12. Dari Aku, Yang Selalu Mengingatmu (1)

3.8K 583 75
                                    

"Apa yang sebenarnya dilakukan Guxiang?"

Armin mengangkat kepala dari ponsenya, menatap Munggar. "Hah? Apa?"

"Apanya yang apa?" Munggar bertanya balik.

Mereka sedang berada dalam taksi Silver Bird, sebuah Mercedes hitam, yang berjalan perlahan menembus ramainya jalanan Jakarta Pusat, menuju ke salah satu hotel bintang lima tempat berlangsungnya acara malam amal yang diadakan asosiasi profesi mereka.

Baik Armin maupun Munggar tak ada yang bersedia menyetir mobil, bagaimana pun mereka bos di firma masing-masing. Mengemudi akan membuat mereka kehilangan waktu untuk membalas kalau-kalau ada pesan urgent dari klien atau pegawai masing-masing.

Tapi membawa dua mobil dan supir terasa berlebihan dan membuang-buang space jalanan. Juga, mereka jadi tidak punya kesempatan untuk mengobrol santai. Jadilah mereka memutuskan untuk sharing taksi. Munggar dijemput duluan, baru kemudian Armin, lalu mereka berdua pergi ke tempat tujuan.

"Aku cuma tidak mengira kamu akan membahas soal Gu Xiang," kata Armin, dia menutup ponselnya dan memasukkanna kembali ke kantong jas. "Kamu bahkan nggak pernah bicara soal Memoria."

"Apa maksudmu, tentu saja aku pernah bicara soal Memoria..." Munggar merasakan ponselnya bergetar dan dia mengambil ponsel dari kantung jas, mengecek pesan yang masuk. "Aku pernah bikin dua kantor cabang mereka di Bekasi dan Pluit," jawab Munggar, sembari jarinya bergerak cepat membalas e-mail.

"Ya, ya, kamu bicara soal mereka sebagai klien, bukan soal etika medis, implikasi moral--"

"Tolong pakai bahasa yang sederhana, aku pusing kalau kamu pakai bahasa sosio humaniora gitu..."

"Waduh si paling sains..," ledek Armin. "Bukannya pas kuliah dulu kamu malah dapet A di mata kuliah Etika?"

Ponsel Armin berdering dan lelaki itu lalu mengangkatnya. Munggar menunggu sampai Armin selesai bicara di telepon dan menutup panggilan, sebelum lelaki itu menjawab, "Samar-samar kayaknya pernah dengar sih... Kita dapat ya?"

"Kemutlakan Suara Hati? Rasionalisasi Kesadaran Moral? Mengambil Keputusan Secara Wajar? Etika Situasi Lawan Etika Peraturan? Relativisme Moral? Lupa semua? Yang mana sains mana humaniora, kenapa harus dipisah... kan gedung yang kita bangun juga buat dipake manusia, bukan dedemit."

"Min, asli kamu tuh suka melebar topiknya..." kata Munggar keki. "Sekarang coba aku sampe lupa tadi nanya apa ke kamu, kok kita jadi bahas mata kuliah gini jadinya..."

"Kamu nanya apa yang sebenarnya dilakukan Guxiang," Armin mengingatkan, lalu menjawab, "Sebenarnya kurang jelas lah... lagian nggak seperti Memoria yang pengguna jasanya banyak, kayak, dari mulai saudara sampai karyawan aku tuh ada aja yang ikutan Prosedur pas weekend. Apalagi kalau orangnya zodiak Taurus, demen banget pasti dikit-dikit ikut Prosedur."

Munggar mengernyitkan dahi. "Emang iya? Kalau Taurus dikit-dikit ikut Prosedur?"

Armin mengangkat alis. "Jiah, Taurus ya?" tanyanya pada Munggar.

"Iya, Taurus... tapi cuma pernah dua kali doang ikut Prosedur kayaknya, setahu aku."

"Kenapa tuh?" tanya Armin.

"Ya namanya juga ikut Prosedur Memoria... lupa lah! Kalau ingat gunanya apa?"

Armin menyeringai. Sebenarnya dia tahu Munggar memang dua kali ikut Prosedur, serta alasan-alasan mengapa Munggar ikut Prosedur.

Yang pertama karena dipaksa bawahan di kantornya, mereka ingin bikin acara nobar film The Sixth Sense sehingga semua orang di kantor mereka mengadakan Prosedur party. Kantor Munggar mengambil paket Korporat dan semua orang di kantor mereka menghapus ingatan soal film The Sixth Sense.

Andai Kita Tak Pernah JumpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang