Malam sudah mengambil ancang-ancang, berada di belakang panggung, menunggu sore berpamitan pada segenap warga Surabaya. Sang sore malah masih ingin lama-lama, masih ingin berlagu di panggung Surabaya. Omong-omong soal sore yang berlagu -hari ini dan hari-hari yang lalu, atau hari yang akan datang jika masih ada- lagu yang dibawakan sore akan terdengar berbeda bagi setiap orang -baik lagu sore hari-hari lalu, lagu sore hari ini, lagu sore hari-hari mendatang-. Ada yang mendengar lagu sore kali ini sebagai lagu pelepas penat, ada yang mendengarnya sebagai lagu kedamaian, lantunan harapan, musik nostalgia, dan lagu tentang berjuta perasaan lainnya. Bagi Leona dan Anjumi lagu sore kali ini ber-ruh-kan kecemasan.
Leona dan Anjumi duduk di teras rumah. Menunggu dua orang yang sama, Jawwis dan Leonel. Leona lebih pandai menutupi kecemasan, ia men-scroll salah satu platfrom media sosial.
"Atau kita susul saja?"
Setelah lama sekali sepakat menunggu, Anjumi memberi opsi baru.
"Eh, gimana, Kak?"
"Kita susul! Gimana?"
Leona cukup lama menimbang.
"Leona!"
"Ke mana tapi, Kak?"
"Kita cari Jawwis di rumah sakit, atau.. atau kita ke rumah dokternya saja? Iya ya, ke rumah dokternya langsung aja, gimana?"
Leona cengo. Dari pada segera berkomentar, Leona lebih memilih menunggu kalimat penjelas. Anjumi adalah orang yang berbicara setelah pertimbangan, jadi idenya tadi pasti bukan sekedar bicara.
"Dokter yang menangani Jawwis itu temanku. Mereka cukup akrab. Barang kali mereka mengobrol seputar kondisi Jawwis di rumahnya dengan suasana yang lebih akrab, lebih bersahabat. Masuk akal, kan?"
"Kalau dipikir-pikir bisa jadi, sih. Kan Jawwis berangkat pagi-pagi betul, seharusnya ia sudah pulang," Leona berkomentar.
"Jawwis itu kalau masalah disuruh istirahat karena sakit, atau cedera waktu main bola, pasti manut. Dia gak mau sakit lama-lama. Jadi gak mungkin dia kelayapan. Pasti dia ke rumah dokter. Jadi sepakat kan ini? Kita susul Jawwis ke sana?
"Tempatnya dekat kok, Leona. Setelah susul Jawwis kita ke rumah makan, susul Abangmu!"
"Rumah makannya yang jauh, Kak. Kalau soal Bang Leonel jangan terlalu khawatir, emang biasanya pulang petang, kan? Sebentar lagi pasti sampai."
Ah, Leona, pandai menutupi kecemasan. Leona memang sudah menemukan kemungkinan terbaik tentang keberadaan dan kondisi Jawwis, sementara Leonel, Leona sama sekali tidak punya gambaran tentang keberadaannya sekarang, hanya tahu kondisinya yang pasti sedang tidak baik-baik saja.
"Tapi perasaan Kakak, ah, semoga kamu benar."
"Aku coba telpon lagi ya Kak! Barangkali Jawwis atau Bang Leonel angkat."
Leona mencari kontak Jawwis dari pesan yang ia arsipkan. Masuk profil kontak Jawwis, menekan ikon telpon.
"Yeah, Jawwis online, Kak!"
Berdering.
"Semoga diangkat, ya!"
Tersambung.
"Diangkat!" seru Leona girang.
"Assalammualaikum."
Bersamaan Jawwis mengucap salam, sebuah mobil merapat ke gerbang rumah. Sang pengemudi menekan klakson. Satpam pun membuka gerbang.
"Waalaikumsalam, Wis.
"Eh, Kak! Itu Bang Leonel datang!"
Dua obat kecemasan.
Anjumi sempurna berbunga, tetapi tidak dengan Leona. Sampai detik ini hanya Leona yang mengerti masalah yang baru saja menimpa Leonel.
"Kalau tidak ada yang dibicarakan aku tutup, nih!" Seru Jawwis tidak sabaran menunggu.
"Eh eh, bentar! Tapi aku mau ngomong apa, ya? Kak, ini Jawwis, nya!"
"Ngomong aja Leona, jangan malu-malu." Jawwis kumat.
"Ih, apaan? Kak, ini Jawwis!"
Leona menyerahkan hp ke Anjumi. Leona reflek berjalan menuju Abangnya, Leonel, menyambutnya. Dasar tidak tahu diri, bisa-bisanya nyerobot Anjumi selaku istri.
"Oh ya udah, Wis, cuma mastiin kamu aman. Kamu hati-hati, ya!"
"Ok, aku matiin dulu deh, Kak!"
Anjumi manggut-manggut meski tidak ada artinya. Ini panggilan biasa, bukan video call.
"Kenapa malah kamu yang menyambutku?" Protes Leonel.
Leona memahami Abangnya dengan baik. Protes semacam itu hanya itu membangun topik, bisa juga pengalih pikiran paling manjur dari masalah yang sedang menimpanya seperti saat ini. Leona pandai berpura-pura jadi yang paling tak peka, tak ingin tahu, dan tak akan tahu sebelum dikasih tahu -terhadap- urusan Abangnya. Ia akan bungkam setidaknya sampai waktu yang tepat. Termasuk kali ini, ia akan pura-pura tidak tahu sampai waktu yang tepat untuk memastikan apa yang ia dengar dari Soni.
"Mentang-mentang sudah punya istri, menistakan adik sendiri."
Leonel hanya tersenyum tanggung.
Sesaat sebelum Leonel turun dari mobil, mobil lain merapat ke gerbang rumah yang sudah tertutup kembali -sekarang dibuka lagi, pasti. Bahan olokan Leonel untuk adiknya sore ini.
"Aha, yang itu, disambut dong!"
Leona merajuk, meninggalkan Leonel yang terbahak.
"Alhamdulillah dua duanya sudah pulang ya, Leona!"
Anjumi sempurna tenang dengan kedatangan dua orang tercinta itu.
"Iya, Kak." Jawab Leona datar.
"Mas! Pasti kamu yang buat dia ngambek, ya!'
"Apa? Aku? Dia aja yang gak bisa diajak bercanda!"
Leonel tersenyum penuh kemenangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan Berarti) Ia Takluk Oleh Hujan
Novela JuvenilKita akan mengerti setelah membaca semua. Bukan, membaca bukan hanya tentang sesuatu yang tersurat, kita harus membaca sesuatu yang tersirat pula. Bahkan selayaknya mencari tahu tentang yang samar agar pemahaman kita tentang suatu kisah menjadi semp...