11. Tentang Hal-hal Yang Tak Pernah Terjadi

3.7K 693 146
                                    

Munggar bisa merasakan kenyerian luar biasa di tiap tarikan napasnya.

Area bawah rusuknya menekuk dalam-dalam, napasnya berbunyi nyaring.

Dari ujung rambut sampai ujung kakinya, setiap serat tubuhnya terasa meregang kesakitan.

Mungkin sudah banyak orang yang menyerah jauh sebelum mencapai titik ini... titik ketika hidup sudah amat menyakitkan, hingga mati terasa jalan keluar yang manis dan empuk...

Tapi Munggar bertahan sekuat tenaga.

Siapa tahu....

Siapa tahu, hari ini dia enakan...

Siapa tahu, dia bisa sembuh lagi.

Dengan ujung jemari, Munggar menyentuh sedikit tangan Dewi yang sedang terkulai di samping ranjangnya. 

Semalaman Dewi menemani Ayu mengurusi Munggar, tak heran siang begini dia terkantuk-kantuk. Ayu malah harus pergi subuh-subuh. 

Sejak Munggar tidak bisa lagi bekerja, gantian Ayu yang jadi tulang punggung keluarga, bekerja jadi tenaga lepas salah satu katering makan siang untuk pabrik dekat rumah mereka. 

Ayu sengaja hanya jadi tenaga kerja lepas, karena ada hari-hari ketika Ayu harus mengantar Munggar ke rumah sakit dan butuh waktu seharian dari mulai daftar hingga mengantre obat. 

Tapi belakangan ini, sudah hampir tiga minggu mereka tidak ke rumah sakit. 

***

Ada penyakit baru yang sedang mewabah, katanya, membuat jumlah pengunjung rumah sakit dibatasi dengan sangat drastis. 

Mereka tidak punya TV, dan ponsel ber-Internet hanya dimiliki Ayu. Ponsel milik Munggar sudah dijual, laku tiga ratus ribu. Tapi kalau pun punya, Munggar juga terlalu lemah untuk menggunakannya. Ponsel Ayu jadi satu-satunya jendela untuk melihat dunia luar. 

Kadang, saat istri dan ibunya mengira Munggar sudah tidur, mereka menonton berita bersama dari situs video yang menyiarkan ulang siaran berita TV.

Dengan kepala saling berdekatan, Dewi dan Ayu menonton dari layar ponsel kecil, dan berdiskusi dengan suara setengah berbisik.

"Tuh, kan Mah... apa tuh istilahnya, silent victim... Memang yang sakit karena wabah ini lagi jadi prioritas, soalnya menular dan perburukannya cepat sekali... emang bikin orang sehat jadi sakit kan bahaya," kata Ayu, setelah mereka selesai nonton video. "Tapi masalahnya yang kudu periksa rutin kayak diabetes juga susah banget sekarang. Apalagi penyakit paru-paru kayak Aa gini dokter-dokternya lagi repot semua. Ayu udah coba berapa kali bilang ke resepsionis rumah sakit minta Aa didahuluin, soalnya antibiotik Aa kan dosis tinggi tapi udah lama kosong. Ayu takut kalau Aa kenapa-kenapa soalnya sekarang kayak duduk aja udah capek banget..."

"Beneran nggak bisa didahuluin ya?" Suara Dewi bergetar penuh kekhawatiran.

Ayu terdengar lebih tegar, meski kepahitan bercampur kemarahan terdengar juga ketika dia berkata, "Iya, Ayu lagi cobain terus. Doain ya Mah semoga Aa bisa cepat dapat giliran berobat."

Di ranjangnya, tempat Munggar pura-pura tidur, lelaki itu sekuat tenaga menahan tangis.

"Aminnnn, aminnnn...." kata Dewi cepat.

"Sebelum ke rumah sakit, Ayu harus cari duit juga buat beli masker. Harganya udah gila banget sekarang, padahal dua bulan lalu sebelum ini cum a25 ribu satu bokx, sekarang udah 500 ribu aja lho..."

"Pakai masker kain bisa belum sih Yu? Kan kalau bisa kita jahit sendiri."

"Kemarin-kemarin katanya belum bisa soalnya belum ada keputusan dari pemerintah, jadi baru boleh masker medis aja."

Andai Kita Tak Pernah JumpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang