Pulang dari Karawang, tadinya Lando dan Ricky bersikeras mengantarkan kembali Munggar dan Bestari ke Jakarta. Tapi baik Munggar maupun Bestari sama-sama bersepakat untuk menolaknya.
Alasan pertama, karena Lando dan Ricky terlihat kecapekan, mata mereka merah dan bengkak. Entah sudah berapa lama mereka terjaga. Entah berapa lama mereka menunggui Rafa sebelum pria itu akhirnya berpulang.
Sementara alasan yang kedua...
"Di sini tidak ada wartawan, jadi tidak apa-apa kalau aku hanya berdua saja pulang bersama Pak Munggar..." kata Bestari, saat Lando dan Ricky, serta dia dan Munggar berpisah di lapangan parkir pemakaman yang luas itu.
Parkiran masih sepi karena Bestari pulang duluan segera setelah dia diberi kesempatan tabur bunga bersama keluarga Rafa.
Tadinya Munggar tidak berkata apa-apa, tapi setelah setengah jam diam saja sambil menyetir, Munggar berkata, "Jadi karena itu..." gumam Munggar pelan.
Bestari duduk di kabin penumpang depan, di sisi Munggar, sesuatu yang jarang dia lakukan karena biasanya dia selalu di kursi penumpang baris kedua.
Badannya terikat seatbealt, dan tadi sebelum memulai perjalanan, Munggar memiringkan sandaran kursi yang diduduki Bestari hingga sekarang Bestari bisa setengah berbaring dengan nyaman.
Bestari menoleh ke arah Munggar. "Apa?"
"Kamu tidak mau kepergok wartawan hanya berduaan denganku di dalam mobil..."
Bestari kembali menghadap ke depan. "Lebih baik begitu. Dengan wartawan, segalanya akan lebih rumit karena jangkauannya makin luas... aku tak ingin ada pergunjingan."
"Bukan itu maksudku," kata Munggar.
"Lalu apa maksudmu?" tanya Bestari, dengan suara pelan yang sama.
Munggar menggeleng. "Aku baru tahu alasan itu saat kamu bilang ke Lando dan Ricky tadi.... sebelumnya, aku bahkan sama sekali tidak menyadari kalau wartawan merupakan salah satu hal yang kamu khawatirkan..."
Bestari tertawa bingung. "Apa sih masalahmu?"
Bestari tidak terlalu menyukai konflik dan Munggar mengonfrontasinya begini membuatnya sedikit kesal. Bestari tidak terbiasa mendengar opininya dibantah atau pilihannya disalahkan, dan barusan Munggar melakukan semua yang membuat Bestari tidak nyaman, memborongnya sekaligus.
"Masalahnya adalah... kita baru saja menghadiri pemakaman Pak Rafa. Kalau kamu mau melihat contoh bagaimana komunikasi yang buruk bisa berakhir bencana, kamu sudah melihatnya...."
Bestari menoleh. "Maksudnya apa?
"Bu Naila mengira dia tahu yang terbaik untuk pernikahannya," kata Munggar. "Kamu mengira aku tidak peduli pada perasaanmu. Kamu tidak bilang kalau kamu khawatir soal wartawan dan entah apa lagi yang kamu khawatirkan... sudah bisa melihat persamaannya?"
Bestari berusaha keras membuat wajahnya sedatar mungkin. "Kamu takut aku akan membuatmu bernasib sial?"
"Hei," protes Munggar. "Aku tidak bilang begitu. Aku cuma ingin kamu lebih terbuka. Aku ingin aku bisa memahami alasan di balik pengambilan keputusanmu..."
Bestari menghela napas, dia memejamkan mata.
"Kamu tak akan suka mendengarnya..." bisik Bestari pelan.
"Kamu kurang keras ngomongnya, aku nggak bisa dengar..." tegur Munggar.
Mata Bestari membelalak terbuka. Dia lupa kapan terakhir kali ada yang serewel ini terhadapnya. Bahkan ibunya pun memperlakukan Bestari dengan campuran segan dan takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Kita Tak Pernah Jumpa
RomanceBestari punya banyak keinginan, yang hampir seluruhnya sudah tercapai. Keinginan Bestari yang terakhir sekaligus yang paling penting, tinggal satu; dia berharap, dia tidak akan pernah lagi bertemu Munggar. Start: 11 Mei 2022 Finished: 13 Juli...