah terlalu lama menyangkal soal keadaan anak keduanya itu. Tapi rasanya untuk kali ini Indah tidak punya pilihan lain selain berkata jujur.

Andai Kita Tak Pernah JumpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang