Meninggalkan Anjumi yang belum selesai dengan paragraf-paragraf pada bab terakhir buku harian Leona dan beralih ke si pemilik buku yang sedang kacau. Ia sibuk mencari buku hariannya -yang sekarang berada di rumah Anjumi, tentunya- yang memang sudah lama tak disambanginya, bahkan sebenarnya sempat terlintas untuk membuangnya.
Pakaian-pakaian yang sebelumnya terlipat dan tertata rapi di lemari berpintu dua yang masing-masing pintunya terdiri atas tiga saf kini harus rela dipajang di atas kasur oleh empunya sendiri, untungnya bentuk dari pakaian-pakaian tersebut masih berupa tumpukan rapi. Sayangnya setelah mengeluarkan seluruh pakaian dari lemarinya Leona tidak menemukan buku apapun kecuali binder yang berisi target pencapaian hidupnya -yang selalu ia taruh di belakang tumpukan baju saf paling atas, pintu bagian kanan.
Tidak mau menyerah secepat itu, Leona mengeluarkan kardus-kardus yang ada di kolong ranjang tidurnya. Kardus-kardus itu seluruhnya berisi koleksi buku pengetahuan umum miliknya, kecuali beberapa buku coretan bersifat semi rahasia yang jumlahnya tak lebih dari sepuluh yang memang sengaja ia tempatkan di sana agar tidak dibaca oleh siapapun. Itu lah mengapa ia berniat untuk membongkar seluruh kardus, barangkali buku harian -bersifat semi rahasia- yang ia cari ada di sana. Oh ya, perihal buku-buku itu, bukannya Leona tidak menghargai buku sehingga menempatkan di sana, melainkan tidak ada ruang lagi di rumahnya, setidaknya Leona sangat selektif memilih buku yang masih bisa ditolerir jika dimasukkan di kardus lalu ditaruh di kolong ranjang tidur.
Dalam hitungan kurang dari lima menit saja seluruh kardus telah berhasil dibongkarnya tetapi buku yang ia cari belum ditemukan, -tentu saja karena buku itu digondol oleh kakak iparnya. Ia marah pada dirinya sendiri.
“Hiiiiiiih. Aku tidak ingat sama sekaliiiii.... Di mana buku itu?”
Leona mengacak-acak rambutnya. Saat di dalam rumah sesekali ia memang tidak memakai kerudung.
Leona tak kehilangan akal, ia mengambil hp nya lalu menyalakan senter. Ia mencoba mencari di celah antara lemari pakaian dengan dinding.
“Pasti terselip di belakang lemari. Ayo Leona, kamu harus menemukannya, semangat!”
“Ohoo.. Apa itu?”
Ada sesuatu di belakang lemari.
“Ayo Leona, ada apa dengan matamu, kenapa kabur sekali? Sudah melotot tapi tidak terdeteksi.”
“Leona! Nak, ini ada telfon!”
“Temanku yang mana ini yang nelpon ke nomor ibu, aku kan punya nomor pribadi sih, kenapa sih harus se-repot itu,” Leona menggerutu.
“Iya Bu, sebentar.”
Leona meninggalkan aktivitasnya. Baru saja mau beranjak keluar kamar ibu sudah ada di ambang pintu.
“Mungkin paket internetnya habis," Ibu menimpali orang di sebrang lalu menyerahkan hp ke Leona.
‘Oh iya ya aku kan tidak punya pulsa internet, pantas saja ia menelpon lewat nomor Ibu,' batin Leona.
‘Tapi kalau dipikir-pikir temanku mana mungkin punya nomor ibu,' batin Leona sambil mengingat-ingat apakah ia memiliki teman yang menyimpan nomor ibu.
“Siapa Bu?”
Percayalah ini hanya basa-basi, sebab Ibu belum menjawab Leona sudah langsung bertanya pada orang yang menelponnya, “halo, siapa?”
“Kamu berangkat ke kampus dengan siapa? Sama—"
Spontan Leona menjauhkan hp dari telinganya sebab familiar dengan suara orang di sebrang, orang yang sebisa mungkin ia hindari. Mari hitung mundur untuk Leona protes kepada sang ibu.
“Kenapa Ibu tidak bilang?”
Leona berbisik pada telinga ibunya.
“Kenapa sih kamu menghindar darinya, itu kan saudara ipar mu, teman SMA mu juga.”
Mantan pujaan hati juga, ibu melupakan hal itu. Ibu memang kurang memahami betapa sulit bagi Leona melupakan orang di sebrang sebagai orang yang pernah ia sukai.
“Leona!” seru orang di sebrang.
“Oh ya Wis. Apa? Ulangi perkataan mu dong, sinyalnya tadi jelek.”
Mendengar itu ibu tersenyum melecehkan, pasalnya hal seperti itu hanya akan terjadi pada orang yang jatuh suka bukan? Sinyal jelek dari mana, ibu yang tidak memegang hp saja mendengar suara orang di sebrang dengan jelas.
“Oh iya ya, kamu pernah suka sama Jawwis ya, pantas malas berhubungan dengan Jawwis.”
Leona menaruh jari telunjuk kanannya di depan mulut. Orang di sebrang dengar atau tidak kalimat ibunya itu bukanlah masalah besar, toh orang di sebrang pun telah mengetahui nya, yang terpenting adalah ibu tidak lanjut bicara, salah-salah ibu membongkar hal-hal yang tidak boleh diketahui orang di sebrang. Ibu pun memilih untuk sepakat. Dari pada harus sulit-sulit menahan diri dari mengganggu anak perempuan nya ibu lebih memilih untuk meninggalkan kamar ini.
“Besok aku jemput ya?” ucap orang di sebrang.
“Mau ke mana?”
“Ke kampus.”
“Kampus?”
Entah mengapa Leona jadi se-bingung ini.
“Iya. Gimana? Aku jemput ya?”
Leona tidak langsung menjawab. Orang di sebrang pun tidak langsung menyerang dengan soal yang sama sebab takut merusak suasana hati Leona.
Tiga puluh detik berlalu tanpa suara. Orang yang di sebrang entah terlalu sabar atau apa masih setia menunggu jawaban Leona. Sementara Leona, entah sepenuh apa isi otaknya sampai-sampai sulit sekali menjawab pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban rupa setuju atau penolakan beserta permintaan maaf.
“Leona! Telponan nya masih lama? "
Ibu kembali masuk ke kamar Leona.
“Tuh sampai hp nya mau diambil ibu kamu belum jawab. Gimana?”
“Aku japri pakai nomorku ya. Da. Wassalamu'alaikum."
Leona segera memutus telpon tanpa persetujuan orang di sebrang, bahkan tanpa menunggu orang di sebrang menjawab salam. Leona segera menyerahkan hp ke pemiliknya, ibunya sendiri. Selepas ibu meninggalkan kamar Leona segera kembali ke misinya, mencari buku harian. Bagaimana dengan janjinya jawab pribadi dengan nomornya? Ia saja tidak pulsa internet.
“Bodoh amat, Jawwis besok pasti jemput pakai motor, mana boleh aku naik di jok belakang motor laki-laki. Maaf ya Jawwis, tukang pulsa jauh dari rumah, dari pada ke sana demi sekedar menyampaikan penolakan lebih baik lanjut mencari buku ku.”
Leona kembali menyalakan senter hp nya lalu mengarahkan ke cela antara lemari dengan dinding. Leona kembali sibuk mencari buku hariannya yang lebih mirip novel yang belum rampung.
Hal ini sebenarnya merupakan bukti bahwa Leona tidak benar-benar tidak peduli terhadap Jawwis lagi. Hal ini sebenarnya juga merupakan bukti bahwa ia masih menyukai Jawwis, atau mungkin cinta. Di dalam bukunya itu memang menceritakan masa SMA nya, tetapi jangan lupa siapa tokoh laki-laki yang di sorot di sana, si tukang pukul nomor satu SMA Namaterang, Jawwis. Apa artinya ia mencari buku itu kalau bukan masih menyimpan rasa untuk Jawwis.
Seseorang bisa memilih untuk mengakhiri suatu paragraf lalu menuliskan paragraf baru, tetapi rasanya tidak mungkin kalau paragraf baru itu sama sekali tidak berkaitan dengan paragraf sebelumnya.
Itu adalah kalimat dari Jawwis untuk Leona di hari pernikahan Leonel dengan Anjumi. Tepatnya kalimat itu dilontarkan Jawwis kepada Leona saat Leona memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan Jawwis.
“Kita harus saling menjauh!”
Secara tiba-tiba Leona ingat akan ucapannya ke pada Jawwis beberapa menit setelah akad pernikahan Leonel dengan Anjumi dilangsungkan.
“Jawwis, kita harus saling menjauh! Jangan menjemput ku besok, ku mohon!” pinta Leona entah pada siapa, angin tidak bisa menyampaikan pinta itu pada Jawwis bukan?
“Aku akan menghubungi nya untuk menolak ajakannya. Tetapi setelah buku ku ketemu. Buku, di mana kamu?”
![](https://img.wattpad.com/cover/295579499-288-k431478.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan Berarti) Ia Takluk Oleh Hujan
Teen FictionKita akan mengerti setelah membaca semua. Bukan, membaca bukan hanya tentang sesuatu yang tersurat, kita harus membaca sesuatu yang tersirat pula. Bahkan selayaknya mencari tahu tentang yang samar agar pemahaman kita tentang suatu kisah menjadi semp...