30. Ingin Kembali Tidur dan Memimpikanmu (6)

2.2K 476 36
                                    

Pukul delapan malam, Wira turun ke lantai satu rumahnya, dan mendapati seluruh ruangan terang benderang.

Wira, yang sebelumnya hanya bermaksud mencari kucingnya untuk diajak naik ke kamar, jadi terpaku sejenak, sebelum memutar pandangan ke seluruh ruangan.

Di ruang tengah yang luas, TV layar lebar yang biasanya tidak pernah menyala, menampakkan segmen wawancara di studio antara dua orang, volumenya tidak terlalu terdengar.

Ibunya sedang duduk di sofa--Wira hanya bisa melihat bagian belakang kepalanya--dan kelihatannya sedang menonton acara itu.

Wira berjalan mendekati sofa. "Bu?" panggil Wira.

Hanya ada Wira, Indah dan beberapa ART di rumah ini. Lanang lebih sering tinggal di apartemen miliknya. Tapi Indah biasanya selalu punya pekerjaan lain dan melihat TV bukanlah salah satu yang biasa dilakukan Indah.

Indah menoleh. Perempuan itu sedang mengenakan kacamata. "Wir..." kata Indah.

Wira berdiri di belakang sofa dan ikut menonton TV, sembari melipat kedua tangannya di dada.

Segmen wawancara itu kemudian berganti dengan berita, dan Wira jadi paham kenapa Indah menonton TV malam ini.

Judul potongan berita itu terdengar mencekam, tapi sebenarnya tidak mencekam-mencekam amat.

Satu Lagi Kematian Diduka karena Pengobatan Gu Xiang.

Itu setara dengan, Satu Lagi Kematian Karena Operasi Pemancungan Hidung.

Keduanya merupakan tindakan medis elektif, sukarela, membutuhkan uang banyak, dan hanya orang tertentu yang berniat untuk melakukannya. 

Sepenuhnya bukan merupakan ancaman publik. 

Tapi dunia sedang aman dan tenteram. Tidak ada resesi, tidak ada wabah, dan setelah Memoria bertahun-tahun beroperasi dengan mulus dan tanpa insiden.... mengikuti soal permasalahan Gu Xiang terasa menarik. 

Menarik, kalau tidak ada orang yang dikenal yang ikut pengobatan Gu Xiang. 

Kalau ada kenalan atau keluarga yang merupakan pasien Gu Xiang, tentu rasanya jadi penuh siksaan dan mencekam.

"Sudah yang ketiga pasien Gu Xiang tahun ini..." kata Indah, tidak pada siapa-siapa. Matanya lekat menatap TV.

"Dan sekarang baru bulan April," komentar Wira, dia juga tak berkedip menonton berita.

Kini layar TV menampilkan rekaman siaran ulang liputan berita tadi siang. Seorang reporter melakukan wawancara dengan latar belakang sebuah rumah megah dan bunga-bunga papan dukacita yang berbaris memenuhi pagarnya. 

"Itu Mbak Ayu?" tunjuk Wira, ke arah layar. 

Di seberang jalan reporter itu berdiri, empat orang berjalan pelan, berbaris dua-dua. 

Dua lelaki berjas hitam dan berkacamata hitam berjalan di depan dengan wajah serius.

Beberapa langkah di belakangnya, seorang lelaki berkemeja warna biru kelasi dan celana hitam berjalan di samping satu perempuan berbaju kurung hitam yang rambutnya disanggul rendah di tengkuk dan berkerudung syal brokat.

Ketika jalan di depan mereka menyempit karena sedikit aspalnya terkelupas, lelaki itu mundur dan membiarkan perempuan berbaju kurung maju duluan hingga perempuan itu tetap bisa berjalan dengan memutari kelupasan aspal di jalan.

Setelah itu, sang lelaki kembali menjajari langkah perempuan itu.

"Bu, itu Mbak Ayu?" tanya Wira lagi, dia tidak pernah melihat kakak perempuannya itu dengan lelaki seperti ini sebelumnya, jadi Wira hampir tidak mempercayai penglihatannya.

Andai Kita Tak Pernah JumpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang