Jawwis duduk seorang diri di salah satu meja yang berada di kantin. Bukan hal yang aneh, tukang pukul nomor satu SMA Namaterang ini memang bisa dibilang tidak punya teman. Selain dengan teman dalam tim sepak bolanya hampir bisa dihitung berapa kali ia duduk bersama dengan orang lain.
Ia sebenarnya sedang lapar, tetapi seseorang mencegahnya untuk memesan makanan atau camilan apapun kecuali minuman. Ia telah menyeruput habis jus alpukat yang ia pesan, biasanya itu sudah mampu membuatnya merasa kenyang, tetapi tidak kali ini.
“Kok aku ikutan lapar ya. Aku akan makan dulu. Sebentar ya buku (Bukan Berarti) Ia Takluk oleh Hujan, aku mau makan. Eh, panjang betul sih namamu, aku singkat ITOHU aja ya.”
Perempuan ini segera mencari sesuatu di kulkas. Ia tidak berniat makan berat, hanya ingin meminum segelas susu dingin dan dua lembar roti tawar. Untuk roti tawarnya tidak ada di dalam kulkas melainkan dalam loker kecil yang ditanam pada dinding sebelah kiri kulkas.
Akhir-akhir ini perempuan ini tidak sukai selai, apapun itu, termasuk selai kacang kesukaannya. Ia hanya makan roti tawar. Kadang aneh, malah makan pinggirannya saja. Suaminya yang memakan tengahnya.
Setelah perut terisi, ia berjalan menuju wastafel air untuk mencuci gelas. Kemudian melanjutkan bacaannya lagi.
“Sampai mana tadi?”
Perempuan itu membuka halaman demi halaman dengan hati-hati.
“Oh ya, judulnya “Di Kantin" kalau tidak salah. Ini dia. Oke. Lanjut.”
Di sisi lain, masih di kantin, seorang remaja perempuan mengganggu salah satu ibu kantin demi misi anehnya.
“Bu, Bu Nur,” Leona berbisik.
“Bu Nur,” kali ini Leona mengeraskan suaranya sebab siswa-siswi yang sedang memesan makanan jauh lebih nyaring suaranya.
“Apa?”
“Boleh masuk?”
“Mau bantu to? Yo wes kalau bantu masuk o”
Karena telah mendapat izin Leona masuk ke ‘dapur Bu Nur’, tempat Bu Nur mengais rezeki. ‘Dapur Bu Nur' adalah sebuah ruangan petak berukuran 2×2 meter yang tak berpintu. Ada etalase dengan panjang 150 cm yang menjadi sekat antara Mbak Nur dengan para calon pembeli, di situlah segala macam sayur dan lauk masakan Bu Nur dipamerkan. Selain etalase tersebut ada rak piring dan sebuah meja yang ditumpangi magic com di sayap kiri ruangan ini.
“Aku tidak ingin membantu Bu, justru aku mau minta bantuan,” bisik Leona.
“Walah, apa, mau hutang to? Yo wes lah.”
“Bukan. Buruk sangka saja sih Bu Nur ini. Pinjami aku piring Bu!”
“Ya Allah, pintar sekali dia.”
“Buat apa?” jawab Bu Nur tanpa menoleh ke arah Leona sebab sibuk melayani pembeli.
“Ada lah pokoknya, aku cuci sendiri kok Bu nanti, aku kasih imbalan deh, aku bereskan piring-piring kotor milik Ibu yang ditinggalkan oleh orang-orang di meja-meja.”
“Dicucikan sekalian ya semua?”
“Oh ya tidak dong Bu, tidak adil itu.”
“Ya ya bercanda, cepat sana ambil piringnya dan pergi dari sini.”
“Terima kasih.”
Leona segera membuka tasnya, ya, ia membawa tas menuju kantin. Ia mengeluarkan sebuah tepak makan terlebih dahulu kemudian menutup tas itu kembali. Leona segera membuka tepak makan yang ia ambil lalu memindahkan isinya ke atas piring yang ia pinjam.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan Berarti) Ia Takluk Oleh Hujan
Novela JuvenilKita akan mengerti setelah membaca semua. Bukan, membaca bukan hanya tentang sesuatu yang tersurat, kita harus membaca sesuatu yang tersirat pula. Bahkan selayaknya mencari tahu tentang yang samar agar pemahaman kita tentang suatu kisah menjadi semp...