14. Dari Aku, Yang Selalu Mengingatmu (3)

3.3K 577 55
                                    

Setelah mereka hanya tinggal berdua di dalam lift, Bestari mengulurkan tangan kanannya dan mencengkeram dinding lift, menumpukan berat tubuhnya di dinding. Urat kebiruanterlihat menonjol di punggung tangannya yang putih pucat dan kurus. Tangan kiri Bestari mengepal di dada, lalu memukul-mukul dadanya pelan.

Ribka hanya bisa melihat saja. Perasaan tak berdaya merambati Ribka, bahkan meski Bestari memunggunginya dia bisa melihat punggung Bestari yang kaku menahan sakit.

Tak heran Bestari selalu berusaha tak menampakkan kelemahannya; dia selalu berdiri tegak dan menatap ke depan lurus-lurus, berjalan dengan mantap meski pelan. Perasaan ini sangat traumatis; ketidakberdayaan seperti melihat nenek kita sakit atau melihat ibu kita menangis dan kita tak bisa melakukan apa-apa selain menggigit bibir dan merasa ketakutan dalam hati.

Ternyata orang-orang terkuat yang kita kenal, bisa menangis dan merasakan sakit... sangat mengerikan...

Ribka lalu mendongak ke sudut atas lift, tempat kamera CCTV lift biasa dipasang. Ribka tidak tahu apa yang dilihat operatir CCTV itu, tapi semoga mereka hanya mengira Bestari merasa mual atau sakit ringan lainnya.

"Ribka," panggil Bestari pelan. "Bawa minum tidak."

Ribka sudah menunggu-nunggu saat ini, saat dia bisa berguna buat Bestari. Maka dengan sigap dia membuka tas yang dia sampirkan di bahu, dan mengambil botol minum yang belum dibuka.

"Ini Bu," kata Bestari, menyerahkan botol minum di ke samping tubuh Bestari.

Bestari menghela napas, dan mengambil botol minum itu dari tangan Ribka. Kini Bestari balik badan, dan menghadap Ribka, lalu menyandarkan punggungnya di dinding. Bestari lantas mengambil wadah plastik bertutup, mengambil sebutir pil di dalamnya, dan memasukkannya ke mulut, sebelum meneguk air minum dari dalam botol.

"Trims, Ribka..." Bestari kembali mengangsurkan botol minum itu.

Ribka mengambilnya, dan kembali memasukkannya ke dalam tas. "Sama-sama Bu."

Ribka memperhatikan Bestari, yang kini masih bersandar di dinding lift, kedua tangan bestari ada di sisi tubuhnya, tak lagi terkepal menahan sakit seperti tadil.

Warna berangsur kembali ke wajah Bestari. Kalau tadi pucatnya hampir mirip seperti kelabu, bahkan bedak yang terpulas di wajah Bestari pun tidak bisa menyembunyikan pias perempuan itu.

Kali ini, raut muka Bestari terlihat membaik, meki demikian, kantung mata membengkak dan kelelehan tergurat jelas.

Sudah belasan kali Ribka melihat Bestari sakit mendadak seperti ini, tapi ini baru kedua kalinya Bestari minum pil darurat semacam itu.

Tiap kali melihat Bestari, mendengar soal Rafael Wijaya... Ribka masih tidak habis pikir mengapa Gu Xiang masih legal dan boleh dioperasi. Ketika efek samping pengobatan klinik itu begitu bengis sampai butuh obat penawar dari klinik yang sama untuk meredakan gejalanya, apa bedanya dengan narkotika?

Entah kalau Rafael, yang memang dengan keinginannya sendiri pergi ke Gu Xiang dengan aneka paket kesehatannya yang aneh-aneh itu... Langkah Terakhir, lah. Kehidupan Baru, lah. Mimpi Musim Gugur, lah.

Tapi bagaimana pertanggungjawaban mereka pada Bestari, yang jelas-jelas bukan keinginannya sendiri jadi pasien Gu Xiang? Bagaiama assesmen mereka terhadap calon pasien dan kebohongan apa yang diucapkan keluarga Bestari sampai mereka mau memberi tindakan pada Bestari?

Kekesalan Ribka seketika mereda saat dilihatnya Bestari membuka mata. "Sudah enakan, Bu?"

Bestari behenti bersandar dan kembali berdiri tegak, sembari melirik ke panel yang menunjukkan lantai yang mereka lewati. "Mending," kata Bestari.

Andai Kita Tak Pernah JumpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang